Things Worth Sharing (or not), but I’ll share anyway.
Minggu ini adalah minggu yang amat melelahkan bagi saya. Baik fisik pun mental. Nyaris terkuras habis. Hari Selasa pagi, saya mendapat kabar bahwa professor yang amat saya hormati, berpulang.
Beliau memang 1,5 bulan terakhir ini dirawat di dua RS berbeda. Saat saya menjenguk di bulan April, beliau masih sadar meski tidak bisa berkomunikasi secara verbal. Saat minggu lalu saya jenguk kembali, beliau sudah tidak sadar meski kondisinya masih cukup stabil.
Puluhan hari dirawat di ICU di dua rumah sakit berbeda tentu bukan pengalaman yang menyenangkan. Tak peduli seberapa banyak doa, dukungan, & kunjungan kita, hanya pasien dan keluarganyalah yang paling tahu betapa menguras tenaga dan mental menjalaninya.
Di satu sisi ada rasa lega, mendengar beliau tak harus lagi merasakan sakit. Di satu sisi, kesedihan dan kehilangan menyeruak bercampur rasa bersalah yang teramat mendalam. Saya masih punya hutang menulis ke beliau. Menulis sebuah buku tentang Psikologi Sosial yang tertunda bertahun-tahun.
“Santai saja lah, toh gak ada deadline.”
“Ya udah sih, kan masih nunggu tulisan dari yang lain juga…”
“Minggu depan follow up lagi deh, lagian kan saya udah kerjain semua bagian saya.”
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Kemudian tahun. Pada akhirnya buku ini tak pernah menemukan bentuk akhirnya.
Suddenly, the deadline came in a form of death. And I can’t help but to blame myself.
I wish I pushed myself more to finish this book ASAP. I wish I pushed others to submit their part immediately instead of just waiting. I wish I did things differently. And so on and so on, thinking that there will always be tomorrow.
Until suddenly, tomorrow never comes. It simply stopped coming.
So, yeah, that’s the first part of my week.
Saat saya datang ke rumah duka untuk memberi penghormatan terakhir ke profesor saya, saya tidak berani menatap peti jenazah beliau lama-lama. Takut tangis saya pecah. Saya cuma datang, berdoa, mengucap belasungkawa ke keluarga beliau. Lalu pamit.
Saya bahkan tidak sempat memproses duka tersebut. Malamnya, saya harus mengejar pesawat ke luar negeri. Pengalaman membawa anak berusia 1 tahun naik pesawat untuk pertama kalinya juga bukan hal mudah. Bawaannya ekstra. Tantangannya ekstra. Lelahnya pun ekstra.
So I left & moved on before I even processed my grief completely.
Mungkin lewat menuliskan ini saya baru benar-benar memproses duka saya. Mengenang kembali momen-momen kebersamaan dengan beliau. Saat S1 dulu saya membuat film dokumenter tentang disabilitas dan mewawancara beliau sebagai narasumbernya (beliau adalah Kepala Pusat Kajian Disabilitas Universitas Indonesia). Interaksi intens di ruang kuliah saat S2, juga interaksi-interaksi setelahnya saat beliau menjadi Kaprodi Pascasarjana dan kami membuat beberapa acara bakti sosial.
Saat bekerjasama dalam sebuah proyek riset internasional tentang anak kelompok marjinal. Saat saya mampir ke rumahnya untuk diskusi soal penulisan buku. Saat saya diminta membantu memperbaiki komputer dan gawai beliau. Juga saat di bulan puasa lalu beliau mengajak diskusi soal buku sambil berburu soto enak di pasar dekat rumahnya. Tanpa saya tahu itu adalah pertemuan terakhir saya dengan beliau dalam kondisi sehat.
Selalu ada hal baru yang beliau ceritakan di sela-sela diskusi serius. Tentang mobil Mercy tua yang dibelinya dari uang pensiunan puluhan tahun jadi dosen. Tentang vila di Sukabumi yang beliau bangun begitu asri dan berulang kali mengundang saya berkunjung. Soal pengalaman beliau kuliah di Amerika Serikat lewat beasiswa Fulbright. Tentang pengalaman saat beliau muda, mendapatkan penghargaan fotografi dari presiden di istana negara. Tentang kefrustrasian beliau kala diskusi dengan pejabat serta menteri soal sejumlah kebijakan publik. Tentang politik. Tentang kuliner. Tentang keluarga & hobi.
Begitu banyak hal menarik, inspiratif, & positif yang tak hentinya beliau bagikan. Satu hal yang tak pernah beliau ceritakan: kesukaran hidupnya. Padahal, beliau punya segudang kesukaran. Terkait tantangan menjadi dosen dan peneliti di Indonesia. Terkait dunia yang tidak ramah kepada difabel. Atau saat beliau menjadi korban malpraktik sebuah rumah sakit yang membuatnya lumpuh.
Nope, he chose to focus on the most important matters: on how to build a better world for all. Through education, research, & high-impact work on marginalized communities.
Rest in peace, my dearest professor. Till we meet again!
Itu saja Things Worth Sharing kali ini. Maaf kalau kebanyakan curhatnya! Di antara memproses duka dan menjalani liburan bersama bayi, mungkin tak terlalu banyak yang bisa saya tulis kali ini.
Here are some other interesting reads:
- Taylor Swift Got All Her Albums Back – The New York Times (Gift Article)
- When The Status Quo Doesn’t Cut It – The Atlantic (Gift Article)
- AI Energy Footprint – MIT Technology Review
- The Prince, His Money Manager and the Corruption Scandal Rocking Monaco – The Wall Street Journal (Gift Article)
- Why the Boats Got Bigger as the Rich Got Richer – Bloomberg (Gift Article)
- The Silver Generation is Rising – The Jakarta Post
- This is Your Priest On Drugs – The New Yorker
That’s all for today!
If you enjoy this post, please consider becoming my subscriber. The monthly price is cheaper than a cup of coffee (yes, really). With your support, I could definitely create & curate more amazing contents in the future.
Minggu, 1 Juni 2025





Kirim Komentar!