Catatan Akhir Tahun

michal-grosicki-366023
Photo by Michał Grosicki on Unsplash

 

Banyak manusia merindukan sesuatu yang konstan. Mencari pelarian dari begitu banyak hal yang senantiasa datang hanya untuk pergi kembali. Seperti debur ombak, yang kerap datang menyetubuhi bibir pantai, hanya untuk sejenak kemudian kembali pergi ke laut lepas. Seperti matahari, yang setiap pagi memberi salam, hanya untuk tenggelam kala tiba sang malam.

Sayangnya, sedikit sekali hal yang konstan dan abadi. Yang konstan itu hanya perubahan, kata orang bijak. Pun waktu, yang berlalu demikian cepat. Detik demi detik. Hari demi hari. Dan dalam hitungan hari, tahun ini pun akan segera berganti.

Buat saya, salah satu yang konstan itu adalah pembelajaran. Tiap momen, tiap kesempatan, tiap tahun, senantiasa ada hal baru yang dipelajari. Maka izinkan saya mencatat dan merefleksikan kembali sejumlah pelajaran yang saya dapat di tahun 2017 ini.

AH ELAH INTRONYA PANJANG BANGET BELOM SAMPE MANA MANA NYET! INI CATATAN APA PIDATO KEPALA SEKOLAH PAS TUJUH BELASAN! hahahaha.. Maap keleus. Saya bukan Fahri yang mahasempurna dengan segala kelaki-lakiannya.

Yang pertama adalah betapa tidak pentingnya PENGKULTUSAN dan pengidolaan terhadap seseorang. Seseorang itu, sebaik apapun terlihatnya, punya “harga” dan “keterbatasan”. Tidak ada yang sempurna. Tidak ada yang bebas cela. Semua bisa mengecewakan. Semua bisa menjilat ludah sendiri. Saya sih ga mau kasih contoh. Tapi kurang lebih macam Aung San Su Kyii. Anies. Pun Trudeau dan Macron. LAH APANYA YANG GA MAO KASIH CONTOH SIH, INKONSISTEN LU KI!

Yang kedua adalah pentingnya MERELAKAN. Merelakan tanpa menghela nafas itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi yang sudah terjadi ya memang harus terjadi. Rezeki-rezeki yang hilang karena tangan-tangan jahil. Pintu-pintu yang tertutup karena ketidaksengajaan. Jembatan-jembatan yang terbakar karena api masa lalu. Banyak deh, pokoknya. Yang paling nyesek itu ya saat saya harus merelakan Raisa kepada Hamish. GA LAH BERCANDA, RAISA ITU BIASA AJA GA CAKEP-CAKEP AMAT! **bersiap disambit lelaki se-Indonesia**

Yang ketiga adalah tentang KESEDERHANAAN. Sejak menonton film dokumenter Minimalism, banyak yang saya konstruksi ulang dalam pikiran saya. Ada hal-hal yang tak lagi mengganggu pikiran saya. Ada barang-barang yang tak lagi “mengikat” saya. Ada pemicu-pemicu stres yang tak lagi saya pedulikan. Hidup itu simpel. Yang bikin ribet itu konstruksi realita yang seringkali kita buat-buat di dalam pikiran kita sendiri.

Yang keempat menyoal KESABARAN. Berjalan pelan-pelan, sedikit demi sedikit, jauh lebih baik daripada berjalan di tempat. Apalagi enggan bergerak karena merasa beban itu terlalu berat. Tesis yang tak usai-usai itu toh selesai juga. Bisnis yang tak terbang-terbang itu toh lepas landas juga. Buku yang tak tamat-tamat itu toh terbaca juga. Satu langkah maju tetap lebih baik daripada seratus langkah mundur. YA IYALAH NENEK-NENEK CREAMBATH JUGA TAU KELEUS! INI KALIMAT APAAN!

Yang terakhir menyoal INOVASI DAN BERPIKIR KREATIF. Dua hal ini jadi jauh lebih saya perhatikan, terlebih selepas membaca buku Originals karya Adam Grant. Melihat hal yang sama dengan kacamata yang berbeda (vuja de, kebalikan dari deja vu). Senantiasa menantang kestabilan dan cara-cara konvensional. Selalu kritis pada pikiran sendiri pun orang lain. Hal ini membuat saya melihat berbagai aspek kehidupan secara berbeda, ya bisnis, ya relasi, ya struktur sosial, dan lain sebagainya.

Ya, mungkin demikian hal-hal yang saya pelajari. Mungkin ada yang lupa saya tulis, ya tak apa, saya sudah belajar merelakannya. hehe.. Terima kasih 2017! Yuk kita kemon, 2018!

Jadi… Apa yang sudah Anda pelajari di tahun ini?

Jakarta, 30 Desember 2017
Okki Sutanto

Susah Sinyal dan Millenial

SUSAH SINYAL DAN MILLENIAL

Salah satu alasan saya amat menanti film terbaru Koh Ernest ini sebenarnya simpel: mau melihat MacBook saya. haha.. Kebetulan SuperMac Jakarta dipercaya menjadi penyedia setiap MacBook yang muncul di film ini. Rasanya baru kemarin kirim-kirim Mac ke Ciracas, Pejaten, gedung Top Building, sampai Artotel Thamrin sambil mantengin artis-artisnya syuting. Eh tiba-tiba sudah ada di bioskop. Nonton, deh! hehe..

Susah Sinyal Movie Poster

Selain itu, memang genrenya amat cocok untuk ditonton bersama keluarga. Film sebelumya, Cek Toko Sebelah, juga sangat bisa dinikmati oleh saya dan keluarga. Kan susah juga kalau ajak bokap nonton Lima Cowok Jagoan. Nanti ditanya kenapa saya ga termasuk salah satu jagoannya kan repot.

Terlepas dari sejumlah kekurangan di plot dan alur cerita, film ini menurut saya amat cocok dinikmati oleh millenial dan generasi sekitarnya. Terlebih betapa sukses film ini menggambarkan keindahan pulau Sumba. Wah, juara banget ini, dikit lagi kayaknya wisata di sana bakal booming.

Filmnya sangat menghibur, dengan tema yang relatable seputar keluarga dan karir. Mungkin tidak semenyentuh Cek Toko Sebelah, tapi tetep sukses tuh bikin nyokap nangis tersedu di beberapa bagian. hehe. Menurut saya pribadi amat cocok dengan Millenials karena sejumlah referensinya yang ngena, mulai dari generasi Instagram, acara reality show di televisi yang bisa jadi cara instan terkenal, gaya hidup eksplorasi dan jalan-jalan, candaan bumi datar, hingga perceraian artis. Hal-hal yang akrab menghiasi Millenials kala mereka tumbuh besar hingga kini.

Buat saya pribadi, juga beberapa penonton lain, peran Ge Pamungkas kurang maksimal di film ini. Tapi setelah dipikir-pikir, jika ini adalah easter egg atau referensi tersembunyi pada tokoh Michi & Yoshirin di komik Crayon Sinchan, maka Ge sebenarnya sukses banget. Pasangan eksentrik, pakai baju couple kemana-mana, si cowok yang hobi banget nangis, juga romantisme berlebih. Pas banget sih ini! Tapi lagi-lagi kan yang baca komik Crayon Sinchan itu ga banyak. Maklum lah, namanya juga komik terlarang pada masanya.

Yah, intinya film ini layak ditonton di masa liburan ini. Cocok buat pasangan, keluarga, atau jombloers yang suka nonton sendirian. Masing-masing bisa menikmatinya dan pulang dengan pesan dan pelajaran yang berbeda, kok. Buat lelaki ya film ini bisa jadi ajang cuci mata banget sih. Kayaknya nyaris semua aktrisnya cantik-cantik gimana gitu. Ya Ardinia Wirasti. Ya Aurora Ribero. Ya Valerie Thomas. Ya Giselle. Oh ya, ada Darius juga kok. Jadi lengkap pilihannya kan? hehe..

 

Jakarta, 25 Desember 2017.
Okki Sutanto

Psikologi dan Segenap Mitologinya

gaelle-marcel-8992
Photo by Gaelle Marcel on Unsplash

 

Ada banyak mitos dan salah kaprah terkait Psikologi di luar sana. Hal ini tentu ga sehat, baik bagi yang menjalaninya entah sebagai mahasiswa pun praktisi, juga bagi masyarakat yang mempersepsikannya. Ga sehat karena bisa menimbulkan ekspektasi tidak logis terhadap mereka-mereka yang belajar Psikologi. Buat masyarakatnya juga ga sehat, membuat adanya jarak dan tembok yang sebetulnya ga perlu.

Berikut sejumlah mitos yang rasa-rasanya sudah boleh ditenggelamkan jauh-jauh ke dasar laut. Semoga berguna buat yang baru mau kuliah Psikologi, baru mau ngegebet mahasiswa Psikologi, atau yang udah lagi kuliah tapi bingung kok belum bisa baca pikiran dan telepati.

MEMBACA ORANG
Ga kok, belajar Psikologi ga serta merta membuat seseorang jadi jago membaca orang. Apalagi bisa baca pikiran orang yang baru kenal. Kalau dilatih untuk bisa mengamati manusia dan perilakunya, iya ga salah. Belajar memahami dan berempati sama orang lain juga iya betul. Tapi itu semua butuh proses dan latihan yang panjang. Jangan menganggap mereka itu kayak Sherlock, yang cukup lihat sekilas udah tahu bahwa kamu itu namanya siapa, pekerjaannya apa, mau makan apa, dan kalau ulang tahun mau kado apa.

PSIKOLOG & PSIKIATER
Nah ini juga seringkali dianggap sama. Tapi nyatanya beda loh. Semua mahasiswa Psikologi yang menyelesaikan jenjang S1 akan berakhir menjadi Sarjana Psikologi. BUKAN Psikolog! Psikolog itu perlu studi lanjut lagi, magister profesi namanya. Jadi, semua yang S2 di bidang Psikologi pasti jadi Psikolog? Gak juga. Ada program S2 yang non profesi, seperti yang saya ambil. Programnya itu Magister Sains, fokusnya umumnya lebih ke keilmuan dan riset.

Lantas Psikiater itu apa? Nah kalau itu jalurnya dari studi kedokteran, yang lantas mengambil spesialisasi kejiwaan. Keduanya bisa saja bekerjasama, tapi masing-masing memiliki tugas, pendekatan, dan lingkup wewenang yang berbeda tentunya. Misalnya nih, seorang Psikolog tidak berwenang memberikan preskripsi obat-obatan bagi kliennya, tapi Psikiater bisa. Ini contoh yang paling gampang, tapi tentu bukan cuma ini bedanya.

JAGO HIPNOTIS!
Ini juga mungkin cukup mengejutkan ya buat beberapa orang. Tapi ya, ini keliru. Jangan keburu minta tolong sama temen situ yang kuliah Psikologi untuk hipnotis gebetan kalian biar jatuh ke pelukan kalian. Plis deh, itu mah pelet namanya.

Jadi, sebagai sebuah ilmu pengetahuan, di Psikologi hanya mempelajari teori dan metode yang ilmiah. Apa syarat ilmiah? Salah satunya bisa direplikasi. Bisa diuji dan diulang di berbagai kondisi dengan hasil yang sama. Cukup banyak produk pseudosains (seakan-akan ilmiah padahal tidak) yang dikira bagian dari Psikologi, termasuk hipnotis, baca garis tangan, baca tulisan, dan lainnya. Ini bukan berarti semua hal itu sudah pasti salah loh, nggak gitu juga. Bisa jadi ada yang berhasil, juga ada bukti-bukti yang mendukung, tapi sampai detik ini Psikologi secara keilmuan belum mempelajari hal tersebut.

MELULU GANGGUAN JIWA
Belajarnya tentang gangguan jiwa, magangnya ke RSJ, kerjanya juga nanti menangani kasus gangguan jiwa saja. Gak, ini sama sekali tidak benar. Bahwa itu merupakan salah satu hal yang dipelajari di Psikologi, ya betul. Tapi Psikologi ga semata tentang gangguan jiwa. Dan Psikolog ga hanya menangani kasus-kasus demikian.

Mitos ini yang bahaya, membuat orang enggan konseling atau ke Psikolog karena takut dianggap memiliki gangguan jiwa. Akhirnya banyak yang nunggu “parah banget” baru dengan “terpaksa” ke Psikolog. Padahal, gak ada salahnya lho mendeteksi dan mengelola masalah emosional dan psikis sedini mungkin. Batuk pilek saja banyak kan yang ke dokter, kenapa stres atau tertekan perlu takut ke Psikolog? WHO saja sudah menyatakan bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik.

CUMA BISA JADI HRD!
Eits, jangan salah. Meski banyak lulusan Psikologi yang terjun ke dunia HRD atau Sumber Daya Manusia, pilihan karir setelah lulus itu beragam banget. Gak sedikit yang menjadi guru PAUD atau ABK, jurnalis, konsultan, pengusaha, penulis, peneliti, juru masak, desainer grafis, pekerja kreatif, aktivis LSM, dosen, artis, pekerja perbankan, marketing, ibu rumah tangga, relasi publik, dan masih banyak lagi! Ilmu yang didapat pas kuliah itu seputaran memahami manusia memang, tapi bagaimana ilmu itu kalian pakai setelah lulus ya suka-suka kalian. Buat saya sih, selama di bidang pekerjaan itu ada aspek manusianya, ya ilmu Psikologi kepakai-kepakai saja sih.

Sebenarnya masih banyak mitos keliru yang berkaitan dengan Psikologi. Mungkin tulisan ini akan saya lanjutkan di kemudian hari. Takutnya kepanjangan, kasihan kan yang baca nanti terhipnotis jadi tidur. hehe..

Apa mitos yang sering kamu dengar?

Yuk kita bahas bareng.

#CelotehPsikologiBersambung
Tulisan Ketiga.

 

Singapura, 15 Desember 2017
Okki Sutanto

%d bloggers like this: