BAHAGIA TAK HANYA MILIK SAYA


Kemarin sempet lihat konten yang intiya berkata gini:

“Sorry ya story lu gue mute, soalnya gue belom sanggup liat orang lain pamer kebahagiaan di sosmed”

For the longest time, that’s me.

Ada masanya sulit sekali bagi saya untuk ikut merayakan keberhasilan orang lain. Tiap kali ada teman yang sukses, entah dapat promosi, dapat kerjaan baru, dapat beasiswa, bisnisnya berkembang pesat, atau meraih pencapaian tertentu lainnya, saya cuma bersungut-sungut dalam hati.

Ah, dia mah hoki. Ah, dia mah enak anak orang kaya. Ah, dia berada di waktu dan tempat yang tepat aja. Ah, dia mah cucu Soekarno. Dan seterusnya.

Setiap pencapaian orang lain, rasanya cuma jadi pengingat akan kegagalan diri sendiri. Ketika melihat orang lain sukses, yang jadi fokus saya cuma “Giliran gue kapan, bangsat?”

Gitu terus. Sampai saya lelah sendiri. Lalu berpikir.

Jika nanti saya berhasil, ada gak ya yang bakal ikutan senang dengan tulus?

Jawabannya….ya belum tentu.

Jangan-jangan, saya gak sendirian. Jangan-jangan, orang-orang lain juga gak sesenang itu liat ada orang yang berhasil. Crab mentality, istilahnya. Kalo saya gak berhasil, orang lain juga gak boleh berhasil. Ujungnya, dunia dihuni sama orang-orang yang gagal merayakan kebahagiaan orang lain. Wah, sedih banget ya hidup di dunia yang seperti ini?

Akhirnya saya rasakan sendiri berada di ujung meja satunya. Pas S2, saya pernah dapat kesempatan beasiswa riset selama 3 bulan ke Belanda. Pas menjalaninya, saya gak banyak berpikir. Belakangan, jauh setelah beasiswanya selesai dan kuliah S2-nya udah beres, saya diberi tahu oleh seorang teman S2. Bahwa waktu itu banyak yang berpikir kalo saya dapat beasiswa karena faktor kedekatan saja sama petinggi fakultas. Bukan karena saya layak.

Ck! Sakit juga, ternyata.

Ya saya emang dekat sama petinggi kampus, sih. Sejak masih mahasiswa S1. Itu fakta yang tidak bisa saya bantah. Dekatnya juga karena saya sering jadi seksi repot di urusan kemahasiswaan. Jadinya ya emang harus dekat sama semua pihak. Mulai dari petugas cleaning service, sound system, satpam, mbak-mbak sekretariat kampus, dosen, sampai rektorat. Jadi dekat ya karena sering berinteraksi. Ada urusan, baik yang formal pun nonformal.

Tapi, untuk urusan beasiswa S2, sejujurnya semua koneksi itu gak guna-guna banget. Saya aja dari awal gak minat-minat banget dapet beasiswa. Akhirnya ikut daftar juga di detik-detik akhir biar ada “perwakilan” aja dari jurusan saya. Lalu seleksinya juga dilakukan oleh petinggi yayasan lintas negara (Indonesia & Belanda) yang saya gak kenal. Di tiap proses, gak ada usaha atau harapan berlebih untuk dapat beasiswanya. Dapet syukur, enggak juga gak masalah. Gak ada tuh lobi-lobi ekstra supaya lolos. Saya kan bukan Erick Thohir.

Singkat cerita, akhirnya saya dapat beasiswa tersebut. Saya lakukan tugas dengan baik (sambil jalan-jalan), pulang, ikut ujian thesis, lalu lulus. Sama sekali gak sadar bahwa di belakang sana ternyata ada yang punya pikiran negatif soal beasiswa saya.

Tapi ya saya gak mempermasalahkan juga. Lha wong udah lewat juga. Saya taunya telat. Kalau saya taunya di awal mah, saya bakal minta mereka yang gantiin saya dapet beasiswa. Karena saya ini udah tau beasiswa ini gak bakal kepake juga di CV saya. Mungkin mereka lebih butuh. Sama kayak pas S1 saya sering nolak-nolakin kesempatan dari petinggi kampus untuk ikut kegiatan “future leader”, soalnya saya tau gak bakal kepake di CV. Lebih baik diberikan ke yang lebih membutuhkan.

Looking back, it was a funny experience.

Ternyata, yang ngomongin saya di belakang juga emang gak daftar dapetin beasiswa juga. LAH NGEHE, TERUS LU PADA NGIRI BUAT APAAN? Kalau saya dianggap ngambil jatah mereka yang berhak, ya silakan marah. Lah ini mereka juga gak daftar, koq. Bener-bener crab mentality.

And then it hits me. It was me for the longest time. I’m that shitty friend who refuse to celebrate those who made it. I’m that shitty guy who talks shit about other people, just to make myself feel a little bit better. I’m that crab.

Ya mungkin ini karma saya aja.

When we fail to celebrate EVERYONE who made it, NOBODY will be there to celebrate with us when we made it.

Lalu perlahan saya memperbaiki diri. Belajar untuk tidak jadi si kepiting menyedihkan yang gak rela melihat orang lain bahagia. Belajar untuk ikut senang dan merayakan pencapaian teman-teman saya yang luar biasa. Kadang saya masih suka gagal, rasa iri masih suka terselip. But I chose to learn. I chose to be a better friend. I chose to be a better supporter. I chose to fight the demon in me.

Dan hidup, jadi jauh lebih menyenangkan. Hidup jadi lebih berwarna dan seru ketika kita bisa senang melihat orang lain bahagia. Ketika kita berhenti posesif dan menganggap bahwa kebahagiaan itu hanya milik kita seorang. Ketika kita sadar, kebahagiaan orang lain tidak membuat citra diri dan keberhargaan saya berkurang. It’s not a zero sum game. Bahagia itu, bukan hanya milik saya. Orang lain layak bahagia. Dan ikut bahagia, gak ada salahnya.

Dengan turut merayakan pencapaian teman-teman saya, saya jadi bisa belajar banyak dari mereka. Bisa bertanya gimana ceritanya mereka bisa mencapainya. Bisa belajar tentang struggling dan perjuangan yang mereka lalui untuk mendapatkannya. Ketika kita ikut senang dengan tulus, mereka juga jadi lebih terbuka lho untuk berbagi. Ya siapa juga yang mau berbagi sama orang yang sirik mulu idupnya?

Tak jarang, dari ucapan-ucapan sederhana seperti “Wow congratulations for your new job / book / business / achievement”, bisa berlanjut ke diskusi seru yang saling mencerahkan. Bahkan bisa berlanjut ke berbagi mimpi dan saling dukung. “Oh elu sekarang di bidang copywriting, nanti kalo ada temen gue yang butuh, gue kenalin ke lo ya!”, atau “Oh lu lagi cari beasiswa juga, nih gue share ya kemarin langkah-langkah dan resource yang membantu gue”

All that, from a simple gesture.

Gak, tulisan ini gak bermaksud mengajak kamu menjadi manusia pamrih yang ada maunya. Yang cuma pura-pura ikut bahagia biar dapet sesuatu. Bukan itu poin utamanya. Cuma mau bilang bahwa the law of attraction does exist. Pikiran, ucapan, dan aksi yang positif akan mendatangkan hal-hal positif juga dalam hidup. Kalau kita memilih sirik dan bersungut-sungut ketika orang lain bahagia, ya pantes aja yang datang ke hidup kita juga hal-hal negatif mulu.

Intinya, yuk belajar untuk merelakan bahagia. Bahwa bahagia itu bukan milik kita seorang. Bahwa orang lain juga boleh banget bahagia. Dan hidup itu gak harus gak melulu soal prestasi dan kompetisi. Tapi lebih sering soal kolaborasi dan kontribusi.

Ojo dibandingke, kalo kata Farel Prayoga. Ya benar, ngapain juga sibuk banding-bandingin hidup kita sama orang lain. Lebih penting memastikan, diri kita di hari ini lebih baik dari diri kita di hari kemarin. Diri kita di tahun ini, sudah lebih bijak dan dewasa dibanding diri kita di tahun lalu.

Jakarta, 31 Maret 2023.

The Non-Travellers Ultimate Guide to Japan (Lanjutan)

Di postingan Ultimate Guide sebelumnya saya udah bahas soal visa, tiket, penginapan, sampai bertransaksi di Jepang. Kali ini, saya mau bahas soal empat hal yang paling banyak ditanyain: transportasi, makanan, itinerary, sampai budget. Selamat membaca dan semoga membantu, ya!

Japan X Google Maps

Jepang adalah negara terbaik untuk memaksimalkan Google Maps. Kolaborasi Jepang & Google Maps adalah simbiosis mutualisme terbaik dalam sejarah peradaban teknologi. Asli. Beneran, gak bohong. If you don’t use it, you’re simply missing out too much. Salah satu situs travel The Navigatio bahkan bilang gini:

“If you’re only going to use one app during your time in Japan, it should be Google Maps”

The Navigatio

Mau lu turis keq. Pelajar. Atau warga lokal. Google Maps akan sangat memudahkan hidup selama di Jepang. Dari merencanakan perjalanan, menavigasi kita di tiap langkah, nyari tarif perjalanan dan tempat wisata, sampai nyari tempat makan, hotel, belanja, dan hiburan. Google Map is all you need. Kita mulai dari urusan transportasi dan navigasi!

TRANSPORTASI

Kecuali lu terlahir sebagai pewaris MNC atau grup Djarum, kemungkinan besar lu bakal mengandalkan transportasi umum selama di Jepang. Pertama, karena taksi mahal. Kedua, karena transportasi umumnya bisa diandalkan banget. Murah, menjangkau sampai pelosok, dan jadwalnya jelas & sering. Kayaknya gak ada satu titik pun di kota besar, yang jaraknya lebih dari 15 menit dari stasiun atau halte bis terdekat. Tata kotanya segitu bagusnya. Jadi, transportasi publik akan selalu bisa ditempuh dengan jalan kaki.

Lu bisa beli JR Pass kalau rutenya memang sesuai (misalnya Tokyo – Osaka – Tokyo). Tapi gue kebetulan mendarat di Tokyo baliknya dari Osaka. Naik Shinkansen cuma sekali, jadi gak perlu-perlu banget JR Pass. Selama di sana 90% naik bis atau kereta, pake kartu SUICA atau IC Card. Bisa dibeli dan ditopup di stasiun atau minimarket.

Kalau sewaktu-waktu butuh naik taksi, bisa banget order online pake aplikasi DIDI Rider / Japan Taxi. Gue sempet beberapa kali naik taksi, biasanya karena bawaan lagi ribet. Pas mau pindah hotel atau kota khususnya, ribet kan yak naik bis nenteng-nenteng koper. Tinggal pake aplikasi, bayarnya bisa cash. Untuk jarak 2-4 KM, di kisaran 800 yen sampai 1.200 yen. Kalau tengah malem dan ke area tertentu kek bandara biasanya ada extra charge. Jadinya bakal agak mahal.

Navigasi via Google Map itu membantu banget. Misalnya lu dari hotel mau ke stasiun Shibuya. Dia bakal ngarahin lu lewat rute terbaik. Ngasih tau harga tiket bis/keretanya berapa. Ngasih tau naik keretanya dari peron mana, datengnya berapa menit lagi, jalurnya warna apa, moncong keretanya ngarah ke mana (kiri atau kanan), bahkan kalau perlu transit pun lu bakal dikasih tau baiknya naik di gerbong berapa dan nanti keluarnya di pintu exit berapa. Yes, segitunya. Asli.

Di sini? Ya boro-boro. Lo transit di Manggarai aja kayaknya Google Mapsnya udah langsung nyerah. “I didn’t sign up for this shit…”, gitu katanya. Lalu self-destruct in 5…4…3…2…1.

Intinya, untuk urusan transportasi publik di Jepang, cukup andalin Google Maps. Gak perlu bingung kesasar. Kalo lagi jalan kaki juga bisa pake fitur Live View, dia bakal pake teknologi Augmented Reality buat ngasih tanda panah secara real-time via kamera HP kita. Membantu banget.

MAKANAN DAN KULINERAN

Untuk urusan makan di Jepang, Google Maps pun bisa banget diandalkan. Tinggal buka aja, cari restoran, terus pilih kita lagi mau makan apa. Ramen? Sushi? Seafood? Sate-satean? Chinese food? Western? Dan masih banyak lagi. Nanti bakal disortir resto-resto yang sesuai, tinggal kita cari deh yang ratingnya bagus dan jaraknya sesuai. Juga ada perkiraan harganya, buat tau mana restoran awal bulan sama restoran tanggal tua.

Personally, gue gak merasa perlun banget untuk punya list restoran yang wajib dikunjungi di Jepang. Selama gue di sana, datengin ke resto rekomen temen-temen, atau yang istri tau dari media sosial, bahkan yang random aja kita datengin, gak ada yang mengecewakan. Japanese people took great pride and effort in everything they do, termasuk urusan masak.

Mereka kalo buka resto ya seriusan diperhatiin dari bahan makanan, kehigienisan masak, sampe kualitas rasanya. Mereka buka resto bukan kayak pejabat pajak lagi cuci uang lalu bikin resto yang kualitas makanannya seadanya. Jadi tenang aja, mao ke resto unagi mahal atau izakaya murah di gang kecil, enak-enak aja koq. Tinggal masalah selera aja cocok apa enggak ke lidah kita.

Mau cari resto favorit dari Tiktok atau Youtube, boleh banget. But I should warn you, the most popular restaurant in Japan has the craziest wait times. Waktu tunggunya gak kalah sama wahana Disneyland. Bisa 1-3 jam! Seriusan. Karena di sana rata-rata restoran tuh kecil ukurannya, paling tempat duduknya cuma muat 10-15 orang aja.

Ya bayangin kalo yang ngantri 50 orang (ini termasuk dikit lho, gak jarang lebih dari ini). Artinya kita mesti nunggu ritual orang masuk resto, milih makanan, mesen makanan, makanannya dimasak, makanan dateng, makanan difoto2 buat IG, makanan disantap, minta bill, bayar, meja dibersihin. Dan kita mesti sabar menunggu ritual ini berlangsung selama 3-4 kali. Kebayang lamanya kan?

Kalo emang punya waktu dan sepenasaran itu sama makanannya, ya silakan. Gue sih seringkali gak sesabar itu. Kebetulan lidah gue juga cuma taunya makanan enak dan enak banget. Jadi gak masalah nyari resto yang rada sepian, tetep bakal enjoy dan kenyang juga ujungnya.

Sekali makan di restoran Jepang rata-rata bakal habis lebih dari 1.000-an yen per orang. Kalo lagi mau makan murah, bisa ke Yoshinoya, beli makanan di minimarket macam Sevel, Lawson, dan Family Mart (cobain famichiki!), atau ke Saizeriya juga bisa jadi andalan. Cukup 500-an yen bisa kenyang. Untuk makan malam, bisa ke supermarket atau department store, suka ada makanan yang didiskon sampai 50%.

ITINERARY

Nah, di Reels kemarin saya sempet share soal bikin itinerary pakai Artificial Intelligence. Bisa pake ChatGPT atau pake Notion. Jadi sebenernya agak galau untuk share itinerary, karena saya percaya tiap perjalanan itu personal. Tergantung kamu sukanya apa dan mau liat apa. Kalau itinerary saya kemarin, kurang lebih begini:

Tokyo (5 malam): Haneda Airport – Kawasaki Area – Ueno – Sightseeing Shibuya – Starbucks Roastery Reserve – Disneysea – Asakusa – Tokyo Station – Ginza – Shinkansen to Kyoto.

Kyoto (3 malam): Sanjo Horikawa – Kamo River – Shiji-dori – Pontocho Alley – Kawaramachi – Nishiki Market – Gion & Ninenzaka – Kiyomizudera – Fushimi Inari – Teramachi – Kyoto Station.

Osaka (3 malam): Dotonbori – Osaka Castle – Osaka Akuarium Kaiyukan – Tempozan Giant Ferris Wheel – Kyutaromachi – Tenjinbashi Suji Shopping Street – Namba – Dotonbori – Kansai Airport.

Ini itinerary super santai karena saya lebih suka slow travelling. Buat yang seneng liat banyak hal, tentu bisa banget ditambah-tambahin. Intinya sih balik ke part pertama, sebelum berangkat riset-riset dulu lewat Youtube, Tiktok, & Instagram. Cek tempat mana aja yang menarik buat kamu. Lalu disesuaikan deh sama jadwal dan budget kamu.

Jepang tuh tagline-nya pariwisatanya ENDLESS DISCOVERY. Dan ini bener-bener akurat. Ada teman saya yang berkali-kali ke Jepang sukanya explore Tokyo doang. Dan selalu nemu aja spot baru yang seru di Tokyo. Ada yang prefer ke Kyoto yang lebih tradisional. Ada yang suka Sapporo dan saljunya. Ada yang suka ke kota-kota kecil yang less traveled. Semua enjoy-enjoy aja. Karena Jepang emang beneran menawarkan begitu banyak keseruan dan pengalaman menarik bagi setiap orang. Totally endless discovery.

BUDGET

Last but not least, let’s talk about budget. Ini cuma buat gambaran aja untuk jalan-jalan selama 10 malam di Jepang, ya. Di luar belanja & oleh-oleh ya, karena itu mah gak wajib juga kan sebenernya.

Jadi, total dana yang mesti disiapin untuk jalan-jalan berdua selama 10 hari di Jepang sekitar Rp 39.000.000. Demikian kurang lebih budget-nya. Ini di luar belanja, oleh-oleh, dan hedon-hedon lainnya yak. Ini termasuk budget ekonomi tapi tetep nyaman, ya. Mau lebih premium ya bisa. Mau lebih hemat juga pasti bisa. Buat gambaran aja ya, biar kebayang.

Sekian The Non-travellers Ultimate Guide to Japan dari saya. Maap kalau kepanjangan. Lebih maap lagi kalau kurang panjang. Maklum bukan travel blogger, hence the title.

Jika ada yang mau ditanyakan monggo banget komentar, pasti tak bales pas sempet. Thank you for reading and happy travelling, guys!

The Non-Travellers Ultimate Guide to Japan

Nah, berhubung kemarin lumayan banyak yang punya pertanyaan seputar jalan-jalan ke Jepang. Saya coba rangkum di sini aja ya untuk memudahkan. Saya beri nama “The Non-Travellers Ultimate Guide to Japan”. Dari pemula, untuk pemula. Semangatnya berbagi, bukan mengajari. Selamat membaca dan semoga bermanfaat!

First things first: secure visa, tickets, & do your research.

Tiga hal ini sih yang perlu banget disiapin dari jauh-jauh hari. Untuk visa, dapetin slot appointment ke JVAC (Japan Visa Application Center) gak gampang. Mesti cepet-cepetan dan sering-sering refresh di websitenya. Kalau gak mau repot, bisa pakai biro jasa. Secepet-cepetnya kayaknya butuh waktu seminggu, ya itu kalau lancar. Shit happens. Mending siapin dari jauh-jauh hari kalau dokumen kurang atau apa masih ada waktu. Saya beresin visa sekitar sebulan sebelumnya, itu aja agak deg-degan. haha..

Selain itu, tiket pesawat juga perlu dibeli dari jauh-jauh hari kalau mau dapet harga terbaik. Apalagi buat yang mau nukerin Miles. Saya beruntung 2 bulan sebelum berangkat bisa nukerin miles Krisflyer dan dapat jadwal yang cocok. Denger-denger banyak yang waitlist sampai berbulan-bulan, khususnya di bulan-bulan ramai. The sooner, the better.

Yang gak kalah penting: do your research. Mau datengin apa aja di Jepang? Mau ngeliat apa aja? Mau nyobain makanan apa aja? Ada festival/acara seru apa yang pas sama jadwalmu ke Jepang? Cuacanya nanti gimana? Butuh pakaian setebal apa? Bisa dapet liat sakura gak? Enaknya PP dari Tokyo apa pulangnya dari kota lain ya? Dan lain sebagainya.

Karena pada akhirnya tiap perjalanan itu personal. Apa yang kamu suka belum tentu orang lain suka. Orang yang kamu suka juga belum tentu suka balik sama kamu. Lah? Maap-maap.

Ya kecuali kamu ikut paket wisata di Tour & Travel ya, gak usah pusing-pusing amat. Tinggal ikutin jadwalnya aja. Tapi saya lebih suka jalan sendiri dan atur jadwal senyaman saya. Jadinya ya riset tipis-tipis ini penting banget.

Buat yang bakalan pergi sama pasangan, ini bisa jadi momen bonding seru lho. Nonton Youtube barengan liat video-video travel di Jepang. Share-share postingan seru di Instagram / Tiktok soal Jepang. Atau berbagi bacaan-bacaan seru lainnya soal Jepang yang kamu nemu di internet. Favorit saya Paolo From Tokyo sama Hangry by Nature di Youtube. Seru-seru dan informatif banget video mereka.

Intinya, bagian “riset” sebelum pergi ini selain penting, juga menyenangkan dan bisa dinikmati koq. Syukur-syukur dari liat video-video perjalanan kamu udah cukup merasa healing. Gak perlu beneran terbang ke Jepang. Lumayan banget kan tuh hematnya? hehehe..

PENGINAPAN

Kalau tiga hal penting tadi udah beres, kamu bisa lanjut ke hal berikutnya yang gak kalah penting: PENGINAPAN. Nyari penginapan ini pengalaman tersendiri. Tapi intinya ya cari yang sesuai sama kebutuhan kamu. Penginapan di Jepang tuh macem-macem banget. Ada hotel budget, ada hotel berbintang, ada AirBnB, ada Ryokan yang lebih tradisional, ada Hostel, ada Manga / Internet Cafe yang bisa jadi solusi nginep murah. Buanyak banget opsinya. Sesuaikan aja sama kebutuhanmu.

Tapi tenang aja, kamu gak perlu booking semuanya dari jauh-jauh hari koq. Saya sendiri booknya nunggu ada diskon. Pasang watch list di Booking.com, pas harganya turun muncul notifnya dan baru deh saya booking. Selain Booking.com ya bisa via Agoda atau Traveloka / Tiket.

Bahkan ada beberapa penginapan yang baru kita book atau extend pas udah di Jepang koq. Selain karena itinerary yang berubah menyesuaikan mood dan cuaca, juga karena kita mau cobain dulu hotelnya. Takutnya udah book sekian malam, eh ternyata kurang cocok. Kan sayang.

Saya sendiri kemarin selalu cari hotel-hotel budget yang di kisaran 800-900 ribuan. Ya mentok-mentok ada yang 1 juta lewat-lewat dikit. Fokus saya cuma beberapa hal ini: reviewnya oke (di atas 8), kamarnya gak sempit-sempit amat (di atas 16 meter persegi), dan jaraknya dekat dari stasiun/halte terdekat (kisaran 5-10 menit). Yang terakhir penting banget, supaya kamu gak perlu cape jalan kaki kejauhan sehabis bertualang seharian.

Buat 1-2 malam terakhir, boleh banget book yang agak mahalan dikit. Yang lebih luas dikit. Pertama, biar bisa lebih rileks dan nyaman buat badan. Bisa selonjoran sesuka hati tanpa takut kepentok furniture. Alasan kedua, juga biar aman buat packing koper dan belanjaan. Ini penting ya, soalnya hotel di Jepang pada umumnya tuh sempit banget. Kayak kos-kosan mahasiswa beasiswa. Tapi yaudahlah ya, yang penting bisa tidur dan mandi dengan nyaman~

Karena cuma berdua, kemarin saya gak book AirBnB. Tapi buat yang pergi ramai-ramai, AirBnB mungkin bisa jadi opsi yang lebih pas ya karena banyak yang menawarkan apartemen lebih luas. Gak sempet nyobain Ryokan juga karena lebih enak Ryokan di kota-kota kecil yang pemandangannya bagus. Next time, deh.

INTERNET

Untuk internet selama di Jepang saya tadinya galau antara 3 opsi: beli SIM Card Travel lokal. Sewa pocket wifi dari Indonesia. Atau beli paket data e-SIM dan masukkin ke HP. Tapi akhirnya memutuskan untuk sewa pocket wifi aja. Soalnya gadget saya dan istri ada beberapa. Kalau harus beli beberapa SIM atau e-SIM ya jadinya mahal. hehe. Tapi ya kelemahannya kalau salah satu terpisah, agak repot ya. Untungnya sih kita kayak perangko alias nempel terus. Jadi aman. hehehe..

Saya ambil paket Javamifi yang 60 ribu per hari. Kalau gak salah FUP 2gb per hari (setelah itu masih bisa dipakai cuma kecepatan menurun). Enaknya ya bisa digunakan sama beberapa gadget sekaligus. Kemarin kita pakai untuk 3-4 gadget baterainya tahan seharian. Tinggal dicharge aja pas malem. Besoknya siap dipakai berkelana lagi seharian.

Totalnya untuk internet selama 12 hari jadi 720 ribu. Ada deposit juga Rp 500.000. Tapi ini bakal dibalikin kalau pocket wifinya udah kamu kembalikan pas pulang ke Indonesia. Balikinnya pun bisa di bandara (gerai Javamifi) atau drop di Indomaret mana aja seluruh Indonesia. Simpel dan gratis!

LOST IN TRANSLATION

Kecuali kamu sering banget nonton bokep Jepang atau pernah kursus belajar bahasa Jepang, maka siap-siap sering pakai bahasa tubuh aja selama di sana. Soalnya bahasa Inggris orang-orang Jepang gak sebagus itu juga. Sekalipun bisa, mungkin aksennya gak semudah itu untuk kamu pahami. Jadi ya andalkan saja Google Translate dan bahasa tubuh.

Jangan heran kalau nanti bakal sering banget bilingual di sana. Kamu pakai bahasa Inggris. Orang Jepangnya pakai bahasa Jepang. Tapi entah bagaimana caranya kalian bisa tetap saling memahami tanpa kendala berarti. Amazing emang. Love wins.

Rata-rata di supermarket, minimarket, restoran, stasiun, halte, dan tempat-tempat publik lain juga ada petunjuk dalam bahasa Inggris koq. Jadi ya aman-aman saja sebenernya. Kamu gak perlu khawatir. When in doubt, trust Google Maps.

TRANSAKSI & UANG

Di Jepang nyaris semua tempat mendukung cashless. Bisa pakai credit card, atau tap aja kartu contactless Visa/Mastercard. Saya pakai kartu debit Jenius yang Visa Paywave. Tinggal tap-tap aja lalu transaksi berhasil. Di Lawson. Sevel. FamilyMart. Restoran. Juga tempat belanja lainnya. Nyaris semua udah bisa cashless.

Tapiiiiiiiiiiiii, tetap ada beberapa tempat yang cuma menerima cash ya. Tetap bawa uang cash secukupnya. Kalau cash kurang, ATM juga lumrah ditemui. Cari aja yang ada logo jaringan yang dimiliki kartu ATM kamu. Saya pakai Debit BCA yang termasuk dalam jaringan Cirrus. Aman.

Untuk transport, bisa pakai kartu SUICA / IC Card ya. Tinggal tap. Semacam eMoney di sana. Kamu isi lebihan juga ga apa, karena bisa dipakai belanja di minimarket dan sejumlah tempat lain juga. Gak cuma buat naik kereta / bis. Sama kayak eMoney dan Flazz lah.

Duh, gak terasa udah segini panjang. Gak muat nih. hehe.

Jadi, sekian dulu The Non-Travellers Ultimate Guide to Japan bagian pertama. Pada bagian berikutnya saya akan bahas itinerary, transportasi, tempat makan, sampai budget.

Semoga guide ini membantu, ya! Selamat merencanakan perjalananmu~

Jakarta,18 Maret 2023

%d bloggers like this: