Sekiranya Saya Orang "…."

Ketikan Pinggir.
#Tulisan ketigabelas, hari keduabelas

“Maka jika saya seorang Belanda, saya tidak akan menyelenggarakan perayaan kemerdekaan di suatu negeri di mana kemerdekaan rakyatnya telah dirampas. Bukan hanya tidak adil, melainkan juga salah, memerintah pribumi-pribumi supaya memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Gagasan mempersiapkan peringatan itu saja sudah cukup menghina mereka, dan sekarang kita bahkan merampok isi kantong mereka. Sesungguhnya itu adalah penghinaan secara moral dan material.”

(“Sekiranya Saya Seorang Belanda”, Soewardi Soerjaningrat, dimuat di De Express, 19 Juli 1913.)

Tulisan di atas adalah kutipan dari tulisan Soewardi Soerjaningrat, yang kemudian berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara, pada tahun 1913 menjelang perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Prancis. Bagi beliau, perayaan kemerdekaan itu wajar, tapi masalah muncul ketika Belanda ingin merayakannya di Indonesia (waktu itu masih Hindia Belanda), yang mana merupakan negara dengan kemerdekaan masih dirampas oleh Belanda. Beliau menggugat kewarasan orang-orang Belanda, lebih-lebih ketika rakyat Hindia Belanda diminta menyumbangkan dana untuk perayaan tersebut.

Tulisan berjudul asli “Als Ik eens Nederland Was” tersebut tersebar luas dan sampai ke telinga pejabat Belanda. Soewardi bersama kedua rekannya, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, atau lebih akrab dikenal dengan sebutan “Tiga Serangkai” pun lantas diasingkan oleh Belanda. Meski demikian, semangat dari tulisan tersebut tetap tersebar luas dan menginspirasi gerakan pemuda, bahkan hingga bertahun sesudahnya.

Andai saja Soewardi masih hidup sekarang, mungkin ia akan mengganti judul tulisannya menjadi “Sekiranya Saya Anggota DPR”. Setengah abad lebih negri ini merdeka, nyatanya laku para petingginya tetap saja di luar alur logika kewarasan. Di saat sebagian besar rakyat Indonesia masih berjuang hidup setengah mati, para anggota DPR malah gigih membangun gedung baru, ngotot plesiran ke luar negeri, dan berkeras mendapat fasilitas super mewah lainnya. Dan sialnya, semua kenikmatan duniawi mereka disumbang oleh rakyat, melalui pajak. Maka bagi saya anggota DPR sekarang tak ubahnya penjajah di masa silam, yang menelanjangi rakyat Indonesia luar dalam, fisik dan psikis, moral dan material. Rakyat yang goyang-goyang maju-mundur-depan-belakang, eh anggota DPR yang orgasme. Sakit!

Sayangnya kita tak punya pilihan. Saat makna demokrasi direduksi menjadi setumpuk uang pendempul popularitas, apa yang kita punya? Tak ada. Mau siapa pun, mau partai mana pun, laku pejabat di negeri ini setali tiga uang. Jika di salah satu paragrafnya Soewardi bisa menulis: “Betapa bahagianya saya. Syukurlah saya bukan orang Belanda.”, maka saya tidak bisa menulis itu. Saya orang Indonesia. Saya tidak bisa memilih untuk menjadi bukan Indonesia, dan saya juga tidak bisa pura-pura bahagia melihat kondisi Indonesia.

Sebenarnya saya sudah cukup lama berhenti berharap pada institusi negara. Mereka tidak akan bisa menyejahterakan rakyat. Tidak akan pernah. Karena saya yakin hal pertama yang paling mendasar dalam sebuah organisasi, pun institusi, adalah sumber daya manusianya. Dan di Indonesia hal tersebut masih jauh dari layak. Kita tak pernah punya sarana belajar yang tepat bagi rakyat untuk disiapkan memerintah negara di kemudian hari. Mereka yang hidup melarat dan tahu penderitaan rakyat justru tak terakses pendidikan. Mereka yang terakses pendidikan justru dicetak menjadi budak-budak kapitalis, atau menjadi majikan-majikan kapitalis, bagi yang agak beruntung.

Saya juga selalu berpemikiran untuk suatu saat nanti menyatukan mereka-mereka yang punya idealisme, mereka-mereka yang tidak puas kepada negara, untuk masuk ke lingkaran kekuasaan dan bergerak dari dalam. Sayangnya ternyata hal tersebut juga tak mudah. Kebanyakan dari mereka yang lantang menggonggong justru enggan masuk ke dalam lingkaran kekuasaan negara. Kotor katanya. Kadang saya jadi bingung sendiri. Bagaimana mereka mengharapkan perubahan? Kedatangan Ratu Adilkah? Ah, mak! Gila mereka kalau kata Einstein. Berhadap rutinitas memunculkan hasil berbeda.

Ah, seandainya saja saya orang Belanda, mungkin tak perlu repot-repot memikirkan hal ini. Tapi ya bagaimana lagi. Saya tidak bisa mengatakan saya bukan orang Indonesia. Saya sudah memilih untuk hidup di bumi manusia ini dengan segala persoalannya. Dan kebetulan saya terpelajar, dan mereka yang terpelajar sudah harus baik sejak dalam pikiran. Setidaknya begitulah kata Pramoedya, yang selalu saya yakini benar.

Jakarta, 1 Mei 2011
Okki Sutanto | http://octovary.blogspot.com
(Betul, saya bukan Belanda! Apalagi ganteng dan jago main bola plus punya pacar seksi, itu mah Irfan Bachdim. hehehe)







Pendidikan Sama Rasa Sama Rata

Ketikan Pinggir Hari Ini.

Sering sekali saya membaca, entah di internet maupun majalah, tentang orang-orang yang menguasai suatu hal di usia yang masih sangat muda. Ada anak berusia 13 tahun dari Singapore yang sudah memahami semua bahasa pemrograman, ada anak dari India yang pada usia 11 tahun sudah menjadi dokter bedah, ada pula anak usia 19 tahun di Amerika yang sudah menyelesaikan pendidikan S-3nya.

Sungguh membanggakan, betapa prestasi yang sangat gemilang mampu ditorehkan di usia yang masih sangat muda. Di sisi lain, muncul keprihatinan karena fenomena serupa sangat langka ditemukan di negri tercinta ini. Ada pun anak-anak yang sempat bikin geger adalah yang berbau mistis semacam Ponari, ataupun Ulfa yang dinikahkan dengan Syekh Puji. Jelas bukan prestasi yang membanggakan.

Dalam pengamatan sebagai orang yang mengecap pendidikan dasar hingga universitas di Indonesia, saya melihat bahwa sistem pendidikan di Indonesia belum mampu memfasilitasi adanya murid-murid istimewa. Tidak sedikit saya menemukan murid-murid jenius yang tidak layak mendapat pengajaran yang sama dengan kebanyakan murid. Materi yang mungkin membutuhkan waktu sebulan bagi murid lain, dapat dikuasai oleh murid-murid jenius ini dalam beberapa hari saja. Namun karena pembatasan oleh sistem, mereka hanya bisa terkungkung dan menjalani pembelajaran yang normal-normal saja.

Memang, belakangan mulai santer terdengar adanya kelas-kelas akselerasi, meski masih terbatas di sekolah-sekolah tertentu saja. Akan tetapi, berdasarkan pengakuan beberapa orang yang berkecimpung di dunia pendidikan, implementasi kelas aksel tersebut masih jauh dari sempurna. Murid-murid di kelas aksel terlalu dilatih otak kirinya saja, namun tidak diseimbangkan dengan bimbingan mental yang baik. Akhirnya mereka malah menjadi depresi, mungkin karena materinya yang malah terlalu padat dan pengajarnya tidak mampu menyesuaikan diri, juga karena pandangan dari sekitar yang terlalu memberatkan harapan pada diri mereka.

Jika ditilik lebih jauh, masalah ini berakar di budaya Indonesia yang kerap kali menganut ‘SAMA RASA SAMA RATA’. Tidak jarang kita melihat perwujudan dari nilai ini dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, jika kita memahami esensi dari keadilan, adil tidaklah identik dengan sama rata. Paradigma yang salah ini membimbing masyarakat untuk tidak memberikan tempat bagi orang-orang yang ‘lebih’ dibanding dirinya. Semua ya harus menjalani hal yang sama, mendapatkan hal yang sama, dan berakhir sama pula.

Hal semacam itulah yang masih menjadi momok di dalam masyarakat Indonesia, terlebih di dunia pendidikan. Jika kita terus memiliki paradigma di atas dan mengembangkan nilai yang salah tersebut, jangan harap kita bisa memiliki generasi muda yang lebih unggul dibandingkan negara-negara lain. Tidak dapat dipungkiri, usaha dari Pemerintah sangat dibutuhkan untuk mengatasi hal ini. Namun, maukah kita mulai dari diri kita sendiri?

Jakarta, 7 Oktober 2009
Okki Sutanto
(tidak sabar ingin tidur)

%d bloggers like this: