Kolaborasi, Kooperasi, & Kontolisasi Kebijakan

Welcome back to Things Worth Sharing (TWS)!

Ini adalah episode ke-14 TWS. Kolom di mana saya menuliskan pembelajaran sepanjang minggu lewat hal yang saya lihat, dengar, & rasakan.

KOLABORASI

Semingguan terakhir ini ada beberapa “diskursus” yang viral terkait kolaborasi. Mulai dari istilah “Open Collab” yang dikira netizen minta difotoin gratisan (setelahnya dikonfirmasi sama yang bersangkutan bahwa maksudnya tetep bayar kok, gak minta gratisan).

Ada juga seorang influencer kuliner yang lagi nyari videografer & editor, diminta kerja tiap weekend, sanggup kerja dan edit cepat, tapi bayarannya….makan gratis doang.

Bayangin, weekend berharga lo yang harusnya bisa santai istirahat rebahan atau main sama keluarga, bakal dipake buat ngerekamin influencer lagi makan. Terus kudu ngedit videonya dengan cepat. Dan lo cuma dibayar pake….makan siang gratis. Ini mah masih jauh lebih mending jadi sopir mobil rental di Bali.

Terakhir, seorang fotografer yang butuh “teman ngonten”. Job desc-nya gak banyak, sesuai namanya cuma jadi teman ngonten dan bawa barang. Tapi di Jepang. Selama seminggu. Backpacker-an. Yang paling ajaib? Bukannya dibayar, malah disuruh bayar sendiri 7 juta. Juga bakal diajak jalan kaki keliling Jepangnya biar hemat. Bayangin, lo disuruh jalan kaki dari Gunung Fuji ke Kyoto ke Nara. Ratusan kilo.

Mantap!

…lebih-lebih dari Romusha ya anjg.

Saya jadi bingung ini orang-orang sebenarnya pada tau arti kolaborasi apa enggak sih?

Kok maknanya seakan jadi bergeser gini, “Hei, saya miskin & pelit, tapi saya butuh bantuan, bantuin saya ya! Besar upahmu di sorga nanti~”

Kolaborasi itu secara etimologis aja mensyaratkan adanya kesetaraan. Dari kata com & laborare. Aksi kerja bareng menuju tujuan bersama. Lah kalau dari awal yang nentuin tujuan aja salah satu pihak, benefit terbesarnya untuk salah satu pihak, yang nentuin aturan main juga salah satu pihak, TERUS KOLABORASINYA DARI MANA ANJG?!

Tolonglah kawan, minimal sebelum mengobral kata “kolaborasi”, belajarlah dulu apa artinya. Minimal belajarlah dari Prabowo & Jokowi. Itu baru kolaborasi yang benar. Sama-sama punya tujuan bareng. Sama-sama dapet untung bareng. Sama-sama setara: saling bergantung & tergantung.

Ini saya belum ngomongin hasil & dampak kolaborasinya, ya. Tapi minimal konsep kolaborasinya udah benar. Kalau hasil terbaik dari kolaborasi ini sih memang mengecewakan, gak jauh-jauh dari Gibran & Budi Arie.

Ini akan membawa saya ke poin kedua!

KOOPERASI

Minggu lalu, Presiden & Menteri Kooperasi meluncurkan program Kooperasi Merah Putih. Lagi-lagi, ini konsepnya agak-agak tolol dan membingungkan. Pertama, konsepnya aja udah top down, gak sesuai dengan kooperasi yang bottom up. Wong dari katanya aja udah CO + OPERATION. Kesetaraan & kerja bareng antar anggotanya. Lah ini setara dari mana kalau dibentuknya, didanainya, bahkan dibikin targetnya dari atas? Dari pejabat-pejabat yang gak tahu permasalahan anggotanya apa?

Kedua, menterinya sendiri bilang pembentukan Koperasi merah Putih ini pakai insting. Bayangkan, program yang bakal menghabiskan dana ratusan triliun ini disusunnya pakai insting. Lah mending kalau instingnya kuat, pas jadi Menkominfo aja beresin judol kagak beres, bahkan orang-orang dekatnya udah kena kasus korupsi. Mamam tuh insting.

Ketiga, pas baca peta jalan-nya, lebih absurd lagi. Tahun 2025: bikin badan hukum. Tahun 2026: konsolidasi. Tahun 2027: hilirisasi produk. Tahun 2028: ekspor produk.

Lebih ajaib target tahun 2029 menurut Menterinya langsung, “Dan di tahun 2029, kita menargetkan hadirnya pilar-pilar kemenangan ekonomi desa, dengan koperasi sebagai fondasi utama pertumbuhan ekonomi nasional. Inilah perjalanan lima tahun menuju desa-desa yang berdaya, mandiri, dan sejahtera melalui kekuatan koperasi.” 

HAH?! Sorry, I mean: HAHHAHAHAHHAHAHAHAHAHAHHAHAHA.

Gila. Masih lebih masuk akal & rasional lo berharapn kaya dari babi ngepet, dah.

Ini levelnya kayak meme berikut:

…dan meme ini pun masih jauh lebih masuk akal.

Percayalah kata-kata saya, Koperasi Merah Putih ini ujungnya bakal gagal total.

Pertama, dari konsepsi aja udah gak sesuai dengan makna koperasi. Kedua, peta jalannya absurd. Ketiga, ada alasan kenapa kooperasi selama ini sulit bertumbuh pesat di Indonesia. Keempat, ketidakjelasan antara lingkup, peran, & tujuan kooperasi, UMKM, & korporasi. Kelima: kesiapan talenta. Keenam: aturan main yang gak jelas bakal memunculkan banyak kasus & penyelewengan. Ketujuh: menterinya aja ya gitu deh.

Simpel aja deh, ini pandangan Hatta soal kooperasi di artikel Historia:

“Koperasi merupakan bentuk usaha yang berdasarkan atas azas kekeluargaan, karena koperasi yang menyatakan kerjasama antara para anggotanya sebagai suatu keluarga dan menimbulkan tanggung jawab bersama sehingga pada koperasi tidak ada majikan dan tidak ada buruh,” kata Bung Hatta seperti dikutip Y. Harsoyo, dkk dalam Ideologi Koperasi: Menatap Masa Depan.

Ya ini yang saya maksud dari konsepsi aja udah salah.

Gak lho ya, saya gak bilang koperasi gak mungkin berhasil di Indonesia. Ada kok, contoh sukses-nya. Tapi bisa dilihat juga keberhasilannya ditopang beberapa aspek: penggerak ekonomi lokal (bukan ekspor targetnya); semangat kekeluargaan & kesetaraan anggotanya; juga paling lumrah itu model bisnisnya KSP alias Koperasi Simpan Pinjam. Yang belakangan lagi tergerus pinjol juga dan rawan dimanfaatkan sama oknum (ingat kasus Indosurya? Yep, itu konsepnya KSP).

Nah, gimana tuh coba Pak Budi Arie, cara kita ekspor model bisnis koperasi simpan pinjam? Ekspor ke mana kira-kira? China? Amrik? Eropa? Dilepeh yang ada.

Sudahlah, kita doakan yang terbaik saja (supaya menterinya segera mendapat ganjaran).

KONTOLISASI KEBIJAKAN

Entahlah, saya merasa makin ke sini yang lagi terjadi bukan lagi HILIRISASI (dikit-dikit hilirisasi, dari tambang sampai kemenyan), atau AI-ISASI (dikit-dikit AI, padahal pejabatnya paham juga kagak), melainkan KONTOLISASI kebijakan.

Photo by charlesdeluvio on Unsplash

Kebijakan-kebijakan yang diambil tanpa lewat proses yang jelas, dasar yang jelas, logika yang jelas, atau tujuan yang jelas. Alias nge-crot sesuka hati saja, persis kontol remaja.

Mulai dari koperasi yang barusan saya bahas. Rangkap jabatan yang udah dilarang MK tapi bakal tetap dilakukan juga sama pemerintah. Soal sejarah & kebudayaan. Soal penegakkan hukum. Pemberantasan kemiskinan. Ketidakjelasan keberlanjutan IKN. Dan masih banyak lagi.

Yang paling kontolisasi akhir-akhir ini menurut saya, adalah pembebasan seorang selebgram dari penjara Myanmar. Negara dan segala sumber dayanya berupaya keras membebaskan seorang anak muda brengsek (dia bukan korban, dia melakukan ketololan itu sampai dipenjara atas inisiatif pribadi). Hanya karena dia adalah anak orang kaya. Yang lebih bangsat lagi? Sampai hari ini tidak diungkap siapa orang tua si bocah ngehe ini. Gak pernah muncul ke publik.

Bayangkan betapa crazy rich tak perlu bermain dengan aturan yang sama dengan rakyat jelata. Bebas ngebangsat sebangsat-bangsatnya, ketika terjerat hukum di negara lain bakal dibelain setengah mati sama pejabatnya, dan bisa melakukan semua itu via incognito mode. Tanpa terdeteksi. Tanpa harus keluarin identitas.

Dan semua ini dilakukan saat entah berapa banyak kasus TPPO, TKI disiksa majikan, dan WNI terjerat hukum lain yang tak terurus negara.

Pesannya jelas. Keberpihakannya jelas: “KAYALAH, ATAU MAMPUSLAH”.


That’s it. Those are things worth sharing this week from me.

Weekend Read Recommendations:

[1] The Last Supper Project – People Magazine
What if you could host your own last supper? And decide when you want to die?

[2] Koperasi “Top Down” & Matinya Demokrasi Ekonomi – Harian Kompas
Yes, exactly.

[3] Four-Day Work Week, Actualy Works – Gizmodo
Latest research showed that four day work means: better job satisfaction, less burnout, & better productivity.

[4] I See More Stars Online than In The Sky – Etimology Substack
Seru banget tulisannya, dari soal bintang, polusi udara, sampai…influencers.

[5] What Creates Serial Killers? Pollution – The Atlantic (Gift Article)
Hah? Gimana-gimana? Polusi menciptakan pembunuh berantai? Yes.

[6] Sandra Oh on Aging – NYT (Gift Article)
Yes, that Sandra Oh from Grey’s Anatomy. On aging & creative work.

[7] Can A Country Be Too Rich? Ask Norway – Bloomberg (Gift Article)
On endless oil revenue, sovereign wealth fund, & its downsides.

[8] Goodbye Gentle Parenting – WSJ (Gift Article)
Gak semua orang bisa jadi Nikita Willy. Gak semua orang perlu jadi Nikwil.

[9] The Trouble with Wanting Men – NYT (Gift Article)
When did the men become so unwanted, unworthy, & unneeded?

[10] Travel Tales: Strange Stories You Didn’t Plan For – Jakarta Post
Artikel The Weekender dari Jakpost. On adventure, a chaos, or ghost story.


Gitu dulu TWS kali ini. Kalau kurasi artikelnya kebanyakan, dicicil aja. Soalnya ada kemungkinan minggu depan TWS libur dulu. Saya bakal ada urusan keluarga di luar kota, jadi belum tentu sempet nulis TWS.

Semoga TWS kali ini bisa bikin akhir pekanmu lebih berwarna & seru!

Minggu, 27 Juli 2025

Kirim Komentar!