Dua Ribu Empat Belas: Bagian Pertama

Tak terasa, kita sudah sampai di penghujung tahun. Kurang dari seminggu, dua ribu empat belas akan berakhir. Kita masuk ke tahun 2015. Tiga tahun melebihi kalender suku Inca. Tahun Kambing Kayu kata mereka di negeri Tiongkok.

Bagamana tahun 2014 Anda? Tentunya selain yang diperlihatkan oleh mesin generator Facebook dan memenuhi lini masa belakangan ini. Bagi saya sendiri, tahun 2014 adalah tahun penuh perubahan, pilihan, dan ketidakpastian. Ya, ketidakpastian. Sama seperti judul tulisan saya ini. Meski saya bilang tulisan ini adalah bagian pertama, jangan terlalu berharap akan ada bagian kedua dan setelahnya, ya. Anggaplah tulisan ini sebagai tulisan independen yang berdiri utuh tanpa harus dikaitkan maknanya dengan entitas lain sesudahnya. Bergantung. Tak, tak harus demikian. Toh sebagaimana hal-hal lain dalam hidup, bagian pertama bisa tetap dinikmati dalam keberdiriannya sendiri. Kue misalnya, kita selalu menantikan potongan atau bagian kue pertama, apalagi di pesta ulang tahun ketujuh belas. Toh kita tak menanti-nantikan seperti apa dan bagaimana bagian kedua, ketiga, dan setelahnya, kan? Ah, yasudahlah. Kenapa jadi panjang sekali membahas judul.

Kalau harus memilih satu kata yang menggambarkan tahun 2014 ini, mungkin saya dengan sangat terpaksa harus memilih kata dalam bahasa Inggris. Saya belum berhasil menemukan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia, entah mengapa. Dan kata itu adalah: rebound. Kata yang sering kita dengar di permainan bola basket tapi mungkin definisi sebenarnya kita kurang pahami. Begini kurang lebih maknanya:

1.to bound or spring back from force of impact.
2.to recover, as from ill health or discouragement.

Ya, intinya demikian. Suatu keadaan dimana suatu benda memantul kembali setelah menyentuh suatu titik dasar karena kekuatan daya, juga suatu keadaan dimana seseorang menjadi lebih baik dari penyakit atau kekecewaan. Hal yang menarik dari kedua definisi akan rebound ini adalah adanya kekuatan atau kejadian yang mendorong kita menuju suatu keadaan “terpuruk”. Kabar baiknya justru keterpurukan itu sendiri yang menjadi syarat akan keadaan berikutnya: bangkit, menjadi lebih baik. Sama seperti bangsa Saiya yang akan menjadi lebih kuat ketika sudah sedemikian nyaris dengan kematian, pun begitulah mereka yang mengalami rebound.

Bagi saya sendiri, kekuatan yang menarik ke dasar itu demikian besar dan hebatnya, merasuk dan menusuk ke seluruh aspek dimensi fisik, sosial, psikologis sekaligus. Bagai semesta yang berkata, ia datang tak terbantah tanpa terbata. Tak terelakkan dan membelokkan sejumlah rencana yang ada. Ia mengikat, juga melekat, lantas membuat malam semakin pekat. Ya, demikian hebatnyalah kekuatan itu. Membawa ke dasar, dimana kadang cahaya tak lagi terlihat, setitik pun. Membuat saya kehilangan mungkin hampir segalanya, atau bisa jadi malah lebih.

Tapi di dasar itu pulalah kita menjadi gusar. Pada segalanya kita bertanya. Kita bercermin sebelum mengucap amin. Kita berintrospeksi dan berefleksi tanpa saksi. Memandangi lagi setiap jengkal kehidupan kita hingga saat ini. Dari mana, mau kemana, untuk apa, bagaimana. Semua tanya itu keluar perlahan tanpa tertahan. Mencoba mencari jawaban atas semua beban. Sudahkah saya menemukan semua jawabnya dalam proses rebound? Sebagian sudah. Sebagian akan. Sebagian mungkin tidak akan, tapi setidaknya saya sudah berhasil bertanya, selangkah lebih maju, bukan?

Di tengah kegusaran dan pusaran ketidakpastian, saya perlahan menyusun dan menciptakan kepingan demi kepingan diri. Saya kuliah lagi, dan saya fokus di satu bisnis: berjualan. Menyenangkan, bertemu dengan orang-orang baru di kuliah magister. Meski kelasnya tidak sebesar kuliah S1 dulu, namun para pesertanya sungguh luar biasa variatif, baik dari usia, budaya, maupun pekerjaan. Saya pun berkenalan dengan teori dan tokoh-tokoh baru. Dari Hofstede ke Moscovici, dari Anarkisme Metodologis sampai Konstruksi Sosial. Dari Habermas ke Alexander Thomas. Dari culture standard ke Analisa Wacana. Dan di tengah tumpukan tugas dan diskusi teoritis, untuk pertama kali sepanjang kehidupan akademis saya bisa meraih IP 3,80! Sesuatu yang bahkan tak pernah saya capai saat S1. Sungguh suatu kebanggaan tersendiri.

Selain kuliah, dan mengambil sejumlah proyek penelitian, saya juga berjualan untuk menyambung hidup. Sesuatu yang dulu saya anggap tidak menyenangkan, ternyata menarik juga. Berkenalan dengan produk-produk yang harus saya jual. Mencari barang berkualitas dengan harga murah sampai ke ujung pelosok, mulai dari pedagang hingga barang lelang. Belajar mengiklankan barang, menjaring calon pembeli, bernegosiasi hingga ke closing transaksi. Cukup seru ternyata, sejumlah pembeli pun tetap berkontak dan sebagian menjadi teman. Ada komposer musik tuna netra yang membeli Macbook Pro 15″ Core i5 di Indomaret Danau Sunter. Ada bos developer aplikasi iOS yang membeli Macbook Air Core i5 di Roppan Living World. Ada pengusaha muda pemilik pabrik sol sandal dan sepatu dari Yogyakarta. yang membeli Macbook Pro 13″ Core i7. Ada mahasiswi sastra Perancis UI yang membeli iPod Touch 5th di Sevel Rawamangun. Ada pendeta muda yang membeli iPad Mini di KFC Kelapa Gading. Ada HRD di salah satu anak usaha Triputra yang memborong speaker, Xiaomi, iPod Touch, dan Modem Bolt. Ada konsultan di Saratoga Investment yang membeli Xiaomi Mi4 di Starbucks Kemang Village. Dan masih banyak lagi! Menyenangkan ternyata, menjelaskan produk, memberikan saran dan rekomendasi, melakukan negosiasi harga, dan berkenalan dengan orang-orang baru yang tak terduga.

Di tahun ini pula saya benar-benar menemukan diri saya menjelajahi tempat-tempat baru yang seru. Berjudi di Genting. Tidur di bangku taman Marina Bay Sands menatap keindahan kota Singapura sepanjang malam hingga subuh. Menyetir di pagi buta dari Danau Toba menuju Kualanamu. Bercengkrama dengan para guru luar biasa di depan tempat karaoke hingga tengah malam di Pangkalan Susu, Medan. Menyeberang Merak menuju Bakauheni untuk pertamakali dan berkeliling Lampung. Dari pantai Wartawan hingga pulau Tangkil. Tak selalu harus jauh, mengeksplorasi perpustakaan dan taman di Ibu Kota pun menjadi pengalaman yang tidak kalah seru bagi saya di tahun ini. Dari Taman Suropati hingga Perpustakaan Daerah di Nyi Ageng Serang. Dari Taman Kodok hingga Perpustakaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Senayan. Dari Taman Proklamasi hingga Perpustakaan Freedom Institute (well, ini tinggal nyeberang, sih.)

Demikianlah tahun 2014 saya ini. Bukan tahun yang sungguh-sungguh menyenangkan, memang. Kekecewaan dan kegagalan datang bergantian. Tapi akan selalu ada hal indah di balik itu semua, bukan? Misalnya saja kehadiran sesosok EPS dalam hidup. Juga studi dan bisnis yang kian menenteramkan. Pun keluarga yang senantiasa ada.

Apa pun, sajak Dylan Thomas yang terpopulerkan film Interstellar menjadi amat pas bagi saya di tahun ini:

Do not go gentle into that good night,
Old age should burn and rave at close of day;
Rage, rage against the dying of the light.

Though wise men at their end know dark is right,
Because their words had forked no lightning they
Do not go gentle into that good night.

 

Ya, do not go gentle into that good night yang kelam nan pekat! Marahlah, murkalah, lawanlah kegelapan dan nikmatilah. Ya, nikmatilah!

 

Jakarta, 26 Desember 2014

Okki Sutanto

Ketika Rangga dan Cinta Bertemu Kembali

Kadang, ada hal-hal yang lebih baik ditinggal begitu aja tanpa diakhiri dengan happy ending kok. Ada hal-hal yang ga butuh closure. Mungkin.

Masih ingat Ada Apa Dengan Cinta (AADC)? Ya, film Indonesia fenomenal di tahun 2002 yang mengisahkan cerita cinta Rangga dan Cinta saat SMA. Saking fenomenalnya, tujuh dari sepuluh lelaki di Indonesia berlomba-lomba memiripkan diri seperti Rangga. Gak deh, lebai. Tapi film ini beneran fenomenal. Pernah dengar kalimat ini: “Jadi salah gue? Salah temen-temen gue?”, nah itu salah satu dialog dari film ini. Pernah dengar potongan sajak “pecahkan saja piringnya biar ramai” atau “kulari ke hutan kutiba di pantai (macam ada jalan tembus)”? Nah, itu juga dipopulerkan oleh film ini. Masih ingat Melly Goeslaw pas belum “sebesar” sekarang? Nah, di masa doi masih ngurusin soundtrack film ini, doi masih kurus. Ya intinya film ini fenomenal lah.

Belum lama ini, beredar video pendek yang menceritakan kelanjutan kisah Cinta dan Rangga tersebut. Dengan semua pemain utama yang sama. Dengan kontinuum waktu yang sama pula: dua belas tahun kemudian. Terlepas dari video pendek itu merupakan cara aplikasi LINE mempromosikan fitur terbarunya (Alumni), media sosial menyambut antusias kelanjutan cerita AADC tersebut.

Diceritakanlah Rangga ternyata tidak kembali ke Indonesia, namun menetap di Amerika. Suatu hari dia dapat penugasan ke Jakarta oleh kantornya dan karena itulah tiba-tiba Rangga membuka aplikasi LINE di telepon pintarnya lalu teringat akan Cinta. Seriusan ga sih, Rangga? Bagi lelaki yang udah berjanji bakal kembali dalam satu purnama, ternyata malah menetap di sana 144 purnama, dan cara yang dipilih untuk menghubungi Cinta adalah pake aplikasi pesan instan? Email kemana, email? Friendster? Myspace? Facebook? Lantas tiba-tiba mengajak bertemu. Seriusan? Setelah dua belas tahun? Gak terbersit apa Cinta mungkin udah menikah dan punya  dua anak?

Ah, pokoknya banyak sekali pertanyaan berseliweran di otak ini ketika menonton video pendek tersebut. Terlepas dari musik dan sinematografinya yang oke, tetap saja rasanya ceritanya sulit diterima akal sehat tanpa banyak bertanya-tanya.

Buat saya pribadi sih, ada baiknya sih lanjutan dari AADC ya ga usah ada. Sama halnya dengan Doraemon, yang sebentar lagi akan hadir film “penutup”nya. Pun Toy Story yang dengar-dengar akan dibuat film keempatnya setelah ditutup dengan epik di film ketiga. Memang apa salahnya sih, kalau kadang audiens dibebaskan liar dengan imajinasinya tentang kelanjutan ceritanya? Friends, misalnya, serial televisi tersukses di Amerika, yang sepuluh tahun lalu diakhiri dan tidak dibuat kelanjutan ceritanya meski mungkin banget. Kadang, ada hal-hal yang lebih baik ditinggal begitu aja tanpa diakhiri dengan happy ending kok. Ada hal-hal yang ga butuh closure. Mungkin.

Belajar dari Yellow Box Junction

Di sejumlah jalan protokol ibukota, khususnya di persimpangan, kadang kita jumpai kotak besar dengan tanda silang, dicat di jalan dengan warna kuning. Kotak itu namanya Yellow-Box Junction (YBJ), yang salah satunya kita jumpai di persimpangan dekat Sarinah, Thamrin. Ada pun YBJ merupakan area “sakral” di persimpangan, yang hanya bisa dilintasi jika arus lalu lintas setelahnya lancar, sehingga kendaraan bermotor tidak boleh terjebak di area YBJ karena akan menyebabkan kemacetan bagi kendaraan dari arah lainnya. Dengan kata lain, sekalipun lampu pengatur lalu lintas berwarna hijau, kita tetap tidak diperkenankan maju melintasi area YBJ, jika jalanan di depannya masih padat dan kita berpotensi terjebak di YBJ.

Mulai digunakan di Inggris sejak tahun 1960-an, di Jakarta sendiri YBJ baru diperkenalkan pada tahun 2010. Empat tahun sesudahnya, penerapan YBJ berjalan di tempat. Jangankan pengendara, aparat pun seakan belum paham apa itu YBJ. Jangankan sanksi, sekedar edukasi pun tidak pernah diberikan aparat bagi para pengendara. Padahal, jika YBJ diedukasikan dengan baik dan dipatuhi para pengendara, sejumlah skenario kemacetan di persimpangan jalan bisa berkurang dengan drastis.

Sekilas, YBJ memang sekedar alat dan aturan praktis yang digunakan untuk ketertiban lalu lintas. Namun, jika kita merefleksikan lebih jauh ternyata ada nilai filosofis yang bisa kita pelajari dari sana. Dengan YBJ, pengendara diajarkan untuk mengedepankan kepentingan khalayak, dan menahan ego pribadi dengan mengejar kepentingan sendiri. Sekalipun lampu pengatur lalu lintas berwarna hijau dan secara peraturan kita boleh melaju, bukan berarti kita harus melakukannya. Kita tidak perlu memaksakan maju, jika pada akhirnya hanya akan menghambat laju kendaraan dari arah lain.

Pelajaran sederhana di atas pun sebenarnya tidak hanya bisa diaplikasikan di jalan raya saja. Andai elite politik kita bisa belajar dari sana, rasanya masyarakat tidak perlu setiap hari disuguhi berita tentang akrobat politik yang tak sehat. Sirkus yang tak becus. Drama tanpa krama. Mulai dari partai hijau yang saling mengklaim keabsahan muktamar dan pemimpin, hingga Dewan yang mulai membelah diri.

Memang, masing-masing pihak sah-sah saja melakukan hal tersebut. Mereka dapat pula mencari justifikasi hukum atas segala tindakan mereka. Namun, apa mereka tidak sadar pada akhirnya mereka sedang menghambat dan merampas hak-hak orang banyak di luar kelompok internal mereka? Kader-kader akar rumput yang tidak tahu masalah jadi terseret kerancuan dualisme kepemimpinan. Masyarakat yang sudah mempercayakan hak suara mereka pun tentu geram melihat bagaimana anggota dewan yang seharusnya terdidik dan terhormat, malah saling sikut dan saling hambat. Entah apa yang ada di pikiran sempit mereka, satu hal yang pasti: kepentingan khalayak terabaikan!

Masing-masing bisa saja beralasan melakukan itu semua karena hak mereka sudah terciderai, dan mereka diperlakukan dengan tidak adil. Namun apa tidak ada cara yang lebih elok? Apa tidak mampu merangkul lawan dan sama-sama memikirkan kepentingan bersama yang lebih besar? Apa tidak mampu mengalahkan ego pribadi dan memusyawarahkan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan bangsa dan negara?

Jika tidak mampu, turun saja kalian dari kursi, jabatan, dan kuasa masing-masing. Berikan kursi itu pada anak-anak SD yang masih mampu bermusyawarah mufakat menentukan siapa ketua kelas mereka. Berikan kuasa kalian pada ibu-ibu yang bisa bermusyawarah dimana arisan berikutnya diadakan. Atau setidaknya kepada para pengendara yang tahu kapan harus berhenti dan membiarkan kendaraan lain melaju, dengan tidak memaksakan diri masuk ke YBJ dan menyebabkan kemacetan.

Jakarta, 31 Oktober 2014

Okki Sutanto

%d bloggers like this: