Killing Hatred, Notable Yet Not Able, Artificial Governments

Selamat datang di episode ke-20 TWS! Kolom di mana saya menuliskan pembelajaran sepanjang minggu lewat hal yang saya lihat, dengar, dan rasakan. Yuk kita kemon~

KILLING HATRED

10 September kemarin Charlie Kirk tewas ditembak dari kejauhan. Hingga hari ini, diskursus tentangnya belum habis-habis. Mulai dari potensi civil war di AS (awalnya, sebelum pelaku tertangkap), polarisasi ideologi, teori konspirasi di baliknya, hingga satu pertanyaan yang tak kalah penting: perlukah kita berduka terhadap orang yang semasa hidupnya gemar menyebarkan kebencian?

Photo by Jon Tyson on Unsplash

Pertama-tama, jujur agak sulit menjelaskan sosok dan pengaruh Charlie ke mereka yang tidak mengikuti politik AS. Charlie bukan sekadar influencer. Sejak belasan tahun lalu, ia mendirikan Turning Point USA, organisasi politik yang fokus mengedukasi, merangkul, dan mengorganisir anak-anak muda konservatif di Amerika. Mereka sangat militan dan berpengaruh ke kemenangan Trump kemarin. Maka tak heran Trump sangat “terpukul” akan kematian Charlie. Ia mengumumkan masa berkabung nasional dan mengajak masyarakat menaikkan bendera setengah tiang.

Indonesia gak memiliki ekuivalen Charlie Kirk (untungnya). Mungkin Ferry Irwandi agak mendekati dari sisi ketokohan, meski secara ideologi beda total. Kesamaan mereka berhenti di: kesukaan debat, argumen yang tajam, dan pengikut yang besar dan fanatik. Deddy Corbuzier atau Raffi Ahmad? Mereka bahkan tidak punya ideologi apa-apa. Budi Arie dengan Projonya? Selain gak punya ideologi, gak intelek pula. Beda…

At the end of the day, I fucking hate all the things Charlie said and spewed all these years. All the hatred he infused to the world and younger generation. But still, I do have a bit of empathy (sesuatu yang Charlie bilang overrated dan gak dibutuhkan dunia).

Buat saya, pembunuhannya tetap tidak bisa dibenarkan. All killing is wrong. Membunuh kebencian perlu, tapi tidak dengan membunuh nyawa orang lain.

In essence:
(1) I hate Charlie’s thoughts and action; &
(2) I hate Charlie’s killings.

These two could co-exist.

For me, Charlie is simply the very embodiment of everything’s that Neil Postman warned us from the book: Amusing Ourselves to Death. First, he gained fame through entertainment (debating young people online). Second, he made politics trivial and lost its substance. Third, he’s exactly the kind of people society looked up to, post-TV era: notable but not able.

NOTABLE BUT NOT ABLE

Ya, masyarakat kini terjebak pada keadaan di mana sosok yang dianggap notable (penting, terkenal) ternyata not able to do their work properly.

Notable, but not able.

Kenapa ini bisa terjadi sudah dijelaskan oleh Neil Postman di bukunya Amusing Ourselves to Death.

Kehadiran televisi mengubah banyak hal. Salah satunya: menjadikan hiburan sebagai tonggak utama berbagai sendi-sendi kehidupan. Konten-konten dan sosok-sosok yang bisa berjaya di televisilah, yang akan diberikan panggung terbesar di masyarakat.

Apakah seorang peneliti hebat dengan berbagai penghargaan bisa berjaya di televisi tanpa menguasai public speaking dan memiliki persona menarik? Sulit. Mereka akan sangat mudah kalah saing oleh anak muda yang tiap hari Reels & Tiktok monolognya viral.

Apakah seorang dosen senior yang telah mengajar puluhan tahun bisa mendapat panggung jika cara bicaranya santun, tertata, dan penjelasannya logis? Belum tentu. Mereka akan begitu mudah tergeser oleh pendebat berotak kosong tapi berapi-api yang sering masuk ke podcast dan acara-acara debat di TV One atau iNews.

Yes, persis yang dibicarakan Tom Nichols di bukunya: The Death of Expertise.

Kita, sebagai masyarakat, menganggap ketenaran sama dengan kepakaran. Padahal, dunia televisi (lalu kini makin parah di era internet dan media sosial), memberikan ruang yang jomplang kepada siapa yang bisa mencapai ketenaran. Yakni mereka-mereka yang luar biasa bising, sangat percaya diri, dan merasa memiliki kebenaran absolut.

Semua traits di atas, sayangnya, jarang dimiliki manusia intelek yang seringkali terlatih untuk mengembangkan intellectual humility. Alias ilmu padi: semakin berisi semakin merunduk.

Sehingga jangan heran jika di banyak negara, mereka-mereka yang menduduki posisi penting seringkali NOTABLE figure, yet NOT ABLE. Bahkan The New York Times beberapa bulan lalu persis membahas ini: Trump’s Cabinet of Incompetents.

ARTIFICIAL GOVERNMENT

Perkembangan terbaru di Nepal sangat menarik. Mereka menentukan pemimpin sementara (seusai rezimnya tumbang dan banyak pemimpin tertinggi mundur), melalui bantuan teknologi: diskusi via Discord dan rekomendasi dari ChatGPT.

Maka terpilihlah Sushila Karki, mantan ketua Mahkamah Agung yang dikenal karena integritasnya. Usianya sudah 73 tahun, dan tugasnya pun hanya sementara: memimpin Nepal hingga pemilihan umum berikutnya.

Albania tak kalah seru. Mereka membentuk world’s first AI minister. Tugasnya: memberantas korupsi. Perdana Menteri Edi Rama memperkenalkan anggota baru di kabinetnya, namanya Diella. Yang artinya matahari. Tugasnya: memastikan proses-proses pengadaan di Albania bebas dari korupsi.

So, maybe, this post of mine is not that absurd, huh? lol.

Mungkin sudah saatnya kita meng-embrace teknologi, untuk memiliki pemerintahan yang lebih bersih, efisien, dan cerdas.

I chose AI over incompetent boomer officials.


Rekomendasi Bacaan:

The Influencer FBI – The Atlantic (Gift Article)
A clear example of notable yet not able. Saat host podcast disuruh pimpin FBI.

Delivering Parcels in Beijing – The Dial
Tulisan yang begitu memikat dan personal dari kurir paket di Beijing.

India Finds Out How Hard It Is to Build a Finance Hub From Scratch – Bloomberg (Gift Article)
Kadang, mimpi besar saja tidak cukup. Membangun ekosistem, tak semudah membangun gedung. Indonesia perlu banyak belajar soal ini di tengah mimpi-mimpi bombastisnya.

Why the Internet is Turning to Shit – Current Affairs
Ever feel like the internet is so shit you can’t bear it anymore? Here comes the diagnostic!

Bertahan Demi Anak KPR – WSJ (Gift Article)
Kisah mereka yang memilih bertahan menikah, demi bunga KPR yang rendah.

The Condo Crash – Maclean’s
Vertical housing crisis gak cuma terjadi di Indonesia, di Kanada bubble serupa sedang pecah. Kok bisa?

Overcoming Your Demons – Morgan Housel
Baru-baru ini baca tulisan lama Morgan Housel, jauh sebelum dia nulis The Psychology of Money. I really think this is one of his best writing.


Sekian TWS kali ini.

Semoga bisa membuat akhir pekanmu lebih berwarna dan seru. Cheers!

Minggu, 14 September 2025

Kirim Komentar!