Bumi Manusia; karya besar yang tak lekang oleh waktu

Ketikan Pinggir Hari Ini

Mungkin sebagian di antara kita ada yang pernah membaca buku ‘Bumi Manusia’ karya Pramoedya Ananta Toer (Pram). Buku tersebut adalah buku pertama dari rangkaian Tetralogi Buru, yang ditulis Pram saat ia ditahan dan diasingkan di pulau Buru. Saya sendiri membaca buku tersebut dan mulai mengenal karya-karya Pram saat semester 2, ketika mengikuti kuliah Filsafat Manusia. Tak akan cukup satu notes untuk mengagumi Pram, beliau terlampau hebat, dengan segala kontroversinya. Cukup ijinkanlah saya dalam kesempatan ini menceritakan sedikit mengenai buku Bumi Manusia tersebut. Siapa tahu bisa menjadi pencerahan, bisa juga tidak.

Dalam buku tersebut, melalui kehidupan sang tokoh utama, Minke, realita kehidupan pada akhir abad 19 terdeskripsi dengan amat baik. Negri ini masih berupa angin, belum terlahir seutuhnya, bahkan masih belum terkonsepsi. Mungkin kata “Indonesia” belum sekali pun terucap. Belanda masih menjadi penguasa, sepeda masih menjadi barang mewah, koran masih belum terdengar, dan sekolah pun masih diperuntukkan untuk bangsawan belaka. Intinya, ‘jadul’ dalam arti sebenar-benarnya.

Yang menarik dari buku tersebut adalah problematika yang terjadi persis seabad yang lalu. Permasalahan mendasar yang dihadapi Minke pada masa itu kurang lebih ada 2. Yang pertama adalah pemerintahan yang ‘sakit’. Pemerintahan korup, otoriter, ‘jauh’ dari rakyat, dan gagal. Masalah kedua adalah tidak adanya gerakan persatuan. Minke yang berkoar-koar demi persatuan pada saat itu sungguh kesulitan dan mendapat tekanan luar biasa dari Belanda. Berbagai pihak umumnya mencari aman di bawah perlindungan Belanda saja.

Buku tersebut bersetting seabad yang lalu. Bahkan di saat negri ini belum terbentuk. Jika dipikir, rasanya mustahil permasalahan yang sama tetap berputar dan menggerogoti sebuah negri dalam jangka waktu seabad. Namun ternyata jika ditilik lebih jauh, berbagai masalah yang terjadi pada saat itu masih juga kita rasakan di masa sekarang. Pemerintahan yang gagal, jauh dari usaha pensejahteraan rakyat. Persatuan, yang harusnya sudah kita dapatkan sejak enam puluh empat tahun yang lalu, nyatanya tidak lebih dari ikatan semu belaka. Tidak ada lagi kebanggaan dari hari kemerdekaan. Sulit membuat suatu simbol persatuan yang dihormati semua kalangan. Lagu kebangsaan tak sanggup, bendera tak mampu, bahkan presiden pun tak bisa menjadi ikon penyatu bangsa. Nasionalisme lambat laun menggerogoti dari dalam, dan bangsa ini pun sakit tanpa ada obatnya.

Berapa lama lagi yang harus kita habiskan untuk menunggu?
Berapa banyak lagi rakyat yang harus menderita dalam penantian itu?
Berapa banyak manusia gagal lagi yang harus duduk di kursi pemerintahan?
Cukupkah 1 abad lagi?
Bisakah lebih cepat?

Jakarta, 6 Oktober 2009
Okki Sutanto
(kangen membaca karya Pram lainnya)

Berlayar atau berlabuh?

Ketikan Pinggir hari ini.
Belakangan ini di kampus saya sedang berlangsung acara pemilihan ketua HIMAPSI (Badan Setara BEM Fakultas). Minggu ini, ketiga calon ketua melakukan kampanye. Kampanye ketiganya sangat menarik, masing-masing membawa idealisme yang sungguh mulia. Saya pun yakin, siapa pun yang terpilih akan sanggup memberikan yang terbaik nantinya.
Dalam kampanye salah seorang calon, ada tagline dan kata mutiara berkesan yang digunakan. Meski ini bukan kali pertama saya mendengar kata mutiara tersebut, namun kesan yang ditinggalkan kali ini cukup mendalam. Bunyi kata mutiara tersebut adalah:
“A ship in the harbor is safe, but that’s not what ships are built for”
Calon tersebut menjelaskan kata mutiara di atas dengan menganalogikan kapal dengan mahasiswa. Mahasiswa, jika hanya mencari aman dan tidak ingin mengambil resiko dengan mengembangkan potensinya, akan sia-sia seperti kapal yang hanya dilabuhkan saja. saya setuju sekali dengan hal tersebut.
Menggunakan kata mutiara yang sama, saya ingin mencoba melihat dalam konteks yang sedikit lebih besar. Bagi saya, hal tersebut tidak hanya berlaku bagi mahasiswa saja, tapi juga bagi setiap individu, setiap manusia.
Berada di zona aman, melakukan hal-hal biasa, menghindar dari tantangan dan tanggung jawab, lari dari resiko, memang menjauhkan kita dari bahaya. Namun kita, sebagai manusia, tidak hanya diciptakan untuk terus berada di zona aman. Ada kalanya, kita harus keluar dari zona aman tersebut, dan mengembangkan segala potensi dan talenta yang kita miliki. Cobalah untuk mengambil pengalaman sebanyak-banyaknya, ikutilah berbagai hal yang mungkin sulit untuk dilakukan, namun berpotensi memajukan diri kita.
Mungkin akan sering sekali respons yang keluar adalah:
“Tapi, itu kan berisiko?”
“Kalau saya salah gimana?”
“Kalau nantinya saya malah gagal gimana?”
“Siapa yang menjamin saya enggak bakal kenapa-kenapa?”
Bagi saya, pendapat-pendapat seperti itu udah saatnya masuk museum, klasik! Salah & gagal adalah hal lumrah. Manusia justru belajar dari yang namanya salah dan gagal. Kita jatuh, maka kita berdiri kembali. Kita terjerembab, maka kita bisa bangkit. Kita terluka, maka kita menjadi lebih kuat.
Pada akhirnya, pilihan itu memang tetap berada di tangan individu masing-masing. Mau menjadi manusia yang biasa-biasa saja, melakukan hal biasa-biasa saja, menghasilkan hal yang biasa-biasa saja, dan berakhir tanpa menjadi siapa-siapa? Silahkan-silahkan saja.
Tapi jika kita mau menjadi manusia yang lebih dari sekedar biasa saja, mari kita coba melakukan sesuatu mulai dari sekarang. Cobalah untuk melihat potensi apa yang terdapat di dalam diri kita. Jika sudah, bukalah mata, hati, dan pikiran kita terhadap hal-hal yang bisa mengembangkan potensi kita tersebut. Mulailah melakukan hal-hal yang luar biasa, dan janganlah ragu untuk mengambil resiko! Akhir kata, sampai bertemu ketika kita sudah menjadi ‘seseorang’! hehe..
Jakarta, 3 Oktober 2009.
Okki Sutanto
(berharap besok tidak hujan)

Batik, tak sekedar corak

Ketikan Pinggir Hari Ini.
Hari ini, 2 oktober 2009, ada yang unik dengan gaya berpakaian masyarakat. Tidak seperti biasanya, di mana kaos dan kemeja mendominasi, hari ini sejauh mata memandang batik terlihat di mana-mana. Penumpang bus transjakarta, pejalan kaki di trotoar, para mahasiswa dan dosen di kampus, banyak sekali yang mengenakan batik. Tidak sekedar baju, bahkan celana, tas, selendang, hingga boxer pun bercorak batik!
Memang, sejak beberapa pekan lalu gencar disosialisasikan gerakan menggunakan batik pada tanggal 1-3 Oktober, khususnya 2 Oktober. Gerakan ini sebagai perayaan, atas diresmikannya batik menjadi salah satu Warisan Dunia Tak Benda yang berasal dari Indonesia, oleh UNESCO. Sekedar informasi, kurang lebih terdapat 70 produk kebudayaan di seluruh dunia yang telah diresmikan oleh UNESCO, dan sebagian besar berasal dari Jepang dan Cina. Indonesia sendiri telah memiliki enam buah Warisan Dunia yang telah ditetapkan sebelumnya, yakni Komodo, Hutan Tropis, Situs Purbakala Sangiran, Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Keris.
Jujur, melihat banyaknya orang mengenakan batik, dan melihat betapa batik dihargai pada hari ini, rasa bangga sulit dielakkan. Rasa kebersamaan dan nasionalisme pun cukup terasa. Jika 81 tahun yang lalu para pemuda seantero nusantara mengumandangkan SUMPAH PEMUDA dan bersatu dalam bahasa, hari ini kita juga disatukan oleh batik. Namun masih patut disayangkan, pemaknaan sebagian besar orang terhadap batik masih belum mendalam.
Batik masih dipandang sebagai motif atau corak pakaian saja. Padahal, jika batik hanya sebatas itu, UNESCO tak mungkin menetapkan batik sebagai salah satu Warisan Dunia. Batik itu karya seni yang berfilosofis! Setiap jenis corak dan ragamnya memiliki arti berbeda. Kegunaan masing-masing corak batik pun berbeda. Ada KAWUNG, yang menandakan kerajaan. Ada PARANG, yang melambangkan kekuasaan dan keperkasaan. Ada NITIK yang menggambarkan kebijaksanaan. Ada SIDO MULYO, UDAN LIDRIS, dan masih banyak lagi. Sayangnya, filosofi yang terkandung dalam batik masih kurang dipahami dan dipedulikan oleh masyarakat.
Sulit memang, melakukan edukasi dan memberitahu masyarakat mengenai makna filosofis dari batik. Sejauh ini belum banyak pihak yang memberikan atensi terhadap hal tersebut kecuali beberapa musem batik di Jogja. Oleh sebab itu mungkin kita bisa memulai dari sekarang, dan dari diri kita sendiri, untuk membantu menanamkan dan menyebarkan keluhuran nilai dari batik pada masyarakat luas. Jika batik dipandang sebagai pakaian saja, dan lambat laun tak ada lagi yang mengerti nilai filosofis batik, lantas apa lagi kelebihan batik? Lantas, apa lagi yang bisa kita banggakan dari batik?
Jakarta, 2 Oktober 2009.
Okki Sutanto
(masih berhalusinasi melihat corak batik di mana-mana)

%d bloggers like this: