Untuk Seribu Delapan Ratus Senyuman. =)

#Refleksi2011 – Tulisan Ketiga.

Tahun 2011 bisa dibilang saya ini menjalankan tridarma perguruan tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Iya-iya, saya akui dulu deh dari awal, untuk tugas kedua memang kurang sukses, baru dua bulan belakangan ini saja tugas penelitian (baca: skripsi!) dikebut.

Meski tugas penelitian kurang sukses, namun untuk pendidikan dan pengabdian masyarakat bolehlah dikatakan berhasil. Kedua tugas tersebut saya lakukan melalui keterlibatan saya dalam sebuah program pengembangan diri siswa/i dan guru. Program ini adalah kerja sama antara fakultas saya dengan Yayasan Putera Bahagia Jaya (YPB), yang bernaung di bawah Pemprov DKI Jakarta. Intinya, program ini memberikan pelatihan pengembangan diri untuk siswa/i SD hingga SMA di DKI Jakarta yang berasal dari keluarga prasejahtera. Selain untuk siswa, pelatihan juga diberikan untuk guru. Kurang lebih, jumlah peserta siswanya 1800 dan gurunya 180.

Saat pertama kali ditawari menjadi tim inti program ini di awal tahun, saya tahu kegiatan ini akan menyita waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Namun, waktu dan tenaga yang tersita ternyata amat luar biasa melebihi perkiraan awal saya. Ini bukan cuma pendapat saya loh. Sebagian tim inti mahasiswa (di tim inti ini terdapat tiga orang dosen juga), menjadikan kesibukan program ini sebagai alasan atas keterlambatan penyelesaian skripsi masing-masing. Saya kurang tahu itu alasan yang jujur atau cuma alasan yang dicari-cari. Kalau buat saya sih, cenderung yang kedua. hehehe.

Meski tahu akan menyita waktu dan tenaga, saya yakin bahwa terlibat di program ini akan membawa banyak sekali pengalaman dan pelajaran baru. Melihat line-up tim inti sebelumnya yang isinya orang-orang yang menurut saya hebat, mendengar pengalaman-pengalaman berkesan dari teman yang sebelumnya pernah terlibat, serta komposisi tim inti tahun ini yang isinya luar biasa (baik dosen maupun mahasiswanya), membuat saya tanpa berpikir panjang menerima tawaran menjadi tim inti. Untunglah, setelah menjalani semua rangkaian program ini (tinggal Penutupan saja 21 Januari nanti), saya sama sekali tidak merasa menyesal.

Pengalaman, keceriaan, kehangatan, kebersamaan, pelajaran, dan sejuta hal lain yang saya dapatkan amatlah berharga. Setiap rangkaian kegiatan yang saya ikuti (Workshop Awal, Pembentukan Tim Pelaksana, Rekrutmen Peserta, Penyusunan Modul, Pembekalan Tim Pelaksana, Pelaksanaan Pelatihan, Evaluasi, & Workshop Akhir) selalu memberikan pelajaran tersendiri. Yah, tidak selalu menyenangkan memang, ada juga masa-masa penuh tekanan yang saya lewati, namun tetap saja pada intinya LUAR BIASA!

Melalui program ini, saya belajar pelatihan dengan lebih mendalam dan komprehensif. Sebelumnya saya mengenal pelatihan di mata kuliah Pelatihan yang diampu oleh Mas Indra, dosen yang luar biasa berpengalaman dan obul dalam hal pelatihan (oke, sebenarnya dalam segala hal! hehe). Lalu secara tidak langsung juga terlibat di beberapa pelatihan entah di organisasi fakultas, organisasi gereja, bimbingan mahasiswa baru, hingga membantu biro pelatihan profesional. Namun, baru di program inilah saya menjalankan secara langsung siklus pelatihan secara lengkap dan kompleks.

Saya juga belajar menjalankan beberapa peran yang sebenarnya kurang cocok untuk saya. Menjadi Pendamping Kelompok, padahal saya ini kurang sabar menghadapi anak-anak dan tidak ahli bikingames-games menarik seperti kakak-kakak Pendamping Kelompok lainnya. Menjadi Co-Fasilitator, padahal susah bangun pagi dan tidak tahu lagu-lagu Indonesia kontemporer. Menjadi Fasilitator, padahal pemalu dan tidak biasa bicara di depan ratusan orang. Menjadi Penanggung Jawab Acara, padahal tidak disiplin dalam urusan administrasi.Kalau dipikir-pikir, saya ini cocoknya jadi apa?? Kayaknya gak cocok semua!! hahaha.. Ah, saya juga tidak tahu. Biar orang lain saja yang menjawab.

Selain beberapa pelajaran menarik di atas, keterlibatan di program ini juga mempertemukan saya dengan banyak orang dari berbagai latar belakang. Mulai dari rekan-rekan tim inti, yang saya kenal dengan jauh lebih dekat selama program ini berlangsung. Saya baru tahu, ternyata ada rekan tim inti yang jauh lebih sulit bangun pagi dan jauh lebih deadliners daripada saya. Ada pula rekan tim inti yang rajin membawa makanan enak saat rapat. Ada juga yang obulnya gak ketulungan. Saya juga mengenal teman-teman tim pelaksana yang luar biasa. Ada kakak yang suka banget ngejagain kolam renang. Ada kakak yang jago joget. Ada kakak yang keibuan banget. Ada kakak yang dedikasinya layak diacungi empat jempol. Wah, macem-macem deh. Belum lagi pertemuan dengan adik-adik peserta program yang semangatnya luar biasa. Beberapa masih rajin menjalin komunikasi dengan saya sampai sekarang. Juga pertemuan dengan guru-guru, dokter-dokter, petugas PMI, kepala sekolah, pengurus yayasan, hingga istri gubernur.

Wah, pokoknya banyak sekali deh pengalaman tidak terlupakan yang terjadi selama program ini berlangsung. Saya rasa dibukukan pun tidak akan cukup! hehehe. Intinya, saya amat berterima kasih karena telah diberi kesempatan menjadi bagian dari program ini di tahun 2011. Saya belajar banyak dan mendapat banyak sekali hal. Saya hanya berharap banyak orang lain yang turut mendapat manfaat dari program ini.

Bagi semua orang yang sudah menjadi bagian dari program YPB 2011, terima kasih! Kalian semua adalah rekan kerja yang luar biasa. Mohon maaf jika selama perjalanan ini ada kesalahan yang saya lakukan. Sama sekali tidak disengaja loh. Bagi teman-teman yang masih muda, jangan ragu deh terlibat di program ini. Tidak semua orang berkesempatan untuk terlibat di program ini. Selagi masih muda, banyak-banyak belajar tidak ada salahnya!

Pesan saya cuma dua. Pertama, kalau bisa diimbangi ya tridarma perguruan tingginya. Pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Jangan ulangi kesalahan saya dan teman-teman tim inti tahun ini: Jangan Sekali-Sekali Melupakan Skripsi! hehehehe.. Kedua, seberat apa pun tuntutan pekerjaan di program ini, teman-teman selalu saja ingat bahwa di sini teman-teman tidaklah bekerja untuk diri sendiri, melainkan untuk seribu delapan ratus senyuman yang menanti di akhir perjalanan. =)

Jakarta, 30 Desember 2011
Okki Sutanto
 
Daftar Tulisan #Refleksi2011:
1. Merefleksikan 2011 (Sebuah Catatan Pengantar)
2. Di Balik Kamera (1) – Sahabat Si Pemula
3. Di Balik Kamera (2) – Kesempurnaan Tanpa Kesempurnaan

Kenapa Saya Terdampar di Psikologi?

#Curhat.070.Sesi.Satu.
[http://makna-kata.blogspot.com/] | sebelumnya diposkan di Catatan Facebook.

Sampai sekarang, ketika ditanya orang apa alasan saya mengambil kuliah jurusan Psikologi, saya suka gelagapan. Mao dijawab “Gak tau”, tapi kok kesannya tolol. Mao dibilang “Disuruh orangtua”, tapi ya kagak juga sih.

Kadang saya suka iri sih, sama alasan teman-teman saya yang kuliah di Psikologi. Ada yang bilang karena pas SMA suka jadi tempat curhatan orang-orang, makanya tertarik belajar lebih lanjut tentang konseling, dan kuliah di Psikologi. Kalau saya? Waduh, jangankan orang. Anjing aja pasti ogah deh disuruh curhat ke saya. Habisnya, hobi saya itu ngata-ngatain orang. Cela-cela orang. Kalo ada cowo yang curhat karena baru putus, pasti saya kata-katain “Jadi cowo kok lembek banget sih? Pantes aja lu diputusin!”. Kalo ada cowo yang curhat karena susah dapet pacar, pasti saya maki-maki“Lu itu gak muka, gak otak, gak dompet, semuanya pas-pasan. Satu-satunya kelemahan lu adalah lu gak punya kelebihan. Ya wajar aja lu ga dapet-dapet pacar!”. Ya, pokoknya gitu deh. Curhat sama saya itu pasti ga enak banget. Orang yang tadinya ga mau bunuh diri, bisa jadi malah berniat bunuh diri setelah curhat sama saya. Yang tadinya mau bunuh diri, bisa-bisa malah berhasrat bunuh saya duluan.

Ada lagi alasan teman saya yang lain, “Soalnya gue mau lebih kenal diri gue sendiri”. Wah, sakit nih yang kayak gini-gini. Kenalan kok sama diri sendiri? Di mana-mana kenalan itu ya sama orang hebat, minimal orang cakep/ganteng, ini malah mau kenal sama diri sendiri. Filosofis banget ya tuh alasan? Minder saya langsung.

Pokoknya masih banyak lagi deh alasan-alasan spektakuler yang dilontarkan teman-teman saya. Dari yang mau bisa “baca” orang, hipnotis orang, sampe yang mau nyembuhin orang gila juga ada. Tinggallah saya terkesima dengan berjuta alasan tersebut. Saya sendiri? Hmm…

Dari dulu, saya suka mikir, kalo diibaratin, saya kini kayak seorang sleepwalker. Pernah denger kan sleepwalker? Iya betul, orang yang suka (bisa) jalan pas lagi tidur. Biasanya orang tersebut tidur di kamarnya, lalu dalam keadaan masih tidur, dia jalan-jalan keluar kamar, keluar rumah, hingga ke suatu tempat yang enggak dikenal. Tiba-tiba, dia bangun dan sama sekali ga ngerti lagi ada di mana dan kenapa. Nah, kurang lebih kayak gitu deh sensasi yang kerap saya rasakan. Tiba-tiba aja, saya udah daftar, diterima, dan kuliah di Fakultas Psikologi. Ya, terdampar mungkin suatu istilah yang tepat. Tanpa tahu alasannya, saya terdampar di Psikologi.

Anda percaya cerita di atas? Sebaiknya jangan terlalu. Karena saya sendiri juga kurang percaya. Mungkin cerita tersebut ada benarnya, tapi ga sepenuhnya. Emang sih, pas masih SMA saya itu sama sekali gak peduli tentang kuliah. Saya yakin, kuliah di mana aja saya bakalan survive dan sukses. Tapi saya rasa ada satu alasan fundamental yang membuat saya memilih berkuliah di Psikologi. Kalo saya ceritain alasannya, pasti ada yang bilang saya ini sombong. Tapi serius deh, alasan yang paling masuk akal kenapa saya kuliah di Psikologi itu adalah karena katanya kuliah di Psikologi itu susah. Ya, situ gak salah denger kok. Saya masuk Psikologi karena katanya Psikologi itu susah / berat. Susah masuknya, susah kuliahnya, susah lulusnya. Gitu kira-kira yang saya denger tentang kuliah di Psikologi.

Lah?? Udah tau susah, kenapa malah pengen masuk???

Tenang, saya tau pertanyaan itu bercokol di tenggorokan situ dan siap situ muntahkan. Ada alasannya kok. Sampai mau lulus SMA, bagi saya hidup itu gak ada tantangannya. Pernah sih pas kelas 1 SMA saya nyaris gak naik kelas, tapi itu lebih karena sayanya terlalu santai dan gak mao nganggep serius sekolah. Selebihnya, hidup saya itu lurus-lurus aja. Lempeng-lempeng aja. Pas SD saya terbiasa jadi penghuni ranking 1-5 di sekolah. Pas SMP saya biasa juga penghuni papan atas prestasi di sekolah, ditambah lagi saya cukup aktif di berbagai kegiatan termasuk jadi kapten tim Basket pas kelas 3. Pas SMA, saya juga ga kesulitan di pelajaran, bahkan bisa masuk ke tim inti Basket dan Sepakbola. Intinya, idup itu gak ada susah-susahnya bagi saya.

Yap, saya benar-benar butuh tantangan!!

Ya, kurang lebih itulah latar belakang kenapa saya kuliah di Psikologi.
Selanjutnya… Bagaimana rasanya kuliah di Psikologi?
Apakah saya sukses menemukan apa yang saya cari?
Sudahkah hidup saya dipenuhi kesusahan-kesusahan yang saya mau?

Tenang. Nantikan jawabannya di sesi-sesi selanjutnya #Curhat.070
Mau berbagi cerita juga? Mari bikin sesi-sesi #Curhat.070 versimu sendiri! =)

Jakarta, 26 Agustus 2011
Okki Sutanto.

[Oh ya, jangan terlalu kagum ya sama cerita saya semasa SMP dan SMA. Satu-satunya rekor menang yang dipegang tim basket SMP saya, semasa saya jadi kapten, adalah saat tim kami menang walkout atas tim dari luar kota yang kayaknya kejebak macet ke lokasi bertanding. Selama jadi tim inti Basket & Sepakbola SMA, tempat saya beraksi itu ya cuma di ruang ganti sama di bangku cadangan. Masuk lapangan sih jarang-jarang, itu pun kalo ada yang cedera. Dan tugas saya bukan gantiin yang cedera, tapi bopong yang cedera itu ke pinggir lapangan. Miris ya? hehehe] 

Mas E itu Pinternya Cuma Mitos

# diarsipkan dari: http://a-tribute-to-eric.blogspot.com/
[Sudah dibukukan dalam kumpulan tulisan “A King’s Lecture: His Way to Humanized Students”, diterbitkan untuk kalangan terbatas]

Denger-denger, mas E itu pinter luar biasa. Banyak temen-temen saya yang kagum kalau si mas E ini lagi ngajar atau menganalisa sesuatu. Apalagi kalau lagi ceritain pengalamannya sebagai market researcher. Wah, kagum banget deh kita sama kepinteran mas E. Saking pinternya, biasanya kita-kita ini cuma bisa pasrah kalau disuruh menjawab pertanyaan si mas E. Dan pastinya lebih pasrah lagi kalau si mas E nyuruh kita ngajuin pertanyaan. Soalnya kita itu ya sering minder kalo berargumen di hadapan si mas E. Pasti mas E siap banget membantai kita. Siap banget membuat kita-kita ini mawas diri, bahwa kita-kita ini masih jauh dari yang namanya pinter.

Ga sedikit temen saya yang terkesima, terpana, terkagum-kagum, dan “tersentuh” hidupnya oleh si mas E. Semua itu ya berkat kepinteran si mas E. Keluwesannya saat membangun argumen. Ketajamannya ketika menganalisa. Kehebatannya saat memaparkan sesuatu. Banyak deh pokoknya. Tapi, kok saya ini kadang-kadang meragukan kepinteran si mas E ya. Buat saya, seringkali mas E itu bagaikan mitos doang. Bukan kedatangannya ke kelas ya, kalau itu sih memang seringnya mitos doang. Kirain bakal ngasih kuliah, eh ternyata enggak. Kirain bakal nongol di kelas, eh ternyata enggak. Hehehe.. Bukan, bukan itu maksud saya. Yang saya maksud mitos itu, ya kepintarannya si mas E.

Habisnya, saya itu seringkali gak habis pikir. Kenapa si mas E yang katanya pinter itu, koq mau-maunya buang waktu, tenaga, dan pikiran, buat jadi dosen. Padahal, dengan ilmu yang mas E punya, kita-kita itu yakin mas E bisa jadi apa aja. Jadi superman bisa. Jadi batman bisa. Jadi nabi juga mungkin bisa. Intinya, mas E itu pasti sanggup “menyelamatkan” banyak orang. Tapi, si mas E malah memilih “menyelamatkan” mahasiswa seperti kita-kita ini yang jiwanya tersesat dan perlu dibimbing.

Mas E itu lebih milih ngurusin para mahasiswanya, termasuk saya, dibanding melakukan banyak hal-hal hebat lainnya. Gak jarang loh, si mas E ini meluangkan waktunya untuk sekedar mendengarkan mimpi-mimpi mahasiswanya. Ide-ide nyeleneh mahasiswanya. Obrolan-obrolan absurd mahasiswanya. Selain itu si mas E ini juga ga sungkan-sungkan mempercayakan sesuatu pada mahasiswanya. Beragam tugas, kerjaan, dan tanggung jawab yang cukup “berat” sering dipercayakan pada mahasiswanya. Padahal, mahasiswa itu kan sering banget ngeluh, ngasal, dan ngegampangin. Mahasiswa itu kan jauh dari yang namanya pinter. Tapi tetep aja loh, si mas E mau aja deket dan percaya sama kita-kita ini.

Begitulah, saya kadang bingung sebenernya si mas E itu beneran pinter, setengah pinter, atau cuma mitos doang sih pinternya? Tapi, ya sudah lah. Meski mas E itu pinternya cuma mitos, tapi saya yakin kepeduliannya sama mahasiswa itu bukan mitos. Mau pinter ataupun enggak, si mas E juga tetep guru saya. Guru kami. Segenap ide, pemikiran, dan cara pandangnya itu sedikit banyak kami teladani. Dan itu bukan cuma mitos. Saya yakin banget.

Jakarta, 2011.
Okki Sutanto.

%d bloggers like this: