Oscar dan Mimpi-mimpi yang Tertunda

Perhelatan Academy Awards atau Piala Oscar edisi ke-95 baru saja usai. Banyak sejarah baru tercatat di perhelatan kali ini. Asia mengguncang! Film Everything Everywhere All At Once yang mayoritas pemainnya berasal dari Asia menyabet 7 gelar! Termasuk Michelle Yeoh sebagai Aktris Terbaik & Ke Huy Quan sebagai Aktor Pendukung Terbaik. Juga lagu India Naatu Naatu yang memenangi penghargaan Lagu Orisinil Terbaik lewat film RRR.

Selain kemenangan Asia, Oscar kali ini juga menyimpan banyak kisah mengharukan. Tentang bangkit dari keterpurukan dan mimpi yang tertunda.

Brendan Fraser dan Brenaissance

Sebut saja Brendan Fraser yang menyabet penghargaan Aktor Terbaik lewat penampilannya di film the Whale. Sempat jadi seleb papan atas dan menghasilkan banyak film box office di tahun 1990-an hingga awal 2000-an, banyak orang menyangka ia akan menjadi raja Hollywood dan karirnya terus melesat. Sayangnya, yang terjadi malah sebaliknya. Fraser lantas bak menghilang ditelan bumi. Karirnya meredup cepat.

Belakangan, publik baru mengetahui kisah sebenarnya.

Brendan sempat menjadi korban kekerasan seksual dari orang berpengaruh di Hollywood. Di puncak karir ia juga harus menjalani serangkaian operasi dan cidera yang membuatnya harus beristirahat lama. Belum lagi perceraian dengan istrinya yang juga membuatnya jauh dari anak-anaknya. Ditambah kematian ibunya saat ia masih berjuang kembali. It’s all just too much for anyone to bear. Kondisi mental Brendan terpukul. Karirnya pun terpengaruh.

Baru pada 2018 ia perlahan menemukan kembali ritmenya dalam berakting dengan mengambil beberapa peran di televisi. Memasuki periode “kebangkitan” atau Brenaissance. Hingga akhirnya ia mendapat peran di film The Whale sebagai profesor Bahasa Inggris yang tertutup, obesitas, dan mengalami isu kesehatan mental.

Ia tak menyiakan kesempatan. Penampilan apiknya diganjar sejumlah penghargaan, termasuk Piala Oscar untuk Aktor Terbaik.

Sebuah pencapaian yang amat mengharukan bagi Brendan Fraser. Tidak mudah untuk bangkit dari keterpurukan. Bangkit dari jurang terdalam untuk mereka yang pernah berada di puncak, bukan perkara mudah.

Mungkin benar apa yang Nietzsche katakan, “He who has a why to live, can bear almost any how”. Ia yang memiliki alasan kuat untuk hidup, akan sanggup menghadapi rintangan apa pun. Brendan Fraser telah membuktikannya.

Michelle Yeoh yang Menginspirasi

Banjir pujian juga diterima Michelle Yeoh. Pemenang Aktris Terbaik yang memukau lewat perannya sebagai Evelyn Wang di Everything Everywhere All At Once akhirnya mendapat Piala Oscar di usia 60 tahun. Aktris kelahiran Malaysia ini menyampaikan pesan inspiratif di pidato kemenangannya, “Ladies, never let anyone tell you that you are past your prime!”

Sebuah pesan menohok khususnya bagi masyarakat Asia yang tak jarang menganggap wanita sebagai warga kelas dua dan selepas usia tertentu sering dicap “leftovers”.

Tepat setelah ia memboyong Piala Oscar, Yeoh menerbitkan tulisan di New York Times sebagai Goodwill Ambassador dari UNDP (United Nation Development Programme). Tulisannya berjudul “The Crisis That Changed My Life 8 Years Ago Keeps Happening” menyerukan pentingnya berfokus pada perempuan dalam penanganan bencana.

Ia yang pernah mengalami gempa hebat kala berkunjung ke Nepal, menyuarakan pentingnya berperspektif perempuan dalam menangani bencana. Perempuan dan anak-anak tak jarang menjadi kelompok paling rentan dan terdampak di kala bencana. Sayangnya, suara dan keterlibatan mereka justru sering terpinggirkan dalam pencegahan maupun penanganan bencana.

Sungguh sebuah panutan! Di saat seisi dunia sedang memberikan lampu sorot padanya, ia justru berbagi spotlight-nya untuk urusan kemanusiaan.

Ke Huy Quan dan Mimpi yang Tertunda

Kisah yang tak kalah mengharukan datang dari Ke Huy Quan, yang mendapat Piala Oscar untuk Aktor Pendukung Terbaik. Foto aktor berusia 51 tahun ini bersama Harisson Ford viral. Ada kisah hangat di baliknya.

Quan kecil yang lahir di Vietnam sempat terkatung-katung menjadi pengungsi di Hong Kong sebelum akhirnya ia dan keluarganya tiba di Amerika Serikat pada tahun 1979. Ia sempat menjadi Aktor Cilik dan bermain film bersama dengan Harisson Ford di Indiana Jones: Temple of Doom pada tahun 1984. Ia juga mendapatkan sejumlah peran yang cukup melambungkan namanya setelah itu.

Sayangnya, selepas lulus sekolah, peran yang bisa ia dapatkan menipis. Hollywood gave up on him. Ia pun menyerah dan mengubur mimpinya berakting. Banting setir menjadi asisten sutradara dan koordinator stunt. Berpuluh-puluh tahun bregelut di industri yang dicintainya, tapi bukan menjalani sesuatu yang amat ia cintai: menjadi aktor.

Kesuksesan film Crazy Rich Asians pada tahun 2018 menginspirasi dan memantik kembali mimpinya menjadi aktor. Ia memutuskan untuk meniti kembali karir beraktingnya. Gayung bersambut, selang beberapa minggu setelah memiliki agen, ia mendapat kesempatan mengikuti audisi film Everything Everywhere All At Once. Ia berhasil mendapatkan peran tersebut dan memberikan penampilan memukau. Ia pun memboyong Oscar.

Dalam foto yang viral di atas, ia memeluk Harisson Ford, lawan mainnya 39 tahun yang lalu. Ford begitu senang dan bangga melihat pencapaian Quan. Keduanya berpelukan erat berbagi kebahagiaan di panggung Oscar.

Membunuh Mimpi

Kisah Brendan dan Quan membuat saya berpikir. Bisakah kita membunuh mimpi kita sendiri? Mungkinkah mimpi-mimpi kita lupakan begitu saja? Kemanakah ia jika tak pernah kita perjuangkan?

Saya jadi teringat sebuah video Pandji Pragiwaksono di Youtube. Itu adalah cuplikan epilognya kala menggelar pertunjukkan Stand-Up Comedy. Ia menceritakan kisah mengharukan tentang mimpi-mimpi yang terkubur. Mimpi ayahnya untuk menerbitkan buku yang tidak kesampaian. Juga mimpi dirinya sendiri untuk memulai karir sebagai komika di New York.

”Mimpi gak bisa dibunuh. Sekeras-kerasnya lo pukul, dia gak bakal mati. Dia cuma bakal pingsan dan datang kembali di hari tua dalam bentuk penyesalan,” ucap Pandji.

Ya, mungkin benar. Mimpi tidak akan bisa kita bunuh sepenuhnya.

Jika kita tidak memperjuangkannya, ia akan datang kembali suatu hari nanti dalam bentuk penyesalan.

Kita akan selalu punya segudang alasan untuk tidak mengejar mimpi. Tidak punya uang. Tidak punya waktu. Tidak punya energi. Tidak realistis. Takut akan pendapat orang lain. Dan lain sebagainya.

Tapi, yakin mau terus begitu? Yakin suatu saat dia gak akan datang kembali dalam bentuk penyesalan?

Saya sih tidak. Mimpi saya mungkin tidak sebesar Brendan dan Quan. Tapi saya yakin penyesalan saya akan jauh lebih besar dari mereka jika saya tidak melakukan apa-apa untuk mewujudkan mimpi-mimpi saya. Oleh sebab itu, hingga detik ini saya terus memperjuangkan mimpi saya untuk membesarkan usaha, menerbitkan buku, membahagiakan keluarga, hingga membawa manfaat sebesarnya bagi sebanyak-banyaknya orang lewat karya-karya saya.

Menggapai mimpi tentu bukan hal yang mudah. Kisah Brendan Fraser, Michelle Yeoh, atau Ke Huy Quan mengajarkan betapa mimpi penuh jalan berliku yang tak jarang seperti bermain Ular Tangga. Sudah dekat ke tujuan pun bisa tergelincir kembali ke awal permainan karena berbagai faktor. Ya internal pun eksternal.

Saya yakin, sekalipun mimpi-mimpi itu tidak sepenuhnya tercapai, sebenarnya ya tidak masalah juga. Saya akan tetap menikmati prosesnya. Dan saya bisa tidur nyenyak di hari tua nanti, mengetahui bahwa saya sudah melakukan segala yang saya bisa untuk memperjuangkan mimpi-mimpi saya.

Memastikan tidak ada ruang bagi penyesalan untuk muncul tiba-tiba. Memainkan segala skenario “what-ifs” dan “could-have-beens” di kala waktu tidak bisa saya ulang kembali.

Jadi, sudah sejauh mana kamu memperjuangkan mimpimu?

The clock’s ticking and I hope you’re still kicking!

Jakarta, 16 Maret 2023.

PAJAK, KETIMPANGAN, & MORALITAS

Seorang pejabat pajak saat ini sedang jadi sorotan. Berawal dari kasus kekerasan remaja, kasus kini bergulir ke isu pamer harta, nilai kekayaan fantastis, transaksi janggal dan ilegal, hingga kekayaan yang tidak dilaporkan dan pajak yang tidak dibayarkan.

Bayangkan. Seorang pejabat urusan perpajakan. Malah melanggar urusan perpajakan. Ironi bukan?

Sayangnya, ini bukan hal baru apalagi satu-satunya. Kasus Gayus masih hangat di ingatan. Pejabat berharta jumbo juga sudah jadi sesuatu yang lumrah. Ada apa sebenarnya dengan pajak? Apakah benar semua orang sama di mata hukum? Setara di mata pajak?

Tentu saja tidaak.

“TAX IS A POOR MAN’S GAME!”

Begitu salah satu kalimat di buku The Panama Papers yang membuat saya termenung. “Anjing, bener juga!” batin saya kemudian.

Membayar pajak sesuai aturan itu cuma buat orang miskin. Mentok-mentok ya kelas menengah. Buat orang-orang super kaya, pajak itu permainan yang sama sekali berbeda.

Kasus Panama Papers mengungkap hal ini. Laporan investigasi hasil kerjasama ratusan jurnalis ini mengungkap betapa pejabat dan orang-orang super kaya di 80 negara melakukan manuver sedemikian rupa untuk menyembunyikan harta, menyamarkan transaksi ilegal, dan menghindari pajak. Termasuk pejabat dan konglomerat Indonesia.

Maka sejatinya tidak perlu heran dengan fenomena pejabat pajak ngehe belakangan ini. Mengangkangi pajak itu sudah jadi rahasia umum. Opsinya banyak. Bisa menggunakan perusahaan cangkang luar negeri seperti modus di Panama Papers. Atau menggunakan jasa “orang dalam” yang paham pajak. Siapa yang paling paham pajak selain para pegawai pajaknya sendiri seperti Gayus dan Rafael? hehehe..

Sayangnya, Panama Papers kurang menggigit di Indonesia. Di luar negeri, dampaknya luar biasa. Perdana Menteri Islandia mundur. Pengusutan dan penindakan hukum bagi nama-nama yang masuk ke Panama Papers dilangsungkan. Revolusi dan penggulingan rezim terjadi. Sejumlah negara membuat peraturan dan legislasi baru untuk mencegah modus serupa terjadi di masa depan.

Di Indonesia, rilis Panama Papers pada 2016 bertepatan dengan program Tax Amnesty yang digagas presiden. Hasilnya, laporan Panama Papers tidak dianggap penting. Pemerintah seakan berkata “Iya iya gue tau lu pada nyembunyiin harta di luar negeri, udah sekarang bawa pulang buat membangun bangsa, dosa lu gue maapin”.

Jadinya, ya gitu…

Bahkan nama-nama besar yang ada di Panama Papers, kini menjadi menteri bahkan menteri koordinator di republik ini. Lucu ya, mereka-mereka yang jelas-jelas mengangkangi pajak dan gagal menjadi rakyat yang baik, kini malah diberikan tanggung jawab mengurus rakyat. Mereka-mereka yang moralitasnya patut dipertanyakan, kini malah ditugasi mengurus moralitas rakyat. hehehe..

Intinya, jangan kira ketimpangan hanya masalah pendapatan saja. Dalam urusan membayar pajak pun, ketimpangan jelas terjadi. Rakyat kecil pekerja keras ya harus tunduk patuh pada segenap aturan. Seperti kasus komika Babe Cabita yang dikenai denda pajak cukup besar karena tidak paham peraturan.

Tapi, buat orang-orang super kaya, ya beda. Akan selalu ada pejabat-pejabat ngehe macam Rafael Alun yang siap memudahkan hidupmu. Memberimu karpet merah, membuat hartamu terlihat bersih dan rapih, dan membuatmu lolos dari jerat hukum.

Apakah gratis? Ya gak lah. Minimal 1 Rubicon dan 1 Harley. hehehe..

Jakarta, 9 Maret 2023

Korupsi Telah Dikorupsi

Korupsi telah dikorupsi. Ya oleh pejabat, media, juga kita sendiri.

Dulu, korupsi punya nama lengkap. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. KKN! Berkumandang bergemuruh di tiap jengkal sudut reformasi. Korupsi dilarang! Kolusi dibenci! Nepotisme diberantas.

Tapi kini, korupsi telah terkorupsi. Jadi tinggal…korupsi. Disempitkan dan direduksi, hingga kehilangan esensi.

Buktinya apa?

Kita punya Komisi Pemberantas Korupsi. Tapi tidak dengan Kolusi dan Nepotisme.

Itu pun Komisi Pemberantas Korupsi-nya kayaknya gak peduli-peduli amat juga sama korupsi. Kemarin, Gubernur Papua yang tersangkut korupsi menagih “janji rahasia” sang Ketua KPK. Apa namanya kalau bukan kolusi?

Persetan dengan kolusi. Semua bebas bersekongkol dan membuat pemufakatan jahat. Memuluskan legislasi jahat tanpa persetujuan rakyat. Membuat kesepakatan-kesepakatan politik rahasia tanpa melibatkan konstituen. Hingga kolusi DPR dan MK untuk “main hakim sendiri”. Yang terakhir miris, baru pertama kali dalam sejarah semua hakim MK dipolisikan. Diduga terlibat dalam perkongkolan tolol mengubah putusan.

Trias politika telah lama jadi trias koruptika. Ngapain pembagian kekuasaan kalau bisa bagi-bagi kekuasaan? ehehe..

Nepotisme

Itu tadi baru kolusi. Nepotisme? Duh. Presiden kita anaknya walikota di Jawa. Mantunya walikota di Sumatera. Iparnya Ketua MK. Lalu anak bungsunya juga sekarang mau masuk politik. Ya siapa yang gak minat wong gak perlu ngapa-ngapain pasti dapet jabatan. Pas awal sih ngakunya beda, ternyata cuma nunggu waktu aja buat tergoda. ehehe..

Gubernur Instagram tanpa malu-malu merestui jalan istrinya jadi Walikota. Para mantan presiden tanpa malu-malu menjadikan anaknya pejabat dan ketua partai. Para kepala daerah tak malu mewariskan dinasti ke anak istrinya. Apa itu kerja keras? Apa itu prestasi dan kemampuan? Selama kamu terlahir dari titit yang tepat, apa pun bisa kamu dapat.

Ya, korupsi telah direduksi dan dikorupsi. Oleh mereka-mereka yang punya jabatan. Oleh media yang memuluskan jalan mereka. Oleh para pendukung yang selalu punya pembenaran atas setiap langkah junjungan mereka. Oleh kita yang memilih diam.

Padahal, kolusi dan nepotisme tidak kalah jahat dari korupsi. Mereka menutup gerbang keadilan. Mereka menutup akses bagi orang-orang yang tidak dekat dengan kekuasaan. Mereka adalah pangkal dari begitu banyak masalah di negara ini. Dari pejabat inkompeten, kebijakan tolol, persekongkolan jahat, hingga ketidakadilan.

Kolusi dan nepotisme ya awal dari konflik kepentingan. Yang sudah sepatutnya dihindari siapa saja yang waras dan punya moralitas. Membiarkan keluarga kita ikut dalam pertandingan yang kita wasiti ya jelas tolol. Membiarkan pejabat membuat kebijakan yang menguntungkan bisnis mereka sendiri ya jelas bangsat.

Tapi ya apa boleh buat.

Korupsi telah dikorupsi. Dan kita cuma bisa jadi saksi.

Mungkin benar kata Bung Karno. Perjuangan beliau akan lebih mudah karena melawan penjajah. Dan perjuangan kita akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri. Juga anak cucu beliau.

Jakarta 3 Februari 2023

%d bloggers like this: