Selamat datang di episode ke-21 TWS! Kolom di mana saya menuliskan pembelajaran sepanjang minggu lewat hal yang saya lihat, dengar, dan rasakan. Let’s go!
BED REST
Minggu kemarin sejatinya hari “kerja” saya hanya hari Senin. Hari itu saya masih berikan training pagi ke siang hari, lalu sorenya meeting. Sepulang dari situ, kaki saya mulai terasa tidak enak. Dan Selasa paginya, saya bahkan tidak bisa turun dari ranjang. Kaki saya sakit luar biasa. Ankle sprain jahanam!

Ya, persis kucing di atas kira-kira penampakan saya beberapa hari ini.
Selasa hingga Kamis, praktis saya tidak bisa ngapa-ngapain, totally bed rest. Masih ada beberapa meeting online, sih. Sama ngurusin bisnis. But practically I was resting for almost the whole week. Banyak agenda yang harus digeser dan dibatalkan.
Bangun, obatin kaki, kompres, pakai ankle support, olesin salep pereda nyeri, makan, tidur, gitu-gitu aja hari saya. Sisanya ya baca, nonton drachin, share-share Reels tolol, dan Netflix-an.
Nonton Zoom 100 (film Zombie yang sepertiga akhirnya absurd banget), mulai series Ratu Ratu Queens (belum selesai, tapi so far hangat dan menghibur), sama Nobody Wants This (belum selesai juga, agak boring di tengah tapi Kristen Bell sama Adam Brody emang terlalu kiyut untuk dilewatkan).
Baru di hari Jumat kaki saya mulai membaik, dan saya bisa setidaknya nyetirin istri lagi ke kantor. Masih sambil meringis tentunya, dan masih agak pincang, tapi jauh lebih baik daripada di ranjang doang lah, ya.
Apa ya pelajaran dari ankle sprain kali ini? Oh, lebih ingat umur dan tahu diri, sih. Pakailah alas kaki yang mengedepankan kenyamanan. Hati-hati turun dari tangga. Sama tahu batasan, kalau sudah mulai berasa gak enak jangan dipaksain. Biasanya bakal makin parah. Listen to your body, cause the body really keeps the score!
STUPIDOGENIC SOCIETY
Ok, salah satu kelebihan seminggu ini bed rest adalah bisa nemuin bacaan-bacaan menarik dan istilah keren di internet. Salah satunya artikel ini. Dari situ saya belajar kosakata baru: stupidogenic society.
Hah maksudnya gimana?
Penulisnya dengan cerdas menganalogikan apa yang terjadi hari-hari ini dengan tren 50 tahun terakhir yang bikin orang malas bergerak. Lima dekade terakhir, seiring kehidupan yang semakin nyaman, juga teknologi yang kian mendukung, membuat banyak aktivitas-aktivitas fisik ditinggalkan. Orang lebih banyak duduk, kurang gerak, dan makan berlebih.
Hasilnya? Sedentary lifestyle. Generasi obesitas.
Nah, sekarang hal yang sama sedang terjadi di area intelektualitas. Jika dulu teknologi memudahkan kita menghindari aktivitas fisik, sekarang teknologi yang demikian cerdas membuat kita melakukan cognitive offloading di banyak sekali kegiatan sehari-hari. Ngitung sederhana, pakai kalkulator. Navigasi, buka Google Maps. Nulis, pakai ChatGPT. Mikir, outsource ke AI.
Hasilnya? Ya itu tadi: stupidogenic society.
Penulisnya masih cukup optimis dan bilang pada akhirnya gak semua orang akan menjadi makin bodoh, kok. Justifikasinya sederhana. Meski aktivitas fisik dan olahraga bukan lagi hal “wajib”, toh beberapa dekade terakhir ini malah bermunculan komunitas orang-orang yang rajin olahraga, lari, maraton, bahkan ultramaraton.
Bisa jadi, nantinya di komunitas yang stupidogenic ini, akan tetap muncul kesadaran untuk kembali ke akar: kembali berpikir, kembali pakai otak, dan kembali kritis.
Terlalu optimis? Bisa jadi. Manusia berpikir akan jadi minoritas? Kemungkinan besar. Tapi gak masalah, saya memilih untuk jadi minoritas. Jika berpikir itu ilegal, saya akan jadi tahanan pertamanya. Fine by me!
MORONIC INFERNO
Yes! Another perk of having a bed rest week: finding this cool phrase!
Tulisan keren dari Marginalia ini membuat saya berkenalan dengan pemikiran Saul Bellow, peraih Novel literatur dan peraih Pulitzer. Di tahun 1990, beliau bikin ceramah publik berjudul ‘The Distracted Public’, yha mirip-mirip sama bahasan buku Amusing Ourselves to Death sebenarnya. Di situ, Bellow menggunakan istilah yang saya suka banget: moronic inferno.
produced by the “contemporary crisis” of distraction, “the apocalypse of our times,” calling on artists and writers to raise their voices in countering that “massive and worldwide” “hostile condition” of humanity.
Di tengah dunia yang semakin terdistraksi dan kehilangan esensinya inilah, keberadaan penulis, pemikir, dan seniman kian diperlukan. Agar masyarakat tidak semakin jatuh ke dalam neraka kebodohan (moronic inferno).
Tulisan ini semacam jadi oase bagi saya untuk tetap menulis, membaca, dan menikmati seni. Di tengah-tengah persekusi luar biasa hebat dari negara terhadap aktivis-aktivis yang rajin baca, manusia-manusia kritis, dan seniman (Jimmy Kimmel, for instance).

Rekomendasi Bacaan:
Setelah Aksi Protes Redup, Polisi Memburu Orang-Orang Biasa – Project Multatuli
Dalam senyap, mereka diburu, ditahan, disiksa dan dijerat pasal karet oleh kacung rezim yang membaca saja tidak mampu.
Latest TikTok Trend: NYC Teens – NYT (Gift Article)
Jutaan orang nontonin a day in life siswa-siswi di New York. Depok next?
World War Didn’t End in 1945 – Bloomberg (Gift Article)
Delapan puluh tahun berlalu, residu Perang Dunia II masih membentuk realitas kita.
Boarding Group One – Joan Westenberg
On airport, status, and our insatiable thirst to look important.
Keputusan Ngawur Disney (Lagi) – WSJ (Gift Article)
Keputusan ngawur dan ngaco Disney soal Jimmy Kimmel.
The Humanities Aren’t Dead Yet – The Local
A glimpse of hope. Di tengah dunia yang lagi terasa kiamat.
Picturing a Chinatown Family Across Twenty-two Years – The New Yorker
One of a kind photography project! Very personal, yet very powerful.
Sekian TWS kali ini.
Semoga bisa membuat akhir pekanmu lebih berwarna. Cheers!
Minggu, 21 September 2025

Kirim Komentar!