Tercukupi dalam Keterbatasan

Selamat datang kembali di Celotehan Tuwagapat Kelima, sekaligus terakhir. Di bulan ini, saya bertambah usia. Di awal bulan saya membuat seri tulisan ini. Satu-dua (12) tulisan jelang usia tiga puluh empat (34). Makanya namanya Celotehan Tuwagapat. Maksa? Ya maap. haha..

Ternyata, jadinya lima tulisan reflektif. Soal nilai-nilai kehidupan yang saya pelajari belakangan. Di tulisan pertama saya membahas bahwa kadang kita gak punya semua jawaban di dunia. We don’t need to have all the answers, and that’s okay. Di tulisan kedua saya membahas tentang pentingnya berkata tidak. Memilah opsi dan pilihan-pilihan penting, dan mengeliminasi yang tak sejalan dengan tujuan kita.

Di tulisan ketiga saya membahas soal pentingnya menjadi….tidak bodoh. Kadang, kita gak perlu jadi manusia yang paling pintar di dunia koq. Menjadi si paling cerdas dan jenius. Tapi yang lebih penting, justru menolak bodoh dan menyadari kebodohan kita sendiri. Di tulisan keempat, sembari membahas dinasti politik saya berbicara tentang pentingnya menjadi manusia peduli. Bahwa hal-hal yang mungkin saat ini jauh dari kita, jika kita cuma berdiam diri saja, suatu saat bisa ikut terkena dampaknya.

Lalu, bahas apa kita di tulisan terakhir ini? Sejujurnya, saya juga bingung. Ada begitu banyak pelajaran yang ingin saya tulis. Sayangnya waktu dan tenaga saya terbatas. Mungkin di lain kesempatan saya bakal nulis hal-hal serupa lagi. Tapi untuk kali ini, saya memilih untuk menulis soal satu pelajaran penting yang menjadi mantra saya dalam hidup. Soal merasa cukup. Soal merasa utuh. Soal tercukupi dalam keterbatasan.

Banyak masalah di dunia ini sebenarnya disebabkan ketidakmampuan kita untuk merasa cukup. Maka kita menciptakan kapitalisme tak berujung. Keserakahan dan ketamakan tak terbendung. Kehancuran lingkungan. Kesenjangan. Peperangan. Dan lain sebagainya. Pangkalnya satu: hasrat ingin lebih. Ingin punya uang sebanyak-banyaknya. Ingin punya kekuasaan selama-lamanya. Ingin punya wilayah seluas-luasnya. Ingin merasa aman, tenteram, sejahtera, sukses, kaya, terhormat dan segala hal di dunia yang tak ada habisnya.

Memang salah jika manusia punya ambisi dan keinginan? Ya enggak. Silakan saja. Tapi, jangan lupa hal yang jauh lebih penting: merasa cukup. Untuk senantiasa tercukupi dalam keterbatasan. Karena cukup, adalah kunci bahagia. Orang yang tidak pernah merasa cukup, tidak akan pernah mencapai bahagia. Tak peduli seberapa besar harta dan tinggi jabatanmu. Makanya solusi-solusi anti korupsi dengan menggaji pejabat setinggi langit ya gak akan menyelesaikan masalah juga. Wong mereka tidak bisa merasa cukup. Mau gajinya dikali 10 juga tetap merasa kurang.

Sampai sekarang, saya juga masih terus belajar soal merasa cukup. Dan jujur, tidak mudah. Apalagi di era media sosial yang penuh flexing. Ketika FOMO difabrikasi sedemikian rupa tanpa kita sadari. Handphone terbaru. Gadget terkeren. Liburan terjauh. Mobil tercanggih. Rumah termewah. Dan seterusnya. Kita dicekoki konten-konten demikian, hingga tidak pernah merasa cukup. Selalu ada hal baru yang perlu dikejar, selalu ada mimpi baru yang harus diperjuangkan. Pertanyaannya, mau sampai kapan?

Soal ini juga dibahas di salah satu kelas tentang well-being dan kebahagiaan di Yale University. Bahwa kita cenderung berpikir hal-hal materialistik akan mendatangkan kebahagiaan. Kita senantiasa mengincar big moments dalam hidup. Promosi jabatan. Penghargaan ini-itu. Pernikahan. Liburan ke Neptunus. Barang bermerk. Jadi calon wakil presiden. Dan lainnya. Padahal ketika itu datang, kita cuma senang sesaat. Lama-lama juga terbiasa. Lama-lama jadi tidak bahagia lagi. Lalu sibuk mengejar another big moment & achievement. Kita seperti hamster yang lari berputar di dalam roda. Tanpa pernah mencapai ujung.

Maka saya seringkali berpikir ulang, ketika menginginkan sesuatu. Emang saya butuh iPhone 17? Ternyata gak juga, maka saya puas-puas saja sama iPhone XS Max yang sudah menemani saya sejak sebelum pandemi. Emang saya perlu beli pakaian dan sepatu mahal yang sedang ngetren? Gak juga. Saya beli baju di Cubitus dan Pojok Busana juga happy-happy aja tuh.

Emang saya butuh healing-healing ke Bali dan Jepang setiap bulan? Enggak juga tuh. Saya lihat orang-orang yang hobi banget healing sampai ke antartika tetap aja merasa hidupnya kurang. Tetap aja gak pernah merasa cukup. Healing saya sesederhana pijat refleksi murah meriah bareng istri di dekat rumah. Netflix-an sambil ngemil rendang. Atau ngajak orangtua makan bareng. Cukup lho, ternyata. Happy-happy juga, ujungnya.

Sayangnya, kita tidak pernah diajari untuk merasa cukup. Kita senantiasa diajari untuk mengejar the next best thing. Dapat nilai bagus, supaya bisa dapat SMA bagus. Dapat SMA bagus, biar bisa masuk kampus favorit. Masuk kampus favorit, biar bisa dapat kerjaan mentereng. Dapat kerjaan mentereng, biar bisa dapet gaji selangit. Dapet gaji selangit, biar bisa beli rumah tujuh lantai. Biar bisa menikah di hotel bintang lima. Biar anak kita bisa dapat pendidikan terbaik. Biar anak kita bisa masuk SMA bagus. Begitu seterusnya. Gak beda sama hamster. Hamster di roda lho ya. Bukan hamster dan huruf X. Beda.

Fokus hidup kita selalu hal baru di depan. Selalu ke masa depan. Jarang kita diajak berhenti sejenak dan refleksi diri. Betapa jauh dan panjang perjalanan yang sudah kita lakukan. Betapa hebat pencapaian-pencapaian yang sudah kita dapatkan. Betapa cukup dan bahagia, hidup kita saat ini. Betapa tercukupinya hidup kita, meski mungkin masih ada sejumlah keterbatasan. Dan keterbatasan, tak selalu buruk. Ia bisa jadi sarana kita berpikir kreatif dan mengapresiasi hal-hal kecil dalam hidup.

Saya beberapa tahun terakhir memilih menggunakan transportasi umum untuk beraktivitas. Ruang gerak dan opsi saya tentu jadi terbatas. Saya harus pintar-pintar mengatur waktu berangkat dan pulang, juga lokasi meeting yang tidak terlalu jauh dari stasiun KRL atau MRT. Saya jadi pelajari rute-rute busway hingga Jaklingko. Ternyata, transportasi umum di Jakarta itu gak buruk-buruk banget lho! It’s getting better. A lot! Pas saya kuliah, saya pernah pulang naik Transjakarta dan halte terdekat dari rumah itu di ITC Cempaka Mas. Masih butuh empat kilo atau sekitar lima puluh menit jalan kaki. Sekarang? Ada 2 halte busway dalam radius kurang dari 500 meter dari rumah saya dulu.

Ketika saya lebih banyak naik kendaraan umum, ternyata saya jadi lebih banyak waktu untuk membaca buku dan dengerin podcast. Yang akhirnya menunjang urusan pekerjaan saya. Intinya, keterbatasan membuka ruang bagi kita untuk kreatif dan beradaptasi. Untuk senantiasa belajar hal baru. Untuk memanfaatkan apa yang kita punya, sebaik-baiknya. Untuk sadar bahwa kita gak perlu selalu beli barang baru, supaya hidup kita cukup.

Tercukupilah dalam keterbatasan. Tercukupilah dalam keterbatasan. Tercukupilah dalam keterbatasan. Ini yang jadi mantra saya beberapa tahun terakhir. Yang masih terus saya latih. Gak selalu mudah, pastinya. Masih suka gagal, kadang. Tapi ya namanya juga belajar, masa mau tiba-tiba becus kalau tidak melewati prosesnya? hehehe..

Sekian tulisan kali ini. Sekian Celotehan Tuwagapat di bulan Oktober ini. Usai sudah 1-2 catatan jelang usia 34 ini. hehe.. Terima kasih sudah membaca. Juga untuk semua yang sudah mengucapkan selamat ulang tahun beberapa waktu lalu, terima kasih! You’re all amazing. Sampai jumpa di tulisan berikutnya.

Indonesia, 28 Oktober 2023

Kirim Komentar!