Free Time, Self-respect, & Luck

Welcome back to Things Worth Sharing (TWS)

Ini adalah episode ke-8 TWS. Kolom di mana saya membagikan hal yang saya lihat, dengar, & rasakan sepanjang minggu.

Photo by Aron Visuals on Unsplash

#1 FREE TIME

Saya bingung entah dari mana sebagian orang mendapatkan kesan bahwa saya ini…punya banyak sekali waktu luang. Vibes saya pengangguran banget kali ya? hahaha..

Belum lama, seorang rekan ngajak saya meeting offline H-1 untuk sebuah hal yang gak penting-penting amat. Tentu saja saya tolak.

Seorang kawan lama meminta bantuan saya ngerjain sesuatu secara dadakan dan nganggap saya selalu available setiap saat. Juga saya tolak.

Seorang follower yang saya gak kenal-kenal banget (saya beberapa kali balas DM-nya) minta saya ngasih feedback untuk tulisannya. Berapa panjang? Tujuh puluh tujuh halaman.

Salah satu peserta kelas yang pernah saya buat, “meneror” minta dibuatin sertifikat untuk kebutuhan pribadi dia. Dia “teror” saya via WA & email, langsung oleh dia sendiri juga oleh stafnya, berkali-kali, meski saya sudah bilang akan saya kirimkan di akhir pekan. SABTU PAGI CUY! SAYA DITEROR BUAT URUSAN YANG SEBENARNYA BUKAN TANGGUNG JAWAB SAYA. BANGSAT…

Entahlah bagian mana dari hidup saya yang ngasih vibes pengangguran. Bahwa saya ini selalu available kapan pun. 24/7 kayak ChatGPT.

Saya agak kurang paham sama cara berpikir orang-orang. Kok ya bisa-bisanya mudah banget bikin repot orang lain, sih? Saya itu kalau mau minta tolong sama orang, mikirnya 17 kali! Gak enak, takut repotin, sama kalau bisa dikerjain sendiri ya ngapain repotin orang lain.

Mungkin saya aja yang aneh, kali ya. Entahlah…

#2 SELF-RESPECT

It brings me to the second reflection of the week: apa mungkin karena sayanya itu gak enakan, jadinya gampang banget dimanfaatin?

Kadang, saya memang suka begitu, sih. Dan memang saya senang-senang saja kalau bisa membantu orang lain. Akhirnya, kadang batasan antara profesionalisme & pertemanan jadinya blur dan sulit dibedakan.

Belum lama ini, saya sampai memutus kerja sama dengan salah satu pihak. Nego harganya sadis. Ekspektasinya kegedean cenderung gak realistis. Ngejar-ngejarnya udah kayak ngasih saya gaji Komut Pertamina. Juga mendikte sekali kerjaan sampai saya tidak punya kendali kreativitas sama sekali.

Di satu titik saya merasa kerja sama ini tidak lagi dilandasi mutual respect. Lebih ke subordinasi tak setara yang tak lagi seimbang. Maka saya putuskan untuk sudahi kerja sama. I walk away to the nearest exit.

Saat saya cerita ke salah satu teman, ternyata dia juga pernah punya pengalaman gak enak dengan orang yang sama ini. The disrespect is not a one time thing. It’s a pattern. It’s an organizational culture.

I’m glad I walked away.

Poin terpenting dari pengalaman ini lebih ke self-respectnya, sih. To set boundaries. To prioritize what’s important for us. Hal-hal yang kadang saya masih perlu belajar lebih banyak.

#3 PHD

Minggu ini saya dapat informasi bahwa salah satu kampus sedang membuka beasiswa doktoral. Semakin saya baca informasinya, semakin banyak hal yang bikin saya pede bisa dapet beasiswa ini. Nyaris semua persyaratannya saya lolos. Koneksi ke pengambil keputusan di kampusnya ada. Topiknya pun bidang yang lumayan jadi expertise & concern saya selama ini.

Pikiran saya berkecamuk: Ambil gak ya? Seru juga kali ya kejar PhD? Mayan banget nih buat nambah kredibilitas? Bisa buka banyak kesempatan baru nih kayaknya? Kayaknya belajar lagi gak ada salahnya, deh?

Selama nyaris seharian saya mikirin berbagai kemungkinan. Apalagi, saya juga memang lagi mulai riset tipis-tipis tentang studi lanjut (meski niatnya S2 sih, bukan S3).

Akhirnya saya kembali ke realitas, bahwa ini bukanlah prioritas saya saat ini. Bahwa ini lebih ke keinginan memuaskan ego belaka, bukan sebuah kebutuhan. Want, not needs.

The moment I reclaimed the clarity of my own mind, I have no doubt but to let go of this opportunity. I believe there will be people who needs this more than myself, and who am I to steal their chance?

Lagian, rezeki gak ke mana kok. Bisa aja gak ambil beasiswa PhD sekarang, besok-besok dapet rezeki jadi Wapres. ahahahaha..

#4 LUCK

Belum lama, salah satu thread bikin saya tertohok.

Gak cuma post-nya, replies-nya pun sangat insightful, menceritakan sejumlah pengalaman serupa: bahwa hidup bisa saja berubah drastis hanya karena a series of unfortunate events in our life. A string of bad lucks.

Kadang, kita melupakan faktor keberuntungan itu dalam hidup. Merasa bahwa kita bisa mencapai posisi saat ini berkat kerja keras dan kehebatan kita semata. Luput, bahwa keberuntungan & ketidakberuntungan juga memiliki perannya.

Moral of the story: don’t think too much of yourself, don’t think too less of others. Maybe, just maybe, the only difference is, just a series of bad luck.


That’s it. Those are things worth sharing this week from me.

Weekend Read Recommendations:

  1. “Ketika Hutan Ditebang, Jantung Saya Berhenti” – Project Multatuli
  2. What Xi Jinping Learnt from his Father – China Books Review
  3. Mo Salah, Online Chess, & Serendipity – Bloomberg (Gift Article)
  4. Chinese AI Companies, A Briefcase, & the South East Asian AI Boom – The Wall Street Journal (Gift Article)
  5. Iran Vs Israel Live Update – The New York Times (Gift Article)
  6. Midlife with No Kids, Ageing Parents – and No Crisis – The Guardian
  7. Baby Boomers’ Luck is Running Out – The Atlantic (Gift Article)

That’s all for today! Hope this post could help you enjoy your weekend more.

Minggu, 15 Juni 2025

Kirim Komentar!