The Non-Travellers Ultimate Guide to Japan

Nah, berhubung kemarin lumayan banyak yang punya pertanyaan seputar jalan-jalan ke Jepang. Saya coba rangkum di sini aja ya untuk memudahkan. Saya beri nama “The Non-Travellers Ultimate Guide to Japan”. Dari pemula, untuk pemula. Semangatnya berbagi, bukan mengajari. Selamat membaca dan semoga bermanfaat!

First things first: secure visa, tickets, & do your research.

Tiga hal ini sih yang perlu banget disiapin dari jauh-jauh hari. Untuk visa, dapetin slot appointment ke JVAC (Japan Visa Application Center) gak gampang. Mesti cepet-cepetan dan sering-sering refresh di websitenya. Kalau gak mau repot, bisa pakai biro jasa. Secepet-cepetnya kayaknya butuh waktu seminggu, ya itu kalau lancar. Shit happens. Mending siapin dari jauh-jauh hari kalau dokumen kurang atau apa masih ada waktu. Saya beresin visa sekitar sebulan sebelumnya, itu aja agak deg-degan. haha..

Selain itu, tiket pesawat juga perlu dibeli dari jauh-jauh hari kalau mau dapet harga terbaik. Apalagi buat yang mau nukerin Miles. Saya beruntung 2 bulan sebelum berangkat bisa nukerin miles Krisflyer dan dapat jadwal yang cocok. Denger-denger banyak yang waitlist sampai berbulan-bulan, khususnya di bulan-bulan ramai. The sooner, the better.

Yang gak kalah penting: do your research. Mau datengin apa aja di Jepang? Mau ngeliat apa aja? Mau nyobain makanan apa aja? Ada festival/acara seru apa yang pas sama jadwalmu ke Jepang? Cuacanya nanti gimana? Butuh pakaian setebal apa? Bisa dapet liat sakura gak? Enaknya PP dari Tokyo apa pulangnya dari kota lain ya? Dan lain sebagainya.

Karena pada akhirnya tiap perjalanan itu personal. Apa yang kamu suka belum tentu orang lain suka. Orang yang kamu suka juga belum tentu suka balik sama kamu. Lah? Maap-maap.

Ya kecuali kamu ikut paket wisata di Tour & Travel ya, gak usah pusing-pusing amat. Tinggal ikutin jadwalnya aja. Tapi saya lebih suka jalan sendiri dan atur jadwal senyaman saya. Jadinya ya riset tipis-tipis ini penting banget.

Buat yang bakalan pergi sama pasangan, ini bisa jadi momen bonding seru lho. Nonton Youtube barengan liat video-video travel di Jepang. Share-share postingan seru di Instagram / Tiktok soal Jepang. Atau berbagi bacaan-bacaan seru lainnya soal Jepang yang kamu nemu di internet. Favorit saya Paolo From Tokyo sama Hangry by Nature di Youtube. Seru-seru dan informatif banget video mereka.

Intinya, bagian “riset” sebelum pergi ini selain penting, juga menyenangkan dan bisa dinikmati koq. Syukur-syukur dari liat video-video perjalanan kamu udah cukup merasa healing. Gak perlu beneran terbang ke Jepang. Lumayan banget kan tuh hematnya? hehehe..

PENGINAPAN

Kalau tiga hal penting tadi udah beres, kamu bisa lanjut ke hal berikutnya yang gak kalah penting: PENGINAPAN. Nyari penginapan ini pengalaman tersendiri. Tapi intinya ya cari yang sesuai sama kebutuhan kamu. Penginapan di Jepang tuh macem-macem banget. Ada hotel budget, ada hotel berbintang, ada AirBnB, ada Ryokan yang lebih tradisional, ada Hostel, ada Manga / Internet Cafe yang bisa jadi solusi nginep murah. Buanyak banget opsinya. Sesuaikan aja sama kebutuhanmu.

Tapi tenang aja, kamu gak perlu booking semuanya dari jauh-jauh hari koq. Saya sendiri booknya nunggu ada diskon. Pasang watch list di Booking.com, pas harganya turun muncul notifnya dan baru deh saya booking. Selain Booking.com ya bisa via Agoda atau Traveloka / Tiket.

Bahkan ada beberapa penginapan yang baru kita book atau extend pas udah di Jepang koq. Selain karena itinerary yang berubah menyesuaikan mood dan cuaca, juga karena kita mau cobain dulu hotelnya. Takutnya udah book sekian malam, eh ternyata kurang cocok. Kan sayang.

Saya sendiri kemarin selalu cari hotel-hotel budget yang di kisaran 800-900 ribuan. Ya mentok-mentok ada yang 1 juta lewat-lewat dikit. Fokus saya cuma beberapa hal ini: reviewnya oke (di atas 8), kamarnya gak sempit-sempit amat (di atas 16 meter persegi), dan jaraknya dekat dari stasiun/halte terdekat (kisaran 5-10 menit). Yang terakhir penting banget, supaya kamu gak perlu cape jalan kaki kejauhan sehabis bertualang seharian.

Buat 1-2 malam terakhir, boleh banget book yang agak mahalan dikit. Yang lebih luas dikit. Pertama, biar bisa lebih rileks dan nyaman buat badan. Bisa selonjoran sesuka hati tanpa takut kepentok furniture. Alasan kedua, juga biar aman buat packing koper dan belanjaan. Ini penting ya, soalnya hotel di Jepang pada umumnya tuh sempit banget. Kayak kos-kosan mahasiswa beasiswa. Tapi yaudahlah ya, yang penting bisa tidur dan mandi dengan nyaman~

Karena cuma berdua, kemarin saya gak book AirBnB. Tapi buat yang pergi ramai-ramai, AirBnB mungkin bisa jadi opsi yang lebih pas ya karena banyak yang menawarkan apartemen lebih luas. Gak sempet nyobain Ryokan juga karena lebih enak Ryokan di kota-kota kecil yang pemandangannya bagus. Next time, deh.

INTERNET

Untuk internet selama di Jepang saya tadinya galau antara 3 opsi: beli SIM Card Travel lokal. Sewa pocket wifi dari Indonesia. Atau beli paket data e-SIM dan masukkin ke HP. Tapi akhirnya memutuskan untuk sewa pocket wifi aja. Soalnya gadget saya dan istri ada beberapa. Kalau harus beli beberapa SIM atau e-SIM ya jadinya mahal. hehe. Tapi ya kelemahannya kalau salah satu terpisah, agak repot ya. Untungnya sih kita kayak perangko alias nempel terus. Jadi aman. hehehe..

Saya ambil paket Javamifi yang 60 ribu per hari. Kalau gak salah FUP 2gb per hari (setelah itu masih bisa dipakai cuma kecepatan menurun). Enaknya ya bisa digunakan sama beberapa gadget sekaligus. Kemarin kita pakai untuk 3-4 gadget baterainya tahan seharian. Tinggal dicharge aja pas malem. Besoknya siap dipakai berkelana lagi seharian.

Totalnya untuk internet selama 12 hari jadi 720 ribu. Ada deposit juga Rp 500.000. Tapi ini bakal dibalikin kalau pocket wifinya udah kamu kembalikan pas pulang ke Indonesia. Balikinnya pun bisa di bandara (gerai Javamifi) atau drop di Indomaret mana aja seluruh Indonesia. Simpel dan gratis!

LOST IN TRANSLATION

Kecuali kamu sering banget nonton bokep Jepang atau pernah kursus belajar bahasa Jepang, maka siap-siap sering pakai bahasa tubuh aja selama di sana. Soalnya bahasa Inggris orang-orang Jepang gak sebagus itu juga. Sekalipun bisa, mungkin aksennya gak semudah itu untuk kamu pahami. Jadi ya andalkan saja Google Translate dan bahasa tubuh.

Jangan heran kalau nanti bakal sering banget bilingual di sana. Kamu pakai bahasa Inggris. Orang Jepangnya pakai bahasa Jepang. Tapi entah bagaimana caranya kalian bisa tetap saling memahami tanpa kendala berarti. Amazing emang. Love wins.

Rata-rata di supermarket, minimarket, restoran, stasiun, halte, dan tempat-tempat publik lain juga ada petunjuk dalam bahasa Inggris koq. Jadi ya aman-aman saja sebenernya. Kamu gak perlu khawatir. When in doubt, trust Google Maps.

TRANSAKSI & UANG

Di Jepang nyaris semua tempat mendukung cashless. Bisa pakai credit card, atau tap aja kartu contactless Visa/Mastercard. Saya pakai kartu debit Jenius yang Visa Paywave. Tinggal tap-tap aja lalu transaksi berhasil. Di Lawson. Sevel. FamilyMart. Restoran. Juga tempat belanja lainnya. Nyaris semua udah bisa cashless.

Tapiiiiiiiiiiiii, tetap ada beberapa tempat yang cuma menerima cash ya. Tetap bawa uang cash secukupnya. Kalau cash kurang, ATM juga lumrah ditemui. Cari aja yang ada logo jaringan yang dimiliki kartu ATM kamu. Saya pakai Debit BCA yang termasuk dalam jaringan Cirrus. Aman.

Untuk transport, bisa pakai kartu SUICA / IC Card ya. Tinggal tap. Semacam eMoney di sana. Kamu isi lebihan juga ga apa, karena bisa dipakai belanja di minimarket dan sejumlah tempat lain juga. Gak cuma buat naik kereta / bis. Sama kayak eMoney dan Flazz lah.

Duh, gak terasa udah segini panjang. Gak muat nih. hehe.

Jadi, sekian dulu The Non-Travellers Ultimate Guide to Japan bagian pertama. Pada bagian berikutnya saya akan bahas itinerary, transportasi, tempat makan, sampai budget.

Semoga guide ini membantu, ya! Selamat merencanakan perjalananmu~

Jakarta,18 Maret 2023

Oscar dan Mimpi-mimpi yang Tertunda

Perhelatan Academy Awards atau Piala Oscar edisi ke-95 baru saja usai. Banyak sejarah baru tercatat di perhelatan kali ini. Asia mengguncang! Film Everything Everywhere All At Once yang mayoritas pemainnya berasal dari Asia menyabet 7 gelar! Termasuk Michelle Yeoh sebagai Aktris Terbaik & Ke Huy Quan sebagai Aktor Pendukung Terbaik. Juga lagu India Naatu Naatu yang memenangi penghargaan Lagu Orisinil Terbaik lewat film RRR.

Selain kemenangan Asia, Oscar kali ini juga menyimpan banyak kisah mengharukan. Tentang bangkit dari keterpurukan dan mimpi yang tertunda.

Brendan Fraser dan Brenaissance

Sebut saja Brendan Fraser yang menyabet penghargaan Aktor Terbaik lewat penampilannya di film the Whale. Sempat jadi seleb papan atas dan menghasilkan banyak film box office di tahun 1990-an hingga awal 2000-an, banyak orang menyangka ia akan menjadi raja Hollywood dan karirnya terus melesat. Sayangnya, yang terjadi malah sebaliknya. Fraser lantas bak menghilang ditelan bumi. Karirnya meredup cepat.

Belakangan, publik baru mengetahui kisah sebenarnya.

Brendan sempat menjadi korban kekerasan seksual dari orang berpengaruh di Hollywood. Di puncak karir ia juga harus menjalani serangkaian operasi dan cidera yang membuatnya harus beristirahat lama. Belum lagi perceraian dengan istrinya yang juga membuatnya jauh dari anak-anaknya. Ditambah kematian ibunya saat ia masih berjuang kembali. It’s all just too much for anyone to bear. Kondisi mental Brendan terpukul. Karirnya pun terpengaruh.

Baru pada 2018 ia perlahan menemukan kembali ritmenya dalam berakting dengan mengambil beberapa peran di televisi. Memasuki periode “kebangkitan” atau Brenaissance. Hingga akhirnya ia mendapat peran di film The Whale sebagai profesor Bahasa Inggris yang tertutup, obesitas, dan mengalami isu kesehatan mental.

Ia tak menyiakan kesempatan. Penampilan apiknya diganjar sejumlah penghargaan, termasuk Piala Oscar untuk Aktor Terbaik.

Sebuah pencapaian yang amat mengharukan bagi Brendan Fraser. Tidak mudah untuk bangkit dari keterpurukan. Bangkit dari jurang terdalam untuk mereka yang pernah berada di puncak, bukan perkara mudah.

Mungkin benar apa yang Nietzsche katakan, “He who has a why to live, can bear almost any how”. Ia yang memiliki alasan kuat untuk hidup, akan sanggup menghadapi rintangan apa pun. Brendan Fraser telah membuktikannya.

Michelle Yeoh yang Menginspirasi

Banjir pujian juga diterima Michelle Yeoh. Pemenang Aktris Terbaik yang memukau lewat perannya sebagai Evelyn Wang di Everything Everywhere All At Once akhirnya mendapat Piala Oscar di usia 60 tahun. Aktris kelahiran Malaysia ini menyampaikan pesan inspiratif di pidato kemenangannya, “Ladies, never let anyone tell you that you are past your prime!”

Sebuah pesan menohok khususnya bagi masyarakat Asia yang tak jarang menganggap wanita sebagai warga kelas dua dan selepas usia tertentu sering dicap “leftovers”.

Tepat setelah ia memboyong Piala Oscar, Yeoh menerbitkan tulisan di New York Times sebagai Goodwill Ambassador dari UNDP (United Nation Development Programme). Tulisannya berjudul “The Crisis That Changed My Life 8 Years Ago Keeps Happening” menyerukan pentingnya berfokus pada perempuan dalam penanganan bencana.

Ia yang pernah mengalami gempa hebat kala berkunjung ke Nepal, menyuarakan pentingnya berperspektif perempuan dalam menangani bencana. Perempuan dan anak-anak tak jarang menjadi kelompok paling rentan dan terdampak di kala bencana. Sayangnya, suara dan keterlibatan mereka justru sering terpinggirkan dalam pencegahan maupun penanganan bencana.

Sungguh sebuah panutan! Di saat seisi dunia sedang memberikan lampu sorot padanya, ia justru berbagi spotlight-nya untuk urusan kemanusiaan.

Ke Huy Quan dan Mimpi yang Tertunda

Kisah yang tak kalah mengharukan datang dari Ke Huy Quan, yang mendapat Piala Oscar untuk Aktor Pendukung Terbaik. Foto aktor berusia 51 tahun ini bersama Harisson Ford viral. Ada kisah hangat di baliknya.

Quan kecil yang lahir di Vietnam sempat terkatung-katung menjadi pengungsi di Hong Kong sebelum akhirnya ia dan keluarganya tiba di Amerika Serikat pada tahun 1979. Ia sempat menjadi Aktor Cilik dan bermain film bersama dengan Harisson Ford di Indiana Jones: Temple of Doom pada tahun 1984. Ia juga mendapatkan sejumlah peran yang cukup melambungkan namanya setelah itu.

Sayangnya, selepas lulus sekolah, peran yang bisa ia dapatkan menipis. Hollywood gave up on him. Ia pun menyerah dan mengubur mimpinya berakting. Banting setir menjadi asisten sutradara dan koordinator stunt. Berpuluh-puluh tahun bregelut di industri yang dicintainya, tapi bukan menjalani sesuatu yang amat ia cintai: menjadi aktor.

Kesuksesan film Crazy Rich Asians pada tahun 2018 menginspirasi dan memantik kembali mimpinya menjadi aktor. Ia memutuskan untuk meniti kembali karir beraktingnya. Gayung bersambut, selang beberapa minggu setelah memiliki agen, ia mendapat kesempatan mengikuti audisi film Everything Everywhere All At Once. Ia berhasil mendapatkan peran tersebut dan memberikan penampilan memukau. Ia pun memboyong Oscar.

Dalam foto yang viral di atas, ia memeluk Harisson Ford, lawan mainnya 39 tahun yang lalu. Ford begitu senang dan bangga melihat pencapaian Quan. Keduanya berpelukan erat berbagi kebahagiaan di panggung Oscar.

Membunuh Mimpi

Kisah Brendan dan Quan membuat saya berpikir. Bisakah kita membunuh mimpi kita sendiri? Mungkinkah mimpi-mimpi kita lupakan begitu saja? Kemanakah ia jika tak pernah kita perjuangkan?

Saya jadi teringat sebuah video Pandji Pragiwaksono di Youtube. Itu adalah cuplikan epilognya kala menggelar pertunjukkan Stand-Up Comedy. Ia menceritakan kisah mengharukan tentang mimpi-mimpi yang terkubur. Mimpi ayahnya untuk menerbitkan buku yang tidak kesampaian. Juga mimpi dirinya sendiri untuk memulai karir sebagai komika di New York.

”Mimpi gak bisa dibunuh. Sekeras-kerasnya lo pukul, dia gak bakal mati. Dia cuma bakal pingsan dan datang kembali di hari tua dalam bentuk penyesalan,” ucap Pandji.

Ya, mungkin benar. Mimpi tidak akan bisa kita bunuh sepenuhnya.

Jika kita tidak memperjuangkannya, ia akan datang kembali suatu hari nanti dalam bentuk penyesalan.

Kita akan selalu punya segudang alasan untuk tidak mengejar mimpi. Tidak punya uang. Tidak punya waktu. Tidak punya energi. Tidak realistis. Takut akan pendapat orang lain. Dan lain sebagainya.

Tapi, yakin mau terus begitu? Yakin suatu saat dia gak akan datang kembali dalam bentuk penyesalan?

Saya sih tidak. Mimpi saya mungkin tidak sebesar Brendan dan Quan. Tapi saya yakin penyesalan saya akan jauh lebih besar dari mereka jika saya tidak melakukan apa-apa untuk mewujudkan mimpi-mimpi saya. Oleh sebab itu, hingga detik ini saya terus memperjuangkan mimpi saya untuk membesarkan usaha, menerbitkan buku, membahagiakan keluarga, hingga membawa manfaat sebesarnya bagi sebanyak-banyaknya orang lewat karya-karya saya.

Menggapai mimpi tentu bukan hal yang mudah. Kisah Brendan Fraser, Michelle Yeoh, atau Ke Huy Quan mengajarkan betapa mimpi penuh jalan berliku yang tak jarang seperti bermain Ular Tangga. Sudah dekat ke tujuan pun bisa tergelincir kembali ke awal permainan karena berbagai faktor. Ya internal pun eksternal.

Saya yakin, sekalipun mimpi-mimpi itu tidak sepenuhnya tercapai, sebenarnya ya tidak masalah juga. Saya akan tetap menikmati prosesnya. Dan saya bisa tidur nyenyak di hari tua nanti, mengetahui bahwa saya sudah melakukan segala yang saya bisa untuk memperjuangkan mimpi-mimpi saya.

Memastikan tidak ada ruang bagi penyesalan untuk muncul tiba-tiba. Memainkan segala skenario “what-ifs” dan “could-have-beens” di kala waktu tidak bisa saya ulang kembali.

Jadi, sudah sejauh mana kamu memperjuangkan mimpimu?

The clock’s ticking and I hope you’re still kicking!

Jakarta, 16 Maret 2023.

PAJAK, KETIMPANGAN, & MORALITAS

Seorang pejabat pajak saat ini sedang jadi sorotan. Berawal dari kasus kekerasan remaja, kasus kini bergulir ke isu pamer harta, nilai kekayaan fantastis, transaksi janggal dan ilegal, hingga kekayaan yang tidak dilaporkan dan pajak yang tidak dibayarkan.

Bayangkan. Seorang pejabat urusan perpajakan. Malah melanggar urusan perpajakan. Ironi bukan?

Sayangnya, ini bukan hal baru apalagi satu-satunya. Kasus Gayus masih hangat di ingatan. Pejabat berharta jumbo juga sudah jadi sesuatu yang lumrah. Ada apa sebenarnya dengan pajak? Apakah benar semua orang sama di mata hukum? Setara di mata pajak?

Tentu saja tidaak.

“TAX IS A POOR MAN’S GAME!”

Begitu salah satu kalimat di buku The Panama Papers yang membuat saya termenung. “Anjing, bener juga!” batin saya kemudian.

Membayar pajak sesuai aturan itu cuma buat orang miskin. Mentok-mentok ya kelas menengah. Buat orang-orang super kaya, pajak itu permainan yang sama sekali berbeda.

Kasus Panama Papers mengungkap hal ini. Laporan investigasi hasil kerjasama ratusan jurnalis ini mengungkap betapa pejabat dan orang-orang super kaya di 80 negara melakukan manuver sedemikian rupa untuk menyembunyikan harta, menyamarkan transaksi ilegal, dan menghindari pajak. Termasuk pejabat dan konglomerat Indonesia.

Maka sejatinya tidak perlu heran dengan fenomena pejabat pajak ngehe belakangan ini. Mengangkangi pajak itu sudah jadi rahasia umum. Opsinya banyak. Bisa menggunakan perusahaan cangkang luar negeri seperti modus di Panama Papers. Atau menggunakan jasa “orang dalam” yang paham pajak. Siapa yang paling paham pajak selain para pegawai pajaknya sendiri seperti Gayus dan Rafael? hehehe..

Sayangnya, Panama Papers kurang menggigit di Indonesia. Di luar negeri, dampaknya luar biasa. Perdana Menteri Islandia mundur. Pengusutan dan penindakan hukum bagi nama-nama yang masuk ke Panama Papers dilangsungkan. Revolusi dan penggulingan rezim terjadi. Sejumlah negara membuat peraturan dan legislasi baru untuk mencegah modus serupa terjadi di masa depan.

Di Indonesia, rilis Panama Papers pada 2016 bertepatan dengan program Tax Amnesty yang digagas presiden. Hasilnya, laporan Panama Papers tidak dianggap penting. Pemerintah seakan berkata “Iya iya gue tau lu pada nyembunyiin harta di luar negeri, udah sekarang bawa pulang buat membangun bangsa, dosa lu gue maapin”.

Jadinya, ya gitu…

Bahkan nama-nama besar yang ada di Panama Papers, kini menjadi menteri bahkan menteri koordinator di republik ini. Lucu ya, mereka-mereka yang jelas-jelas mengangkangi pajak dan gagal menjadi rakyat yang baik, kini malah diberikan tanggung jawab mengurus rakyat. Mereka-mereka yang moralitasnya patut dipertanyakan, kini malah ditugasi mengurus moralitas rakyat. hehehe..

Intinya, jangan kira ketimpangan hanya masalah pendapatan saja. Dalam urusan membayar pajak pun, ketimpangan jelas terjadi. Rakyat kecil pekerja keras ya harus tunduk patuh pada segenap aturan. Seperti kasus komika Babe Cabita yang dikenai denda pajak cukup besar karena tidak paham peraturan.

Tapi, buat orang-orang super kaya, ya beda. Akan selalu ada pejabat-pejabat ngehe macam Rafael Alun yang siap memudahkan hidupmu. Memberimu karpet merah, membuat hartamu terlihat bersih dan rapih, dan membuatmu lolos dari jerat hukum.

Apakah gratis? Ya gak lah. Minimal 1 Rubicon dan 1 Harley. hehehe..

Jakarta, 9 Maret 2023

%d bloggers like this: