Di Balik Kamera (2) – Kesempurnaan Tanpa Kesempurnaan

#Refleksi2011 – Tulisan Kedua.

Selama ini, seringkali kita menggunakan kosakata “cacat (defects; flawed)” bagi saudara-saudara kita yang memiliki keterbatasan fisik, kecerdasan, atau emosional. Kita, juga pemerintah, tanpa sadar membuat dinding pemisah yang tinggi sekaligus kejam melalui penggunaan kata “cacat”. Memisahkan mereka yang dianggap “sempurna” dan tidak. Mereka yang dianugerahi panca indera lengkap dianggap sempurna. Sedangkan mereka yang memiliki keterbatasan dalam kemampuan melihat, berbicara, mendengar, berjalan, dan lain sebagainya kita anggap cacat. Tidak sempurna. Tidak produktif. Merepotkan. Perlu ditolong.

Nyatanya, pengalaman berinteraksi langsung dengan para penyandang disabilitas di masa produksi film dokumenter membuang jauh-jauh stigma di atas. Tidak jarang, saya justru menemukan kesempurnaan pada kekurangsempurnaan yang mereka miliki. Ada semangat, perjuangan, keunggulan, yang justru seringkali melebihi mereka-mereka yang dianggap sempurna dan tidak cacat.

Semangat dan perjuangan rekan-rekan penyandang disabilitas itu sebenarnya luar biasa. Di sini peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga benar-benar terjadi. Mereka yang memiliki disabilitas tertentu, bisa dikatakan harus melakukan berbagai hal dengan kesulitan ekstra. Untuk membaca, tunanetra perlu software khusus atau sistem tulisan braille. Untuk berjalan, tunadaksa perlu kursi roda atau tongkat. Untuk berkomunikasi, tunarungu dan tunawicara perlu menggunakan bahasa isyarat.

Kesulitan yang sudah secara alamiah harus mereka jalani itu, ternyata masih juga diperberat dengan stigma dan diskriminasi sosial yang terjadi. Dalam menempuh pendidikan, berapa banyak institusi pendidikan yang mau menerima dan menyediakan infrastruktur bagi penyandang disabilitas? Dalam dunia pekerjaan, berapa banyak perusahaan yang mau mempekerjakan penyandang disabilitas? Oleh sebab itu, perjuangan yang dilakukan oleh para penyandang disabilitas itu sungguhlah luar biasa. Ada tunanetra yang pantang menyerah menuntut ilmu di dua universitas berbeda. Mau menempuh jarak Bogor – Depok – Bintaro – Bogor. Berkali-kali ganti angkutan umum. Mengikuti kuliah reguler dan kuliah malam. Ada pula perjuangan para penyandang disabilitas dalam mendapat pekerjaan, berkali-kali mendapat tindakan diskriminatif perusahaan, hingga akhirnya bisa bekerja menjadi sekretaris, pengrajin, pengusaha online, penjahit, maupun profesor.

Saya setuju dengan pendapat sang profesor sekaligus guru besar Unika Atma Jaya, Prof. Irwanto, Ph.D., bahwa hal ini terjadi karena masyarakat seringkali fokus pada kekurangan seseorang. Andai kita mau mengesampingkan kekurangan, dan mengedepankan kelebihan, diskriminasi itu sebenarnya tidak perlu terjadi. Toh, semua orang juga memiliki kekurangan. Tidak ada yang sempurna.

Tidak dapat dipungkiri juga, seringkali lingkaran setan terjadi dalam pembentukkan stigma di atas. Masyarakat memandang rendah penyandang disabilitas. Para penyandang disabilitas akhirnya mengamini bahwa mereka tidak bisa melakukan apa-apa dan berperilaku seakan tidak bisa melakukan apa-apa. Pandangan masyarakat pun semakin kuat, bahwa mereka tidak bisa apa-apa. Kalau dalam bahasa Psikologi Sosial, konsep self-fulfilling prophecy terjadi. Akhirnya mereka tidak dirangkul untuk menjadi pelaku dan aset pembangunan bangsa, hanya dianggap sebagai beban yang harus ditanggung.

Untunglah, kesadaran dari teman-teman penyandang disabilitas akan potensi dan kemampuan mereka mulai tumbuh. Tidak sedikit yang berusaha menyadarkan dan menginspirasi, untuk tidak pasrah pada keterbatasan yang dimiliki. Ada band Diferensia misalnya, yang beranggotakan penyandang disabilitas, namun memiliki kemampuan musikalitas luar biasa. Melalui musik, mereka merupaya mengajak para penyandang disabilitas, sekaligus keluarganya, untuk terus berusaha mengembangkan potensi yang dimiliki. Ada juga Habibie Afsyahonline marketer yang mendirikan yayasan sendiri dan tak henti mengedukasi rekan-rekan peyandang disabilitas untuk menekuni bisnis internet.

Masih banyak inspirasi dan pelajaran yang saya dapatkan melalui pertemuan dengan para penyandang disabilitas. Kegigihan mereka dalam meraih pendidikan, berkreasi dalam dunia seni, menekuni berbagai pekerjaan, maupun menjalani keseharian amatlah patut diacungi jempol. Mereka tidak ingin dikalahkan oleh keterbatasan yang mereka miliki maupun pandangan merendahkan dari masyarakat. Tidak sedikit dari mereka yang sudah menorehkan prestasi yang teramat luar biasa, hingga berkesempatan bertemu langsung dengan presiden maupun masuk televisi.

Maka, sudah layak dan sepantasnya kita memandang mereka dalam kesetaraan. Hentikan memberi vonis “cacat” dan “tidak sempurna” pada orang lain, hanya karena keterbatasan yang mereka miliki. Mari bergandengtangan dan berjalan beriringan, tanpa label dikotomis sempurna – tidak sempurna, atau cacat – tidak cacat. Akhir kata, meminjam tema peringatan HIPENCA 2011, dunia ini akan jauh lebih indah jika kita mau saling memahami. Ya, jauh lebih indah!

Jakarta, 19 Desember 2011
Okki Sutanto
 
Daftar Tulisan #Refleksi2011:
1. Merefleksikan 2011 (Sebuah Catatan Pengantar)
2. Di Balik Kamera (1) – Sahabat Si Pemula

Di Balik Kamera (1) – Sahabat Si Pemula

#Refleksi2011 – Tulisan Pertama.

Salah satu proyek menantang dan berkesan yang saya kerjakan di tahun 2011 adalah memproduksi sebuah film dokumenter. Film ini dibuat untuk media edukasi dan penyadaran masyarakat, terkait keberadaan dan potensi dari kaum difabel (penyandang disabilitas). Serunya berinteraksi dengan para penyandang disabilitas dan banyaknya pelajaran yang saya dapatkan dari proyek ini akan saya tuangkan di tulisan lain. Kali ini saya akan fokus membahas tentang pengalaman debut si pemula (segenap tim produksi, termasuk saya) selama pengerjaan film dokumenter ini.

Ada kepercayaan, seorang pemula itu biasanya diliputi keberuntungan. Anda belum pernah ke kasino? Coba saja, biasanya orang yang baru pertama kali berjudi akan beruntung. Kepercayaan ini (beginner’s luck) sayangnya tidak muncul ketika proses pengerjaan film berlangsung. Mulai dari proses pra-produksi, produksi, hingga pasca-produksi. Masalah demi masalah muncul, mulai dari yang memang terpikirkan, agak tidak terpikirkan, hingga yang sama sekali tidak terpikirkan. Maka, bersahabatlah kami dengan yang namanya masalah.

Saat pra-produksi, ada saja masalah yang muncul. Pembahasan skrip misalnya, harus ditempuh dengan penuh perjuangan di atas motor menerjang hujan badai, sebelum akhirnya tiba di Pondok Indah Mall yang parkirannya sama sekali tidak ramah untuk para pengendara motor pemula (baru sekali ke sana naik motor). Saat menyiapkan alat-alat syuting, kami juga harus pontang panting kesana kemari cari pinjaman dan sewa yang murah, mengingat dana produksi yang juga terbatas. Belum lagi mengumpulkan tim produksi yang rela bekerja tanpa dibayar (kecuali dengan senyum dan makan siang) di tengah kesibukan masing-masing. Belum lagi sulitnya menghubungi dan menyusun jadwal dengan para talent / pemain yang akan diambil gambarnya. Wah, pokoknya pra-produksi saja sudah cukup problematis. Ini baru pra-produksi loh! Sama sekali belum ambil gambar! Hehehe..

Selanjutnya, ketika mulai memasuki masa produksi, masalah itu udah kayak antrian audisi Indonesian Idol: ga abis-abis dan rebutan tampil di panggung. Mulai dari lokasi pengambilan gambar, yang rasanya jauh lebih menantang dari Amazing Race. Kenapa begitu? Karena semua lokasinya ada di Jakarta! Dan Jakarta itu identik dengan apa saudara-saudara? Ya betul, MACET! Percaya deh, menyelesaikan tantangan satu season Amazing Race Asia itu lebih enak daripada muterin Jakarta dari ujung ke ujung. Selain itu, sempat muncul juga masalah dengan perizinan suatu instansi, sampai-sampai supervisor proyek ini diberi wejangan sama pengurus, dan salah satu kru produksi trauma berhubungan dengan instansi itu lagi. hehe.

Ada juga perubahan-perubahan talent yang mendadak karena satu dan lain hal. Ini lumayan repot loh, ibaratnya udah syuting film Twilight bagian awal, terus tiba-tiba tokoh Jacobnya harus dihilangkan dari cerita. Bisa-bisa itu cerita jadi kayak parodinya Beauty & The Beast, judulnya jadi Beauty & The Pale. Ceritanya simpel: ada cewek cakep yang suka sama sesosok makhluk pucat yang rumahnya di tengah hutan. Awalnya nih cewek takut, tapi lama-lama jatuh cinta. Menikah. Bahagia selamanya. Tamat. Ga seru kan? Kita jadi gak tahu kalau manusia serigala itu ternyata rajin fitness. Kita juga jadi gak tahu kalau vampir itu ternyata suka pakai glitter. Beda deh jadinya. Pokoknya, perubahan talent bisa berakibat pada keseluruhan komposisi film deh.

Selepas syuting yang melelahkan, masuklah masa pasca-produksi yang gak kalah banyak masalahnya. Mulai dari kaset rekaman video yang susah banget dikonversi ke versi digitalnya, udah dikonversi pun ada aja yang korup dan rusak. Sulitnya mencari studio editing film yang terjangkau. Ribetnya cari musik untuk latar film, revisi film tiada akhir, proses subtitling yang melelahkan, sampai proses penggandaan ke keping DVD. Pokoknya, semua proses itu gak jauh dari masalah. Yah, namanya juga bersahabat dengan masalah.

Makanya, ketika akhirnya film itu berhasil diselesaikan dan digandakan ke keping-keping DVD, rasanya ada beban berat yang terangkat dari pundak. Ada kepuasan juga, meski tahu hasilnya tidaklah bisa dibilang sempurna juga. Tapi balik lagi, untuk ukuran seorang pemula, ya gak buruk-buruk amat juga. hehe. Mungkin, kalau proses ini bisa diibaratkan syuting sinetron dan saya adalah sutradaranya, sudah berkali-kali saya berteriak “CUT!”. Untungnya selama pengerjaan film ini tim produksinya hebat dan t.o.p.b.g.t. Mulai dari yang bantu-bantu hubungin talent, yang jadi cameramandan camerawoman, yang jadi sutradara, yang bantuin subtitling, yang bikin cover dan grafis, yang ngajarin menggunakan program film editing, dan banyak deh pokoknya. Semua hebat.

Kembali lagi, poin pembelajaran dari pengalaman ini adalah jangan mudah percaya pada keberuntungan seorang pemula. Yang namanya pemula, pastinya harus siap belajar banyak hal. Harus siap menghadapi masalah dan cari solusi. Dan juga, harus siap gagal. Ya namanya juga pemula, wajar lah gagal. Mending memulai dan gagal, daripada gagal untuk memulai.

 
Jakarta, 13 Desember 2011
Okki Sutanto
Catatan pengantar tentang refleksi 2011 bisa dibaca di SINI 

Merefleksikan 2011 (Sebuah Catatan Pengantar)

Tak terasa, bulan Desember sudah memasuki minggu kedua. Dalam belasan hari, tahun ini akan berakhir. Berganti ke tahun yang menegangkan. Bagaimana tidak? Katanya, kiamat itu terjadi tahun depan. Mulai dari ramalan kuno, bukti ilmiah terbaru, hingga film tentang betapa mengerikannya tahun 2012 itu ada dimana-mana. Percaya? Ya gak juga sih. Tapi setidaknya ada sensasi menegangkan yang akan terasa saat 2012 mulai bergulir.

Nah, sebelum kita tegang-tegangan dulu, ada baiknya pengalaman selama tahun 2011 ini kita refleksikan kembali. Kita dokumentasikan. Untuk melihat, seberapa (tidak)produktifkah kita selama setahun ini? Apa saja yang sudah kita pelajari selama setahun ini? Adakah pengalaman menarik? Adakah momentum penting dalam hidup di tahun ini? Mendokumentasikan menjadi hal yang penting, selain bisa melihat pencapaian baik dan buruk, hal ini juga bisa menjadi dasar pembelajaran kita di tahun berikutnya.

Kenapa menggunakan kata “kita”? Sebenarnya saya ingin mengajak orang-orang untuk menuliskan juga pengalaman masing-masing di tahun 2011 ini. Bukannya saya takut menulis sendirian dan disangka orang gila. Bukan. Bagi saya, pengalaman dan cerita masing-masing orang itu menarik. Selalu ada hal yang bisa dipelajari. Entah baik atau buruk. Tapi, ya yang namanya ajakan itu tidak pernah memaksa. Namanya juga ajakan. Mau ya syukur, tak mau juga tak apa. Saya akan tetap menulis kok. hehe..

Sebenarnya bukan hal yang mudah merefleksikan 2011. Ada banyak sekali hal yang terjadi, pengalaman yang berharga, serta momen yang berkesan. Mulai dari pekerjaan, perjalanan, pembelajaran, hingga urusan perasaan. Banyak. Saya tidak tahu ada berapa banyak tulisan (juga waktu) yang dibutuhkan untuk merefleksikan 2011. Yang pasti, saya akan memulai. Satu demi satu tulisan. Hingga saya rasa lengkap dan tidak ada lagi pengalaman yang menarik untuk ditulis.

Ah, ya, saya juga sudah belajar untuk tidak memusingkan terlalu banyak hal. Maka saya akan menulis apa pun yang terlintas di kepala saya. Maka, bisa jadi kumpulan tulisan ini tidak kronologis. Bukannya tidak mementingkan waktu, tapi ingatan saya ini tidak sebegitu bagusnya. Itu saja. Akhir kata, selamat menikmati tulisan demi tulisan yang akan saya tulis. Sekali lagi, saya berharap ada yang mau ikut menulis, agar saya pun dapat belajar banyak dari siapa pun itu yang akan ikut menulis.


Jakarta, 12 Desember 2011
Okki Sutanto.
%d bloggers like this: