Sebelumnya dipublikasikan di Notes Facebook (05/08/2015).

Tahun ajaran baru saja dimulai, seperti biasa. Korban kembali berjatuhan, seperti yang sudah-sudah. Meski hingga kini belum ada yang bisa memastikan apa penyebab kedua siswa baru di Bekasi dan Bintan meninggal, kegiatan orientasi siswa baru pun kembali menjadi sorotan. Mendengar berita ini sepuluh tahun lalu mungkin kita mengecam dan kaget sejadi-jadinya, sekarang? Rasanya kita sudah terhabituasi. Macam mendengar berita sepeda motor tertabrak bis Transjakarta, atau memaklumi ketika seorang politisi menjadi tersangka korupsi.
Wajar memang ketika manusia, entah di level individual atau komunal, menjadi terbiasa dengan sesuatu yang terjadi berulang-ulang. Maka tidak mengherankan ketika kini kegiatan orientasi siswa berujung maut, kita tak lagi kaget. Alamiah, meski miris dan mengerikan.Selalu mudah mencari kambing hitam di setiap kejadian ini. Sekolah yang tidak peduli, guru yang kurang pengawasan, senior yang semena-mena, hingga pemerintah yang kurang regulasi. Sesederhana itukah? Sepertinya tidak. Kita sudah demikian lama membiarkan kegiatan orientasi siswa baru berlangsung tanpa orientasi. Ironis memang, kegiatan orientasi yang sejatinya bertujuan mengenalkan dan mempersiapkan, malah dilakukan tanpa persiapan yang memadai. Ya, orientasi tanpa orientasi.
Refleksi Bersama
Ada sejumlah hal yang perlu kita refleksikan bersama. Pertama, apakah benar masalah-masalah yang terjadi dalam program orientasi siswa baru adalah masalah yang berdiri sendiri, terisolir sepenuhnya, dari konteks dunia pendidikan kita sendiri? Jangan-jangan ini hanya fenomena gunung es, dari segudang masalah lain di dunia pendidikan yang hanya menunggu waktu untuk muncul ke permukaan. Apa benar kurikulum nasional kita sudah berhasil dirancang dan diimplementasikan untuk menciptakan manusia-manusia Indonesia yang memanusiakan manusia? Bisa jadi kita demikian terfokus untuk mempelajari begitu banyak ilmu, namun melewatkan pentingnya menjadi manusia yang mampu berempati dan peduli pada sesama.
Menyalahkan sekolah dan guru memang mudah, tapi tentu tidak bijak mengingat beban kerja dan tanggung jawab mereka yang sudah teramat luas dan kadang masih kurang apresiasi. Menyalahkan siswa senior juga rasanya terlalu menyederhanakan. Di negeri dengan jarak kekuasaan yang tinggi seperti Indonesia, relasi egaliter antara sesama siswa maupun siswa dengan guru tidak mudah diusahakan. Jangankan di dunia pendidikan, di organisasi pun pemerintahan juga tingginya jarak kekuasaan membuat kultur ABS (Asal Bapak Senang) mengakar. Kita dengan mudah tunduk, segan, dan merasa rendah diri di hadapan mereka yang lebih senior atau lebih tinggi jabatannya. Hubungan yang tidak setara ini membuat sulit terciptanya komunikasi yang sehat antara kedua belah pihak. Yang satu akan cenderung menekan, yang lain tertekan.
Ketidakpekaan akan hal inilah yang berpotensi membuat siswa senior bertindak berlebihan. Mereka merasa memegang kendali penuh dan bisa berbuat semena-mena, karena siswa baru tidak punya pilihan lain selain menurut pada mereka. Apakah ini berarti siswa senior adalah orang yang jahat dan berkepribadian buruk? Belum tentu. Philip Zimbardo, seorang psikolog dari Universitas Stanford, dalam salah satu eksperimen sosialnya yang terkenal menunjukkan bagaimana setiap individu berpotensi melakukan tindak kekerasan tergantung peran dan situasi yang terjadi. Dalam studi tersebut, partisipan penelitian yang diminta menjalani peran sebagai sipir penjara, demikian menghayati peran mereka dan tidak segan melakukan tindakan sadis pada para partisipan penelitian lainnya yang berperan sebagai narapidana. Saat eskalasi tindak kekerasan terjadi, eksperimen tersebut akhirnya dihentikan hanya dalam enam hari, dari yang seharusnya dua minggu. Pembelajaran dari studi ini adalah bahwa siapa pun itu, terlepas dari kepribadian mereka, bisa melakukan tindakan buruk pada sesama jika berada dalam situasi tertentu, khususnya ketika diberi kendali penuh sebagai otoritas. Jadi sebelum dengan mudahnya menghakimi para siswa senior, ada baiknya kita mengevaluasi kembali pada situasi apa mereka berada, dan bagaimana membuat situasi tersebut tidak melulu terjadi.
Dasar-Dasar Pelatihan
Selain terkait faktor situasional, kesiapan para siswa senior khususnya para panitia program orientasi siswa baru juga patut diperhatikan. Bagaimana mungkin mereka yang sehari-hari belajar matematika atau ekonomi di kelas, secara tiba-tiba diharapkan sanggup merancang dan mengeksekusi program orientasi yang baik dan betul? Perlu ada fondasi wawasan dan kemampuan terkait yang dibangun terlebih dahulu, atau scaffolding dalam bahasa Vygostky, seorang psikolog pendidikan terkenal.
Dalam konteks menyusun program orientasi, tidak ada salahnya membekali para panitia dengan dasar-dasar pelatihan organisasi. Secara sederhana, pelatihan adalah usaha sistematis yang dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan, kemampuan, atau pengalaman seorang individu. Tidak jauh berbeda bukan, dengan apa yang ingin disasar oleh program orientasi? Kita ingin siswa baru lebih mengetahui tentang sekolah dan rekan-rekan barunya, pun membekali mereka dengan kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan di jenjang yang baru, baik itu strategi belajar, berkomunikasi, dan lainnya.
Para panitia program orientasi siswa baru, baik guru maupun siswa senior, berhak tahu bahwa melalui pendekatan pelatihan, orientasi siswa baru bisa menjadi pengalaman yang menyenangkan dan bermanfaat. Mereka berhak tahu, bahwa hal terpenting yang perlu dirumuskan adalah tujuan program, bukan atribut konyol apa saja yang perlu dibawa siswa baru. Mereka berhak tahu, bahwa banyak metode dan aktivitas yang bisa dipilih, mulai dari ceramah, diskusi, permainan, hingga menonton film, dan memarahi atau memukul siswa baru bukanlah satu pilihan yang bijak.
Pada akhirnya kerjasama banyak pihak menjadi penting. Pemerintah bisa memberikan regulasi yang lebih jelas terkait peran sekolah, guru, dan senior, dalam program orientasi siswa baru. Para guru juga bisa dibekali ilmu pelatihan organisasi dan meneruskannya kepada panitia program orientasi sekolah. Perguruan tinggi, khususnya Fakultas Psikologi yang memiliki materi pelatihan dalam kurikulum mereka, juga perlu terlibat secara aktif dalam hal ini. Mereka memiliki kompetensi yang lebih dari cukup, untuk membekali dan menyebarluaskan manfaat serta ilmu kepelatihan yang mereka miliki. Jika kita bisa mencapai kolaborasi sinergis seperti ini, rasanya tahun-tahun mendatang kita boleh kaget mendengar betapa positifnya program orientasi siswa baru di negeri ini dilangsungkan.