Kenapa Kita Peduli Banget sama Pilihan Hidup Orang Lain?

Kadang saya rindu juga mendengar kalimat “Pilihan kakak tepat sekali!” dari pramusaji Pizza Hut. Setidaknya beberapa tahun lalu, kalimat ajaib ini lazim didengar pelanggan Pizza Hut. Pelanggan diberi tahu bahwa pilihan mereka itu tepat. Padahal, mau kita pesen pizza pake toping seblak juga (kalau ada), ya tetap bakal dibilang tepat sih. Gak mungkin dong mbak-mbak Pizza Hut bilang pizza pilihan kita jelek. Dipecat dia nanti.

Sekilas lucu juga ya SOP Pizza Hut kala itu. Tapi kalau dipikir-pikir, jangan-jangan kita ini memang sebenarnya makhluk yang butuh validasi ya? Validasi bahwa pilihan hidup kita sudah tepat? Validasi bahwa kita sudah berada di jalan yang benar?

Sering banget linimasa media sosial dipenuhi perdebatan dan keributan tak berujung soal pilihan. Dari pilihan politik. Pilihan agama. Pilihan cara makan bubur (diaduk atau tidak). Pilihan cara first date (split bill atau tidak). Pilihan untuk menikah atau tidak. Jika menikah, pilihan memiliki anak atau childfree. Kalau punya anak, pilihan melahirkan normal atau caesar. Begitu seterusnya. Sampai pilihan kala mati nanti: dikubur, dibakar, apa di-airfryer.

Yang kadang bikin sedih, kita tidak segan-segan menyerang dan mencaci mereka yang memiliki pilihan berbeda dengan kita. “Lho koq kamu childfree sih? Gak sesuai kodrat! Nanti pas tua siapa yang ngurusin?”. Atau saat memilih kendaraan listrik “Hari gini masih pake kendaraan BBM? Dasar perusak bumi dan alam semesta!”, kata si norak yang merasa pilihan hidupnya sudah paling sempurna.

Kayaknya setengah keributan di dunia maya itu disebabkan karena….beda pilihan hidup. Beda pilihan dikit, ribut. Beda pilihan dikit, cela. Beda pilihan dikit, langsung deh nulis panjang lebar soal alasan kenapa pilihan kita itu adalah yang paling sempurna.

Sebenarnya, yang jadi akar keributan soal pilihan itu, bukan pilihannya itu sendiri.

Kita tuh gak peduli-peduli amat sama hidup orang yang memilih childfree, koq. Yang kita butuhin itu pengakuan bahwa pilihan kita untuk punya anak sudah benar. Kita butuh validasi dan pembenaran bahwa pilihan kita adalah yang paling sempurna.

Dan kita seakan gak rela melihat orang lain memiliki pilihan yang berbeda. Karena seakan-akan pilihan hidup kita jadi kurang sempurna. “Lah taik, dia bisa toh childfree tapi tetap bahagia? Sia-sia dong gua capek ngurus anak, saban hari begadang, juga buang duit segini banyak?”

Kita perlu memastikan pilihan orang lain salah. Supaya pilihan kita tetap nampak benar tak bercela. Sebuah usaha bodoh yang sayangnya terlalu sering kita lakukan. Financial influencers yang merasa investasi cryptonya paling cerdas dan cuan. Mental health influencers yang merasa teknik healing merekalah yang paling bagus. Pemerhati politik yang merasa capres pilihan merekalah yang paling sempurna. Semua ini tidak lebih dari usaha melindungi ego dan keberhargaan diri.

Padahal, sejatinya keberhargaan diri kita itu ya sifatnya internal. Ditentukan oleh diri kita sendiri. Bukan oleh penilaian orang lain. Bukan oleh pilihan orang lain.

Terus menerus mencari pembenaran akan pilihan hidup kita itu kayak memaksa semua orang untuk suka sama indomie rasa duren. Ya sia-sia. Emang kenapa juga kalau saya sukanya indomie rasa boba? Atau indomi rasa cappuccino? Emang selera saya ini jadi bikin indomie kamu rasanya berubah? Emang pilihan saya ini akan mengurangi kenikmatan pilihanmu? Enggak, toh.

Jadi, lain kali kamu mau berdebat dan ribut sama orang lain perkara pilihan, coba tarik nafas dalam-dalam deh. Lalu ingat mantra ini: pilihanmu udah tepat koq. Setidaknya ya buatmu sendiri.

Dalam hidup, di setiap persimpangan pasti kita dihadapkan pada banyak pilihan. Dari lahir sampai sekarang, entah berapa ribu pilihan hidup yang harus kita ambil. Soal pilihan studi, soal hobi, soal makanan favorit, soal buku bacaan, soal pakaian, soal karir, dan sebagainya. Dan sebagaimana tiap pilihan, seringnya tidak ada yang sempurna. Setiap pilihan tentu memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Pilihan yang benar saat ini belum tentu akan selalu benar selamanya. Pilihan yang benar buat kita, belum tentu benar juga buat orang lain.

Bahkan pilihan yang salah pun, belum tentu akan membuat hidup seseorang jadi berantakan. Hidup tuh gak sesederhana dan segarislurus itu. Pilihan-pilihan salah tak jarang harus kita ambil, untuk mempertemukan kita pada pilihan-pilihan tepat di kemudian hari. Sebagaimana digambarkan dengan sempurna dalam ilustrasi dari akun WaitButWhy berikut:

Setiap pilihan akan membawa kita ke percabangan hidup yang berbeda. Dan seringkali tidak ada pilihan tepat menuju satu kehidupan yang sempurna.

Dalam film Everything Everywhere All At Once, diceritakan bagaimana Evelyn Wang (Michelle Yeoh) memiliki begitu banyak alternatif kehidupan di sejumlah dunia paralel. Evelyn Wang seorang pengusaha laundry di dunia A. Evelyn Wang seorang aktris di dunia B. Evelyn Wang seorang penyanyi di dunia C. Seorang koki. Seorang ahli beladiri. Tukang bersih-bersih. Dan lain sebagainya. Dan semua kehidupan itu, tak peduli seberapa kaya dan terkenalnya, tidak ada yang sempurna. Semua memiliki struggle dan kekurangannya sendiri.

Intinya, seringkali dalam hidup tidak ada pilihan yang sempurna. Tidak peduli seberapa besar usaha kita menjelekkan pilihan orang lain, tidak akan membuat pilihan kita jadi lebih baik. Setiap pilihan akan jadi pilihan terbaik, ya kala kita meyakininya. Jika kita sudah memikirkan masak-masak setiap pilihan sebelum diambil, percayalah bahwa itu sudah pilihan terbaik untuk kita di saat itu, tanpa perlu menyesalinya di kemudian hari.

Jika ternyata salah pun, ya memangnya kenapa? A life without wrong decisions every once in a while, isn’t a life worth living anyway. Tanpa satu dua pilihan yang salah, mungkin kita tidak akan banyak belajar dalam hidup. Tanpa sesekali mengambil keputusan buruk, mungkin kita malah tidak bisa menghargai betapa baiknya pilihan kita berikutnya dalam hidup.

Hidup itu bukan soal pilihan ganda. Yang cuma memiliki satu pilihan benar. Bisa aja kan yang terjadi semua pilihan benar. Atau sebaliknya, semua pilihan salah! hehehe.. Sekian dulu Catatan Tengah kali ini. Sampai jumpa di tulisan berikutnya!

Jakarta, 26 Mei 2023

Gutenberg, Media Sosial, & Demokratisasi Pengetahuan

Gutenberg dan mesin cetaknya di abad ke-15 merevolusi pengetahuan dan berjasa memajukan peradaban. Dan ini tidak main-main. Gutenberg tak jarang dianggap sebagai salah satu sosok terpenting dalam sejarah peradaban.

Pada abad ke-5 hingga ke-14, kita mengenal abad kegelapan. The Dark Ages. Yang dimulai dari jatuhnya Kekaisaran Roma di abad ke-5. Lantas bertahan hingga sembilan ratus tahun ke depan. Masa-masa yang ditandai memburuknya ekonomi, budaya, dan intelektual masyarakat. Masa-masa pengetahuan dan agama HANYA dikuasai segelintir masyarakat elit. Saat kitab suci, buku, dan berbagai bentuk pengetahuan lain masih ditulis menggunakan tangan. Sehingga tidak bisa diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Alhasil, pengetahuan jadi barang mewah. Hanya kelompok elit tertentu saja yang bisa mengaksesnya. Masyarakat umum hanya bisa tunduk dan angguk-angguk saja pada kelompok elit tadi. Memberikan kekuasaan absolut pada segelintir orang tadi, terlebih bangsawan, keluarga kerajaan, dan Gereja Katolik. Dan sebagaimana sejarah selalu membuktikan: absolute power, corrupts absolutely. Kerajaan dan Gereja pun menjadi aktor kebusukan moral selama Abad Pertengahan. Dari peperangan dan penaklukan keji, hingga menjual pengampunan dosa bagi siapa saja yang mampu membayar. Kemerosotan moral yang luar biasa.

Lalu datanglah Gutenberg dan mesin cetaknya pada abad ke-14.

Berkat penemuan mesin cetak, pengetahuan tidak lagi dikuasai segelintir masyarakat elit saja. Sebuah buku yang tadinya butuh waktu mingguan bahkan bulanan untuk ditulis tangan, jadi bisa diproduksi massal dalam hitungan jam. Kitab suci dicetak massal. Buku pengetahuan, media massa, dan diskursus intelektual jadi mudah dilakukan. Demokratisasi pengetahuan terjadi. Tidak butuh waktu lama, Abad Pencerahan atau Renaissance pun tiba. Abad kebangkitan kembali sektor ekonomi, pengetahuan, politik, dan budaya di Eropa. Lompatan hebat menuju modernitas dan perubahan sosial yang luar biasa.

SARINGAN PENGETAHUAN

Selama ratusan tahun berikutnya, persilangan ide, pengetahuan, dan diskursus intelektual terjadi begitu masif. Dan seiring waktu, masyarakat membentuk sistem dan caranya sendiri dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Dari pentingnya pendidikan. Adanya pembagian peran dan spesialisasi dalam masyarakat. Hingga munculnya cabang-cabang ilmu pengetahuan baru dan para ahli di bidangnya masing-masing. Kita memiliki sistem soal bagaimana pengetahuan didapatkan, divalidasi, dan disebarkan.

Kita pun memiliki sistem “penyaringan” pengetahuan dengan para ahli sebagai jangkarnya. Ingin menulis buku? Ada sistem dan tahapan yang harus dilalui. Tidak sekadar menulis lalu tiba-tiba bisa dibaca oleh publik. Ada proses penyaringan di tingkat editor dan penerbit buku. Ingin menulis jurnal ilmiah? Juga ada tahapannya. Lewati sistem pendidikan dulu, jalani penelitiannya, peer review, penyaringan editor, dan lainnya.

Dan sistem penyaringan pengetahuan ini terjadi di berbagai bidang. Tak hanya soal penulisan dan bidang ilmiah. Ya buku, musik, film, hingga olahraga dan hiburanm, memiliki standar dan saringannya masing-masing. Tiap sektor memiliki ahlinya sendiri. Yang berperan penting memilah mana yang layak disampaikan ke publik dan mana yang tidak.

ERA INTERNET DAN MEDIA SOSIAL

Kemunculan internet dan media sosial mengubah segalanya.

Kini semua orang bebas berkreasi dan berekspresi tanpa sistem penyaringan ketat. Semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk bicara dan memproduksi pengetahuan. Kita telah mendemokratisasi pengetahuan sebegitunya, hingga siapa saja bebas berbicara apa saja. Termasuk mereka-mereka yang sebenarnya tidak punya esensi apa-apa untuk dibicarakan.

Ocehan bocah 15 tahun dan dokter senior yang berpengalaman 30 tahun soal obat, menjadi sama nilainya di mata algoritma dan media sosial. Ucapan pakar mikrobiologi pemenang Nobel dan Youtuber sok tahu soal virus, bisa memiliki kadar kebisingan yang sama di internet. Selamat datang di era Matinya Kepakaran. The Death of Expertise, kalau kata Tom Nichols. Saat kepakaran tidak lagi dianggap penting dan sentimen anti intelektualisme kian mendominasi.

Kita tidak lagi memiliki filter pengetahuan. Semua yang punya HP dan internet ya bisa ikut memproduksi “pengetahuan”. Sebodoh apa pun itu. Ya lewat pesan WhatsApp. Ya lewat konten di Tiktok, Youtube, atau Instagram. Ya lewat meme atau twit tolol tidak berdasar. Eranya bocil tolol caper bebas menggaungkan pesan berbahaya ke jutaan orang. Ya soal finansial, kesehatan, psikologi, dan lainnya.

Dan sayangnya, platform media sosial tidak peduli-peduli amat soal itu. Twitter era Elon Musk mengubah drastis kebijakan centang biru. Centang biru yang awalnya hanya diberikan pada mereka yang relevan dan kredibel, kini diobral ke siapa saja yang mau membayar. Dengan beberapa dolar per bulan, akun Twittermu akan mendapat centang biru. Mendapat lampu sorot ekstra dan cuitanmu akan diprioritaskan algoritma.

Media sosial lain juga tidak lebih baik. Silakan tonton The Social Dilemma atau baca liputan The Facebook Files. Platform cuma peduli seberapa sukses konten menggaet atensi pengguna. Semakin bodoh dan memicu perdebatan, ya semakin diprioritaskan oleh algoritma. Karena membuat pengguna bertahan lebih lama dan lebih interaktif. Dua hal yang amat disukai pengiklan, bensin utama platform.

MENGAPA BEDA DENGAN GUTENBERG?

Revolusi pengetahuan yang dicetuskan Gutenberg memiliki dampak yang baik bagi peradaban. Mengapa revolusi pengetahuan yang dipicu internet dan media sosial memiliki dampak sebaliknya? Menurut saya, keduanya berbeda secara fundamental.

Revolusi Gutenberg menghasilkan demokratisasi pengetahuan dari sisi konsumsi. Orang yang tadinya tidak bisa mengkonsumsi pengetahuan, jadi bisa membaca buku dan sumber-sumber ilmu pengetahuan lainnya. Orang berlomba-lomba mengkonsumsi pengetahuan.

Internet dan media sosial sebaliknya. Mereka menghasilkan demokratisasi pengetahuan dari sisi produksi. Semua orang kini ingin berbicara, didengar, dan memiliki audiens sebesar-besarnya. Orang berlomba-lomba memproduksi konten dan pengetahuan. Setolol apa pun itu.

Apa yang terjadi jika semua orang diberi pelantang suara? Harmoni? Alunan musik yang merdu? Ya tidak. Untuk bisa menjadi penyanyi yang bagus, tentu butuh belajar dan latihan panjang. Tidak semua orang bisa melaluinya. Bahkan, tidak semua orang juga sebenarnya perlu menjadi penyanyi. Orang-orang bijak mungkin tahu diri bahwa suara mereka tidak sebagus itu untuk dipertontonkan.

Sayangnya, studi Dunning-Kruger menunjukkan sebaliknya. Mereka-mereka yang tidak kompeten, tidak akan ragu menyuarakan ketidakkompetenan mereka. Karena sejatinya mereka tidak sadar bahwa mereka itu tidak kompeten. Yang bodoh persis peribahasa tong kosong nyaring bunyinya. Yang cerdas persis ilmu padi: semakin berisi semakin merunduk.

Maka jangan heran jika hari-hari ini linimasa terlalu bising oleh suara-suara fals. Oleh bocil-bocil tolol caper yang tidak punya ilmu apa-apa. Oleh anak-anak muda krisis identitas yang mencari validasi diri dengan mempertontonkan kebodohan. Oleh orang-orang bodoh yang bahkan tidak tahu bahwa mereka bodoh.

Mungkin sudah saatnya kita tinggalkan ilmu padi. Bahwa yang berisi jangan melulu merunduk. Bahwa yang cerdas jangan terlalu malu-malu kucing berbagi ilmu. Bahwa yang cerdas dan waras jangan ngalah mulu. Karena kalau demikian saya ragu peradaban akan berjalan ke arah yang lebih baik. Jangan-jangan kalau begini terus kita ini segera kembali memasuki Abad Kegelapan.

Yaaa semoga saja kali ini saya salah. Semoga.

Jakarta, 6 Mei 2023

On How to Be a Better Crab

Pertama-tama, saya ingin mengucapkan terima kasih atas respons dari teman-teman sekalian untuk tulisan terakhir saya. Tulisan soal belajar bahagia melihat kebahagiaan orang lain itu ternyata relate dengan banyak orang. Banyak yang ikut membagikan, meninggalkan komentar, sampai DM personal ke saya tentang struggle dan pengalaman mereka sendiri.

Salah satu pertanyaan yang cukup sering muncul: “Gimana caranya ya kita gak iri melihat pencapaian orang lain? Terlebih di saat “momen bersinar” gue koq gak dateng-dateng?”

Maka saya merasa perlu untuk sedikit bercerita pengalaman dan perspektif saya soal ini. Anggap saja ini bentuk pertanggungjawaban moral saya juga, biar gak dianggap lempar batu sembunyi tangan. Udah nyuruh orang gak gampang iri, eh gak ngasih tau caranya. haha. Ya maap, emang dari awal saya gak berniat menjadi si paling tahu dan si paling gak ngiri koq. Saya sendiri masih belajar. Masih suka gagal. “Still learning to love, just starting to crawl”, kalo kata lirik lagu Say Something-nya A Great Big World.

Dan tulisan ini, juga tidak bermaksud mengambil posisi demikian. Mengajari atau menjadi panduan yang bisa diikuti semua orang. Tidak sama sekali. Ini saya cuma membagikan perjalanan saya sendiri, dan hal-hal yang membantu saya menjadi kepiting yang sedikit lebih baik. A crab with a slightly better mentality. Mungkin ada yang bisa dipelajari dari tulisan ini, mungkin juga tidak. Apa pun itu, selamat membaca.

Saya percaya langkah pertama untuk bisa menemukan solusi adalah…mengakui adanya masalah. Selama kita menyangkal bahwa ada yang salah dan perlu diperbaiki, ya gimana mau sampai ke solusi.

Dan buat teman-teman yang merasa masih struggling soal jealousy & bitterness, you’re off to a great start. Fakta bahwa kamu merasa perlu memperbaiki diri, artinya sudah mengakui ada yang belum sempurna. Tidak menyangkal bahwa kalau kita jadi makhluk yang iri dan bitter terus, tidaklah sehat. Langkah pertamanya sudah benar. Ini penting, karena ada koq orang-orang yang sampai usia tua masih gagal di langkah pertama ini. Merasa gak ada yang salah dengan mindset dan sikap mereka. Nah, sesudah langkah pertama, lalu apa?

“Your relationship with yourself sets the tone for every relationship you have”

Robert Holden

Ini adalah kutipan dari seorang psikolog asal Inggris yang saya yakini benar. Dan ini gak cuma soal relasi romantis dengan pasangan. Tapi juga relasi kita dengan orang lain sebagai makhluk sosial.

Selama kita sendiri tidak nyaman dengan diri sendiri. Tidak merasa utuh dan selalu merasa berkekurangan. Ya gimana kita bisa memiliki relasi yang sehat dengan orang lain? Gimana kita gak ngiri sama pencapaian orang lain?

Penting untuk belajar menjadi pribadi yang utuh. Yang bisa menerima diri sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Yang bisa merasa cukup tanpa harus membandingkan diri dengan orang lain. Yang bisa merasa bahagia dari dalam, bukan dari validasi dan komparasi eksternal.

Ini hal yang teramat penting. Dan sayangnya, teramat sulit. Kita dibesarkan dalam konstruksi sosial bahwa hidup adalah kompetisi. Bahwa semakin kita lebih dari orang lain, artinya semakin baik. Ya nilai ujian, ya peringkat di sekolah, hingga gaji dan kepemilikan material. Reference point kita selalu pihak lain. Kita tidak pernah dibekali kemampuan mawas diri. Self-awareness. Tahu siapa diri kita, apa kelemahan kita, apa yang kita mau, dan bagaimana merasa cukup.

AUTOMATIC THINKING & CONTROLLED THINKING

Satu hal yang saya pelajari saat kuliah Psikologi, adalah bagaimana otak kita begitu sering melakukan automatic thinking. Berpikir secara otomatis. Mengambil kesimpulan secara cepat dari data yang seadanya. Mulai dari stereotip seperti “Oh dia China, pasti pelit”, atau kesimpulan ngasal seperti “Koq dia bawa pisau, pasti dia mau merampok”. Daniel Kahneman dalam buku Thinking, Fast and Slow juga menjelaskan soal dua sistem berpikir ini. Sistem pertama yang lebih cepat, otomatis, dan emosional. Atau automatic thinking.

Sebaliknya, sistem kedua adalah controlled thinking yang lebih hati-hati, butuh usaha, tapi logis dan bertujuan. Kedua sistem ini ada dan diproses di otak manusia. Mempengaruhi bagaimana kita memproses informasi dan sampai pada kesimpulan. Sistem pertama yang seringkali tidak sempurna tadi, adalah buah dari evolusi panjang dari zaman prasejarah, kala di zaman dulu manusia dituntut untuk membuat keputusan hidup dan mati dalam waktu sesingkat-singkatnya. Kita gak bisa menghilangkannya sama sekali. It’s the part that makes us human.

Ketika kita melihat orang lain bahagia lalu kita berpikir negatif, bisa jadi ini adalah hasil automatic thinking kita. Manusiawi, koq. Berpikir bahwa orang lain cuma beruntung. Berpikir bahwa orang lain gak layak akan kesuksesannya. Pertanyaannya, maukah kita tidak berhenti di automatic thinking saja? Berani gak kita lanjut ke controlled thinking? Berpikir ulang, bahwa jangan-jangan kesimpulan dan pemikiran saya tadi tidak sepenuhnya benar. Merefleksikan ulang pemikiran kita.

Ini tentu butuh usaha, kesadaran, dan waktu yang tidak mudah. Tapi jika kita sering melatihnya, saya yakin lambat laun controlled thinking kita akan makin terasah. Alih-alih puas dengan pemikiran negatif yang otomatis, lama-lama kita akan sering berpikir lebih mendalam dan reflektif. Jadi, lain kali rasa itu datang dan otak kita mulai diisi pikiran negatif, coba deh berhenti sejenak. Puaskah kita dengan automatic thinking kita barusan? Jangan-jangan, kita perlu melakukan controlled thinking.

TIAP ORANG PUNYA BAHAGIANYA MASING-MASING

Hal lain yang membantu saya mengikis rasa iri, adalah kesadaran bahwa tiap orang punya jalan ninjanya masing-masing. Tiap orang bisa menemukan bahagianya masing-masing. Bahagia itu bukan tiket konser BTS, yang perlu ticket war dan menyisakan pemenang dan pecundang. Jangan-jangan, bahagia itu cukup bagi semua orang. Kalau orang lain bahagia, belum tentu kita jadi gak bisa bahagia. Kalau orang lain sukses, bukan artinya kuota sukses kita berkurang.

Bahagia itu personal. Apa yang membuat orang lain bahagia, ya belum tentu bisa membuat kita bahagia. Dan apa yang bisa membuat kita bahagia, ya kita sendiri yang paling tahu. Pertanyaannya, kamu sudah tahu belum apa yang bisa bikin kamu bahagia? JIka sudah, kamu sudah mengusahakan apa saja untuk mencapainya? Gak jarang, kita gak pernah menggali sebenarnya kita tuh maunya apa. Dan kita juga belum mengusahakan yang terbaik. Lalu kenapa harus iri melihat orang lain mendapatkan mimpi yang mereka usahakan sendiri?

GAK HARUS SELALU JADI BINTANG UTAMA

Di dalam film superhero, bintang utamanya biasanya si pahlawan super yang memiliki kecerdasan, kekuatan, dan kemampuan hebat. Tapi, film superhero yang bagus selalu ada sidekick dan pemeran pendukung yang membantu sang superhero. Batman tanpa Alfred mungkin cuma playboy ngehe yang sering ngopi seharga 80ribu. Stephen Strange tanpa Wong mungkin cuma dokter sotoy yang bisa sulap kayak Pak Tarno.

Begitu juga hidup. Tanpa orang-orang yang jadi sidekick dan bertugas memberi dukungan pada si tokoh utama, belum tentu penjahat bisa dikalahkan. Kadang, kita terlalu fokus untuk jadi bintang utama, dan enggan menjalani peran sebagai pendukung. Seakan-akan hidup dan seisi dunia itu cuma ada buat kita doang. Kita harus selalu di tengah panggung dan disinari lampu sorot.

Padahal, gak jadi bintang utama juga gak kiamat. Menjalani peran sebagai pendukung pun, kita tetap bisa berkontribusi membuat dunia lebih baik. Bahkan, seringkali hidup itu gonta-ganti peran kita koq. Kadang jadi pemeran utama, kadang jadi pemeran pendukung, kadang jadi antagonis (saya sih ini kayaknya! haha). Saya akan pakai sebuah video bocah-bocah di sekolah Jepang untuk menggambarkan betapa pentingnya peran pendukung.

That’s the kind of world I want to live in. Kala saya bisa mendukung teman yang sedang berjuang, juga bisa ikut senang kala dia berhasil. Kalau kita semua bisa saling dukung dan ujungnya bisa sukses bareng, kenapa enggak?

Jangan-jangan, alih-alih jadi kepiting yang kerjanya cuma saling menjatuhkan terus, kita bisa lho jadi kepiting yang saling bantu dan manjat bareng ke tempat yang lebih tinggi? I want to be that crab. And I’ll do my best to try.

Sekian tulisan saya kali ini. Semoga bermanfaat, ya. Pesan saya, we’re not in a rush. Dalam sehari menghilangkan rasa iri hati tentu mustahil. Perlu usaha dan proses yang tidak mudah.

Take your time. Take your baby steps. Progress at your own pace. It’s not like we have a deadline or anything anyway.

Jakarta, 3 April 2023

%d bloggers like this: