Usiamu Bukan Usaimu

Beberapa minggu lalu saya dan beberapa teman ketemuan sama salah seorang dosen kami. Namanya Mas Danny. Di usia 66 tahun beliau masih sangat aktif. Ikut acara seru-seruan keliling kota. Nonton acara musik. Ikut festival sastra. Bahkan masih mengajar soal Psikologi Lansia di kampus. Menekankan soal pentingnya active aging di usia tua. Bahwa banyak penyakit degeneratif yang sebenarnya bisa diminimalisir dengan tetap aktif dan sibuk kala pensiun.

Di penghujung pertemuan, Mas Danny mengingatkan: “Jangan sering ngaku-ngaku udah tua ya kalau masih di usia belia. Never say you’re too old! Masak kalah sama yang beneran udah tua?” Gitu, katanya.

Saya pun tertampar. Sering menjadikan usia sebagai alasan untuk tidak melakukan ini-itu, padahal usia saya masih tergolong muda. Gak percaya? Kalau saya besok mati pasti pada bilang “Kasihan ya, mati muda…”. Gitu ya parameternya. Kalau kamu besok mati dan bakal dibilang kamu itu “mati muda”, artinya ya kamu belum tua-tua amat. Hehehe..

Beberapa hari setelahnya, saya melihat sebuah twit yang membahas career-switching di usia 50. Bahwa itu adalah keputusan bodoh. Bahwa semuanya sudah terlambat. Sayangnya, ini juga jadi kepercayaan sejumlah orang orang.

Padahal, dunia ini dipenuhi dengan kisah-kisah sukses career-switching di usia 40 bahkan 50, lho! Ada yang jelang usia 40 baru jadi flight attendant, dari sebelumnya belasan tahun menjadi guru. Ada yang pas pensiun jadi pelukis dan bikin klub voli sukses. Ada yang jadi dewan pengarah lembaga riset dan inovasi. Ada yang jelang lengser alih profesi jadi kingmaker dan nyiapin anak-mantunya jadi kepala daerah. Banyak koq. hehehe..

Age is just a number. It really is.

Saya suka kutipan dari Henry Ford:

“Whether you think you can, or you think you can’t – you’re right.”

Terkadang, pikiran kita sendiri lho yang membatasi diri kita. Apa yang kita yakini lambat laun jadi tembok yang mengurung kita. Jadi penjara yang membelenggu langkah kita.

Jangan-jangan, usia dan usai tak selekat itu. Bahwa pada usia tertentu, kita sudah harus usai sesuatu. Usia 30 usai kejar passion. Usia 40 usai belajar hal baru. Usia 50 usai bersenang-senang. Usia 60 usai mengejar mimpi. Emangnya harus begitu?

Persetan dengan itu semua! Hidup terlalu singkat untuk berpasrah pada tembok dan penjara tak terlihat yang kita bikin-bikin sendiri. Atau yang diciptakan masyarakat untuk menghambat langkah kita.

Saya juga beberapa kali terbelenggu sama kepercayaan bodoh. Di masa awal kuliah, sering banget senior dan dosen bilang bahwa skripsi itu susah. Skripsi itu perlu serius banget. Skripsi itu harus dikerjakan dengan darah dan keringat. Sampai akhirnya mahasiswanya pada insecure duluan. Keburu mules pas denger kata skripsi. Keburu ciut tiap mau bimbingan.

Untungnya, saya anaknya penasaran. Saya cari tahu sendiri apa skripsi emang sesulit itu. Saya sering mampir ke perpustakaan. Masuk ke ruang skripsi dan bacain skripsi para alumni dari tahun awal fakultas saya berdiri. Entah berapa ratus skripsi yang saya baca, minimal judul dan abstraknya. Puluhan yang menarik saya baca lengkap isinya. Hasilnya? “Yaelaaaaah, gini doang? Apa susahnya?!”

Setelah itu saya tidak pernah lagi memusingkan skripsi. Saya lebih memilih untuk sibuk ngasdos, pacaran, putus, pacaran lagi, putus lagi, lalu tenggelam dalam aktivitas organisasi. Dan ketika saya benar-benar harus mengerjakan skripsi, saya beresin dalam tiga bulan saja dan ujungnya lulus-lulus aja tuh.

Saya juga pernah insecure saat mulai ngonten. Nyaris semua guru dan petuah soal media sosial itu ngajarin buat rajin bikin video. Rajin posting tiap hari. Harus nentuin niche, jangan ngomong terlalu banyak hal. Saya? Lah boro-boro.

Bikin video ya gak pede. Ngepost di feed paling sebulan cuma beberapa kali. Niche juga gak pernah saya pikirin. Apa aja yang mau saya omongin ya saya tulis. Kadang soal politik. Kadang soal kesehatan mental. Soal olahraga. Bisnis. Buku. Film. Sains. Krisis iklim. Isu kesehatan. Pendidikan. Taylor Swift. Sampe Megawati. Apa aja deh pokoknya. Gado-gado.

Karena petuah-petuah medsos itu, awalnya saya mikir akun ini gak bakal kemana-mana. Bakal terpenjara oleh aturan-aturan dan panduan algoritma yang diyakini khalayak. “Ah, mentok-mentok paling 1.000 follower”, kata saya beberapa tahun lalu. Tapi ternyata, saya survive. Bisa ketemu banyak teman baru dari medsos. Bisa kenalan sama orang-orang hebat dari medsos. Bisa dapet tawaran ngoceh dan kerjaan dari medsos. Ada aja yang mengapresiasi dan merasa dapat manfaat dari konten saya. Pelan-pelan perkembangan medsos saya menyaingi perkembangan lingkar perut.

Intinya, seringkali gak ada rumus pasti dalam hidup. Rumus dan formula yang benar bagi orang lain, belum tentu benar buatmu. Begitu pun sebaliknya. Kalau kamu merasa di usia 40 atau 50 malah bisa lebih produktif dan sanggup ngejar hal baru dalam hidup, kenapa enggak?

Jadi, lain kali kamu berpikir bahwa usiamu harus bikin mimpimu usai, coba deh berhenti sejenak. Tanyakan ke diri sendiri: itu sebuah kebenaran absolut atau cuma kebohongan yang kamu sampaikan aja ke diri sendiri karena kamu takut gagal?

Lain kali ada orang yang bilang “Ah usia segini mah kagak usah aneh-aneh”, jangan langsung percaya. Jangan-jangan mereka cuma pecundang yang gak rela melihat kamu meraih mimpi yang gak berani mereka perjuangkan.

Gimana? Ada amin saudara? Ada dong pastinya. Minimal satu di istana. hehehe..

Denpasar, 26 Juli 2023

Kirim Komentar!