Death, Self-rediscovery, & Quitting Spotify

Things Worth Sharing Edisi Ke-5

Selamat datang kembali di TWS alias Things Worth Sharing! Things I read, heard, or experienced this past week.

Buat yang tertarik baca edisi-edisi sebelumnya, sila ke sini, ya.

#1 Tentang Kematian

Minggu lalu, berita duka datang dari Najwa Shihab. Sang suami tercinta, Ibrahim Sjarief Assegaf, berpulang. Saya pribadi tidak mengenal beliau, ketemu pun tidak pernah. Cuma tahu beliau adalah sosok advokat brilian yang lebih banyak bekerja di balik layar.

Saya baru lebih mengenal sosok almarhum lewat obituari apik Mas Zen RS (Pemimpin Redaksi Narasi) di Instagram. Makin terpukau bacain komentar-komentarnya. Betul-betul sosok manusia baik, brilian, dan memiliki kepedulian tinggi di isu sosial dan hukum.

Sungguh tak terbayang rasanya jadi Mbak Nana. Kehilangan suami tercinta secara mendadak. Bacain postingannya di Instagram saja saya mau menangis. Terlebih, di linimasa ada yang membagikan cuplikan episode Shihab & Shihab dua tahun lalu ini, kala Najwa Shihab & sang ayah, Quraish Shihab, membahas soal kematian orang tersayang. Saya pun menontonnya:

No, it’s not a magic pill to help you overcome grief easily.

But I definitely recommend you to watch it.

Soal perspektif akan kematian menurut Islam. Tentang sesungguhnya kematian itu adalah sebuah kenikmatan. Tentang berduka tanpa terperosok ke jurang terdalam terlalu lama.

Mengingatkan saya akan kalimat di buku Tuesdays With Morrie-nya Mitch Albom, “You don’t know how to live until you learn how to die.”

#2 Self-rediscovery

Rabu lalu, saya bikin acara khusus subscribers. Perhelatan ketiga, sebenarnya. Di awal, namanya S3 Club (Suka Suka Subs Club). Nah ternyata lumayan membingungkan karena saya juga punya rubrik S3 lain (Subs Story Session), akhirnya saya memutuskan ganti namanya jadi Prompt Night. Yes, pun intended from Prom Night.

Intinya sih ini acara gathering santai aja bareng subscribers. Beda sama Sekilas Kelas yang tiap bulan saya bikin tapi formatnya lebih kelas agak serius. Di sini, saya mengajak teman-teman untuk berbagi cerita. Bercerita tentang apa? Nah itu yang ditentukan oleh prompt-nya.

Prompt kemarin sederhana, “Which book/movie title describes your 2025?”

Ternyata, seru juga. Lumayan banyak yang bercerita bahwa ini adalah tahun rediscovering mereka. Ada yang baru lulus dan sedang memasuki fase baru dalam hidup yang cukup challenging. Ada yang sudah berkarir selama belasan tahun lalu sedang mencari tantangan baru. Ada yang belum lama resign lalu banting setir ke industri kreatif. Ada yang jelang usia 40-an sedang butuh agak slow down dalam hidupnya. Dan cerita-cerita lainnya.

Seru juga! Cerita-ceritanya sungguh personal. Saling relate satu sama lain bahkan sebagian memutuskan untuk bertukar kontak. Senang, melihatnya. Semoga ke depan pertemanan-pertemanan baru bisa bermunculan dari ruang-ruang aman seperti ini. Nantikan Prompt Night berikutnya, ya!

Anyway, dari sharing-sharing soal self-rediscovery itu saya jadi teringat TED Talk-nya Elizabeth Gilbert, pengarang Eat, Pray, & Love. Di sini dia lebih banyak bagikan perjalanan kreatifnya, tentang mencoba hal baru, tentang terus berkarya, tentang menghadapi kesuksesan luar biasa yang mungkin tidak terulang kembali, juga tentang terus berusaha menemukan diri sendiri:

Saya juga jadi teringat sama tulisan dari Katharine Etsy, seorang lansia berusia 90 tahun yang sepanjang hidupnya terus berganti-ganti bidang dan tak pernah lelah mencoba hal baru. Ia baru mengambil PhD di usia 50 tahun. Kembali melanjutkan praktik psikoterapinya di usia 70-an. Produktif menulis buku seusai usia 80 tahun.

As I turned 90 this summer, I saw the world anew. Not exactly through rose-colored glasses, but rather with a fresh awareness that I am very old now. I am changing in surprising ways, especially as I contemplate my future. “You are never too old to be what you want to be” has been my mantra for decades. I have successfully reinvented myself over and over about every ten years throughout my long life and have loved each phase.

Amazing. Super amazing!

#3 Goodbye, Spotify!

Beberapa hari lalu saya memutuskan untuk berhenti jadi pengguna Spotify Premium setelah 9 tahun. Apa alasannya? Simpel banget, sebenarnya: karena mereka mengubah tampilan interface.

Sepele, padahal, mereka ganti format 3 tab di bawah (awalnya cuma Home, Search, & Library), jadi begini:

Curhatan serupa yang diamini banyak pengguna lain di Threads

Masalahnya, tab Library itu adalah tombol yang paling sering saya pencet pas buka Spotify. Semua playlist favorit saya di situ. Playlist buat kerja. Playlist buat rileks. Playlist buat nyetir. Playlist buat karaokean kalau lagi suntuk. Dan masih banyak lagi.

Bukan cuma saya, itu juga tab yang paling sering dipencet sama banyak sekali pengguna. Open Spotify, arahin jempol ke kanan bawah, pilih playlist. Saya tahu itu, jutaan pengguna lain tahu itu, Spotify juga pasti tahu itu. Bohong aja kalau enggak.

The fact bahwa mereka memutuskan secara sadar untuk nambahin tab di kanan bawah dan mengubah experience penggunanya (nobody uses that create tab anyway) jadi lebih buruk, membuat saya sadar: they don’t give a shit its users.

If they do give a shit, they won’t do it. It’s not a customer-centric changes, it’s a business decision.

Jadi, ya sudah, ngapain saya buang duit ke platform yang bahkan gak peduli sama saya. I don’t have sunk cost fallacy. If you’re bad, you’re out.

Memang hidup jadi agak ribet, saya harus bikin ulang lagi playlist saya di Youtube Music. But that’s the cost I’m willing to pay.

So…goodbye, Spotify! Thank you for the years that we’re together. Dari cuma buat dengerin lagu, jadi platform saya dengerin podcast, sampai saya bikin podcast sendiri yang pernah nangkring di Top 50 Podcast. The good days were gone. You won’t be missed. Sayonara.

Pelajaran buat semua UI/UX Designer: don’t repair what’s not broken.

Another lesson: don’t want to lose your customer? respect them, just like this case.

Source: The Guardian

#4 Reformasi, 27 Tahun Kemudian

Minggu lalu reformasi memasuki usia ke-27. Di Mei 1998, Soeharto lengser. Apa kabar reformasi? Kabar buruk, tentunya.

Saya lumayan sepakat sama artikel di Jakarta Post ini. Satu per satu mandat reformasi sudah dilucuti, kok.

“At this point, we have to admit that political reform in Indonesia is over. This is the close of an era and the rise of a new one, defined by authoritarianism dressed in democratic clothing,”

Kemarin, ramai kabar soal penulis opini di sebuah media massa yang diintimidasi dan memutuskan untuk menghapus opininya. Nulis apa memang? Soal pejabat militer diangkat jadi pejabat Kemenkeu.

Sekali lagi: soal pejabat militer aktif diangkat jadi pejabat Kemenkeu.

You read that right.

Bagi saya, tiga mandat reformasi terpenting adalah: soal korupsi & akuntabilitas, pencabutan dwifungsi militer, & penegakan demokrasi.

Maka ini adalah hattrick. Seorang penulis menyatakan pendapatnya soal dwifungsi militer yang melawan prinsip meritokrasi & akuntabilitas, mendapatkan intimidasi atas pendapatnya.

Akuntabilitas. Cabut dwifungsi. Demokrasi.

What a perfect trifecta!

Sekali mendayung tiga mandat termutilasi. Good job!

Padahal, harusnya minggu lalu kita punya salah satu kabar baik. Di Hari Kebangkitan Nasional, saya diundang ke peluncuran Bijak Memantau. Sebuah usaha untuk menguatkan fungsi publik & kelas menengah dalam mengawasi kekuasaan agar tidak ugal-ugalan.

Inisiatif yang baik, tentu. Saya akan dukung semampu saya. Tapi, melihat semua kebangsatan yang sedang terjadi terang-terangan di negeri ini, rasanya saya lebih ingin menghela napas panjang-panjang.


That’s it. Those are things worth sharing this week from me.

Here are some other interesting reads:

  1. The Mother Who Never Stopped Believing Her Son Was Still There (The Atlantic, Gift Article)
  2. Harvard Derangement Syndrome (NYT, Gift Article)
  3. The Era of the Business Idiot (Wheresyoured)
  4. In Defense of Despair (The New Yorker)
  5. How Two CEOs Mixed Romance and Business, Leading to Scandal (WSJ, Gift Article)
  6. Japanese Tourists Are Cancelling Trips Because of Manga (CNN)
  7. What if Your Soul Mate is a Tineco? (Youtube)

Sekian TWS kali ini. Sampai jumpa di TWS minggu depan!

If you enjoy this post, please consider becoming my subscriber. The monthly price is cheaper than a cup of coffee (yes, really!)With your support, I could bring more valuable (and amazing) contents to more people.

Let’s fight this brain rot togetherThank you very much.

Minggu, 25 Mei 2025

Kirim Komentar!