
Beberapa hari lalu saya memulai tahun terakhir usia dua puluhan. Ya, dua puluh sembilan tahun sudah saya numpang bernapas di muka bumi. Melihat segala yang indah dan buruk. Tak lupa mengecap segala yang manis, asam, pun pahit. Ya begitulah hidup, bukan? Kalau melulu manis, ya gak seru. Sesekali haruslah mengecap yang pahit, biar bisa lebih menghargai yang manis.
Tiga ratus enam puluh hari lagi, saya akan memasuki usia tiga puluhan. Ga tahu sih, apa bedanya usia dua puluhan dan tiga puluhan. Apa mendadak jadi lebih bijak dalam menjalani hidup? Ya kan gak juga. Apa mendadak jadi botak dan ubanan? Ya semoga tidak.
Rasa-rasanya sih, tiga puluh bukan suatu “jenjang” baru yang berubah drastis banget yak. Ga kayak empat puluh, setidaknya. Kan katanya life begins at forty. Majalah Fortunes juga seringnya bikin “40 Under 40” untuk orang-orang berprestasi di bawah usia 40. Jadi, apa ada beda signifikan bagi kita saat beranjak dari 20-an tahun ke 30-an tahun? Ya tidak tahu juga.
Yang pasti, sudah tidak muda-muda banget lagi. Muda, masih. Cuma ya ga muda-muda amat. Kalau dengar ada orang bilang usianya “dua puluhan”, kan mungkin yang terbayang itu gambaran anak kuliahan, atau orang yang baru lulus dan mulai cari kerja. Kalau “tiga puluhan” kan pasti gambarannya udah beda. Bukan lagi dedek-dedek gemes yang masih bingung hidupnya mau dibawa kemana. Masih mencari jati diri. Masih haha-hihi terombang-ambing ketidakpastian hidup.
Ya harusnya sih lebih dewasa. Whatever the hell that means. haha.
Lebih dewasa, artinya tugas perkembangannya juga berbeda kalau kata Erikson. Ini Erikson psikolog perkembangan ya, bukan Sven-Goran Eriksson eks pelatih timnas Inggris.
Umumnya sih, “tiga puluhan” ya sudah bukan waktunya lagi mikirin kuliahan, nongkrong dimana, dan milih karir apa. Biasanya sih, “tiga puluhan” identik dengan hal-hal yang lebih dewasa. Ya mikirin pasangan hidup, anak (kalau yang sudah menikah), dan segala macam cicilan.
Eh tapi menikah, berkeluarga, dan pencapaian materialistik itu cuma konstruksi sosial semata yang dibentuk dan diharapkan masyarakat. Sejatinya ya setiap orang punya pilihan bebasnya. Mau nikah boleh. Enggak juga bebas. Mau punya anak silakan (asal jangan kebanyakan, nanti dimarahin Thanos). Enggak ya monggo. Mau jadi crazy rich asian boleh. Mau jadi crazy asian doang juga silakan.
Intinya, saya ingin menjalani tahun terakhir sebelum memasuki 30 ini sebaik-baiknya. Mempersiapkan diri sesanggup-sanggupnya menyongsong tugas-tugas kehidupan berikutnya yang mungkin lebih berat. Ya iya sih harusnya begitu, kalau ga makin berat artinya jalan di tempat dong. Masa badan doang yang makin berat, tantangan hidup juga dong!
Juga tak lupa saya berterima kasih dan bersyukur, atas segala yang sudah saya alami sepanjang dua puluh sembilan tahun ini. Ya keluarga dan teman. Ya orang-orang yang melalui persinggungan dengan mereka mendewasakan saya. Ya orang-orang luar biasa hebat yang membuat saya terinspirasi. Juga orang-orang luar biasa brengsek yang membuat saya bersyukur bahwa saya tidak demikian. Untuk segala nikmat yang tak mungkin terdustai. Untuk segala bencana yang mendewasakan. Untuk memori-memori menghangatkan yang sulit membuat lupa. Juga memori-memori menyesakkan yang pernah membuat luka.
Terima kasih, ya Tuhan dan semesta.
Semoga ke depannya saya bisa makin berguna, bagi keluarga, lingkungan, bangsa dan negara. Makin dipercayakan perkara-perkara yang lebih besar. Makin diberi kesempatan untuk berkarya sekecil apa pun.
Itu saja. Kali ini.
Jakarta, 25 Oktober 2018
Okki Sutanto