Welcome back to Things Worth Sharing (TWS)!
Ini adalah episode ke-17 TWS! Kolom di mana saya menuliskan pembelajaran sepanjang minggu lewat hal yang saya lihat, dengar, dan rasakan.
Let’s go!
NEGATIVITY BIAS

Belakangan ini, nyaris setiap hari kita disuguhi pernyataan demi pernyataan tolol dari pejabat. Mulai dari tunjangan ini-itu anggota DPR, harga kos 78 juta, sampai gerbong kereta khusus perokok. Setiap hari ada saja gebrakannya. Sayangnya, gebrakannya tolol semua. Tapi saya gak mau terlalu banyak ambil pusing.
Anggap saja mereka lagi lomba tujuhbelasan internal: who gets the most hate.
Selain itu, saya juga paham bahwa dunia memang memiliki kecenderungan untuk lebih peduli terhadap hal-hal buruk. Hal-hal negatif. Bad news is good news, kan. Mau sekuat apa kita berusaha melawan idiom ini, ya itu kenyataannya. Jurnalis dan medianya tahu, ketika mereka memberitakan yang negatif akan dapat engagement lebih tinggi.
Pejabatnya juga tahu, semakin aneh pernyataan mereka, semakin ramai nama mereka dibicarakan di publik, semakin lekat nama mereka di publik. There’s no such thing as bad publicity, kata P.T. Barnum, mastermind di balik kisah The Greatest Showman.
Kalau ada dua berita judulnya begini:
1: “Anggota DPR Bilang Koruptor Harus Dihukum Berat”
2: “Anggota DPR Bilang Koruptor Harus Dimaafkan Karena Banyak Jasanya”
You’ll know which one would end up on your timeline over and over again.
Intinya: pejabatnya, medianya, bahkan platform media sosialnya pun punya agenda untuk menyiarkan hal-hal negatif. Untuk mengeksploitasi kemarahan publik.
Pejabatnya mau namanya dikenal (sembari mengalihkan isu substantif jadi receh). Medianya berkepentingan menjaga traffic. Instagram dan media sosial lain berkepentingan membuat penggunanya berlama-lama di platform mereka.
The world operates on negativity bias. Ini yang jadi argumen utama di buku Factfulness-nya Professor Hans Rosling. Di balik berita-berita negatif yang memenuhi media dan membentuk persepsi publik, ada banyak progres baik yang sebenarnya sudah terjadi, namun tak terliput lantas luput dari perhatian publik.
Focus more on the good ones. Share the good ones. Be the good ones!
DO IT BADLY
Belum lama saya nonton video Youtube ini:
Ditonton aja, ringan kok cuma 7 menit. Intinya: do things badly.
More often than not, we procrastinate not because we’re lazy, but because we’re afraid if the work we’re about to do end up not…perfect. And it stops us from starting.
Just do it badly. Don’t aim for perfect. Just…start.
Saya lantas mulai mencobanya belakangan ini. Alih-alih menunda pekerjaan karena takut hasilnya gak sempurna, ya dikerjain dulu saja. Kadang, yang paling sudah itu memulai. Ketika sudah mulai, lama-lama kita jadi semangat sendiri dan ngerjainnya jadi sepenuh hati. Dan ketika sesuatu dikerjakan dengan sepenuh hati, hasilnya dijamin tidak akan jelek-jelek amat. Kalau pun belum sempurna, we could always improve. The thing about procrastination is: there is nothing to improve when we haven’t even start doing it.
Well, hasilnya gak buruk-buruk amat:


Kiri: progres naskah buku saya dua minggu lalu.
Kanan: progres naskah buku saya per hari ini.
Not bad! Doubled. Just because I chose to do it badly, every single day.
Do things badly. Mulai baca buku 10 menit dulu aja. Joging 1 KM dulu aja. Nulis satu halaman dulu aja. Mulai aja dulu. 10 menitmu bisa jadi 30 menit bahkan 1 jam. 1 KM bisa jadi 2 KM bahkan 5 KM. 1 halaman bisa jadi 5 bahkan 10. Just…start!
A CLAPLESS PERSON
Ada masanya saya ini orang yang sulit sekali ikut bersyukur ke kesuksesan orang lain. Pokoknya selalu bisa mencari sisi negatif dari pencapaian orang lain. Anak muda masuk Forbes 30 Under 30, reaksi saya, “Ah itu kan bisa bayar!”. Melihat orang jadi pengusaha sukses, “Ya dia mah enak bapaknya crazy rich”. Pas dengar berita teman dapat beasiswa ke luar negeri, “Hoki banget…”
I became a clapless person. I don’t clap for others.
Akhirnya saya sadar bahwa itu sebenarnya tak lebih dari insecurity saya saja. Perwujudan nyata dari “Iri tanda tak mampu”. Saya yang kurang, kok malah kesal sama orang lain yang lebih dari saya. Goblok memang saya. hehehe..
Saya pun belajar untuk lebih tulus dan positif ketika melihat orang-orang terdekat saya mengalami pencapaian tertentu. Saya ucapkan selamat. Saya dukung. Saya bantu sesuai dengan kapasitas saya. Ada teman butuh info beasiswa? Saya kasih. Ada teman butuh kontak tertentu untuk kerjaannya? Saya hubungkan mereka. Ada teman butuh materi/pelajaran tertentu? Saya berikan.
Now I’m happy to see others became the best version of themselves.
This quote from Threads I saw yesterday, remind me of this exact lesson:

Yes!!! Exactly…
Clap for others, genuinely, for a clapless person deserve no clap.
Weekend Read Recommendations:
Chatbots Delusional Spiral – NYT (Gift Article)
Usai 21 hari ngobrol sama ChatGPT, ia percaya dirinya superhero.
AI is a Mass-Delusion Event – The Atlantic (Gift Article)
A perfect company with the previous article.
IRL Brain Rot & The Lure of Labubu – The New Yorker
Esai seru soal Labubu, Labudaya, & Labusuk…
Why Japan Stuck in Fax Machine & Ink Stamps? – CNN
Once a tech powerhouse, now they’re technological laggards.
Women Never Recover From Having Kids – Bloomberg (Gift Article)
A deep dive on Women’s earning, per Wharton economist.
The Guardian Won “UU ITE” Case – The Guardian
The Guardian memenangi kasus pencemarkan nama baik aktor bangsat.
The Most Expensive Home for Sale – WSJ (Gift Article)
Bukan, bukan rumah kost anggota DPR. Mansion senilai 300 juta dolar alias nyaris 5 Triliun yang lagi dijual di Amrik. Siapa tau kamu lagi nyari rumah…
Gitu dulu TWS kali ini.
Semoga bisa membuat akhir pekanmu lebih berwarna dan seru!
Minggu, 24 Agustus 2025
Kirim Komentar!