Kemenangan dalam Kehilangan

WHITE BOOK

Dalam buku Option B, Sheryl Sandberg & Adam Grant mengeksplorasi secara mendalam tentang kehilangan dan kesukaran hidup (grief & adversity). Tahun 2015 lalu, Sheryl kehilangan suaminya yang meninggal tiba-tiba karena serangan jantung. Pengalaman dan perjalanannya melalui kedukaan inilah yang menjadi tema sentral dari buku Option B.

Jika Sheryl menceritakan pengalaman pribadi yang penuh pencerahan dan penghayatan, Adam Grant melengkapinya dengan segenap data, riset, dan pengetahuan yang dimilikinya sebagai Profesor Psikologi. Alhasil, buku ini tidak hanya sukses menyentuh perasaan kita sebagai pembaca (affection) , tapi juga sukses membuka wawasan (cognition) dan membekali kita akan apa yang bisa dilakukan (behaviour). Affection, Behaviour, Cognition. ABC. Lengkap sudah.

Teori yang Berjejak

Di buku ini, teori-teori Psikologi berkenaan dengan kedukaan tidak sebatas menjadi teori tak berjejak yang berada di menara gading. Sheryl telah menjalaninya. Juga sekian banyak orang yang turut berbagi pengalaman mereka di buku ini. Mereka menjalani dan menghidupi apa yang disampaikan teori-teori tersebut. Membuat teori yang sekilas terdengar rumit dan klise, sampai taraf tertentu menemukan kebenarannya.

Sebut saja konsep 3 P dari Martin Seligman: Personalisation, Pervasiveness & Permanence. Tiga hal ini akan lumrah terjadi ketika kita mengalami kesukaran hidup. Kita tidak berhenti menyalahkan diri sendiri (personalisation). Kita menganggap satu hal buruk akan merembet ke segala aspek lain yang akhirnya menghancurkan citra diri kita seutuhnya (pervasiveness). Terakhir, kita menganggap kesedihan dan kegagalan yang dialami akan bertahan selamanya (permanence). Ketika kita bisa mengidentifikasi ketiga hal ini, dan melawannya, proses kita melalui kedukaan akan jauh lebih mudah.

Buku ini tidak hanya mengajarkan dan memandu kita melewati kedukaan. Ia juga membantu kita untuk menjadi teman, sahabat, pasangan, dan keluarga yang lebih baik, dalam membantu orang terdekat kita melewati kedukaan. Berapa dari kita yang tidak tahu harus melakukan apa kala teman kita kehilangan pasangan atau orangtuanya? Berapa dari kita yang bingung harus berkata apa kala sahabat kita baru saja dipecat? Berapa dari kita yang takut salah ucap kepada keluarga yang baru saja divonis kanker? Pendidikan formal tidak pernah menyiapkan kita untuk itu. Kita juga kadang terlalu sibuk untuk merefleksikan kehidupan. Di sinilah buku ini menjadi sangat penting dan menarik.

Menjadi Tombol

Ada salah satu eksperimen menarik yang diceritakan di buku ini. Tim peneliti ingin menelaah bagaimana pengaruh distraksi pada stres. Sekelompok anak muda diminta mengerjakan tes yang membutuhkan konsentrasi tinggi dalam waktu yang terbatas. Di tengah-tengah tes, peneliti membunyikan suara berisik yang amat mengganggu. Mereka ingin melihat pengaruhnya pada sekelompok anak muda tadi. Hasilnya? Konsentrasi mereka terganggu. Keresahan meningkat. Hasil tes pun memburuk.

kristina-flour-185592-unsplash
Photo by Kristina Flour on Unsplash

Di kali berikutnya, tim peneliti mengenalkan keberadaan sebuah tombol “mute” di masing-masing meja anak muda tersebut. Tugas mereka sama: mengerjakan sebuah tes. Distraksinya pun sama: suara berisik yang mengganggu. Tapi kini mereka memiliki tombol yang bisa mereka pencet kala mereka merasa terganggu, untuk menghilangkan suara berisik yang muncul. Hasilnya? Konsentrasi mereka tetap baik. Tidak lagi resah. Hasil tes membaik. Masuk akal bukan? Ya jelas. Tapi yang menarik adalah fakta bahwa tidak ada satupun yang benar-benar memencet tombol tersebut! Mereka jadi jauh lebih tenang, meski sekadar mengetahui bahwa mereka memiliki tombol yang dapat membantu mereka. Memberi mereka kuasa dan kendali akan hidup mereka.

Tombol inilah yang seringkali tidak kita miliki dalam hidup. Saat kita merasa tidak berdaya dan tidak berkuasa melakukan apa-apa saat kesukaran hidup melanda. Padahal, sekadar mengetahui bahwa tombol itu ada, sudah membuat kita jauh lebih baik. Jauh lebih tenang. Perbanyaklah tombol-tombol ini dalam hidup, yang bisa berwujud dalam kehadiran teman, keluarga, guru, rekan kerja, dan lainnya. Dan yang terpenting: jangan pernah ragu menjadi tombol bagi orang lain.

Mereka-mereka yang tak Seberuntung Itu

Yang juga menarik di buku ini adalah kesadaran Sheryl, bahwa ia beruntung memiliki keamanan finansial dan teman-teman serta keluarga yang amat mendukungnya. Mark Zuckerberg dan segenap rekan kerjanya di Facebook. Malala Yousafzai. Elon Musk. Adam Grant. Bill Gates. Dan sekian banyak lagi orang-orang hebat yang ada di sekitarnya. Ia sadar bahwa yang ia lalui memang berat, namun masih banyak orang-orang lain yang tidak seberuntung dirinya. Para wanita yang menjadi orangtua tunggal. Para imigran yang terbebani diskriminasi. Para minoritas di negara dunia ketiga.

alex-wigan-16999-unsplash
Photo by Alex Wigan on Unsplash

Untuk itu ia tidak sekalipun mencoba berkata bahwa pengalamannya dan pelajarannya adalah yang paling benar. Buku ini pun tidak hanya berisi pengalaman Sheryl, tapi juga pengalaman sekian banyak orang yang menghadapi hal-hal tak terkira dalam hidupnya. Orangtua yang kehilangan anaknya. Penyintas bunuh diri. Orang yang keluarganya dibunuh atau menjadi korban aksi terorisme. Penyintas pemerkosaan. Cerita dari Amerika. Eropa. Hingga Asia dan Afrika.

Akhir kata, saya sangat merekomendasikan buku ini untuk dibaca setiap orang. Karena kehilangan dan kesukaran hidup bukanlah masalah “jika” yang belum tentu datang. Ia hanya menunggu waktu, yang pada suatu titik dalam hidup akan kita jumpai. Resiliensi, atau ketabahan / daya lenting dalam bahasa Indonesianya, bukanlah suatu kemampuan yang datang tiba-tiba. Ia seperti otot yang perlu kita latih. Sehingga jika saatnya tiba, kita jauh lebih siap. Selamat membaca!

Judul buku: Option B: Facing Adversity, Building Resilience, and Finding Joy

Penulis: Sheryl Sandberg dan Adam Grant

Terbit: April 2017

Penerbit: Knopf Doubleday

Tebal: 240 halaman

Jakarta, 1 Maret 2018

Okki Sutanto

%d bloggers like this: