Failing AI, Jailing Ideas, & Fvcking Jared

Selamat datang di episode ke-22 TWS! Kolom di mana saya menuliskan pembelajaran sepanjang minggu lewat hal yang saya lihat, dengar, dan rasakan. Let’s go!

FAILING AI

Sebuah riset “menampar” datang dari Harvard Business Review. Dari judulnya saja sudah menarik: AI-Generated “Workslop” Is Destroying Productivity. Hah, kok bisa? AI yang digadang-gadang sebagai penyelamat umat manusia, katalis efisiensi terbaik, dan pengungkit produktivitas, kok malah menghancurkan produktivitas?

Well, because AI is shit, that’s why.

Bulan lalu, MIT Media Lab rilis riset yang gak kalah seru: investasi gede-gedean di AI itu generate zero returns, mostly. And what it means by mostly, it’s about 95%.

Kalau riset MIT lebih ke aspek ekonomi dan investasi skala perusahaan, riset Harvard berusaha menggali lebih dalam ke bagaimana AI menghancurkan produktivitas karyawan. Sederhana: makin banyak karyawan yang mengandalkan AI dalam kerja-kerja hariannya, termasuk menulis email dan membuat laporan. Ternyata, hasil kerja yang mengandalkan AI tersebut malah bikin email dan laporannya jadi sulit dimengerti. Kulitasnya buruk (hence the term: AI Workslop).

Bahasanya generik, tidak konkrit dan kontekstual, serta menyulitkan pembacanya untuk memahami “Ini teh sebenarnya dia mao ngomong apa sih anjg?”

Menyulitkan komunikasi. Jika sebelumnya beban menyampaikan sesuatu dengan jelas dan sederhana ada di penyampai, di era AI beban tersebut bergeser ke penerima pesan. Maka atasan, manajer, dan rekan kerja yang kebingungan menerima AI workslop di kantor jadinya menghabiskan jauh lebih banyak waktu untuk memahami kerjaan-kerjaan gak jelas rekan kerjanya tersebut. Simak curhatan seorang manajer saat membaca hasil kerja bawahannya yang mengandalkan AI:

“I’m a quick reader, normally, so I [thought] ‘Why is this feeling so effortful? Also this is so confusing?’”

Ya, begitulah kira-kira. Saya sendiri merasakan kok kadang urusan kerjaan itu jadi sulit karena banyak orang yang ngandelin AI untuk urusan-urusan sederhana, tapi kerjaan mereka malah jadi jelek sejelek-jeleknya. Sekilas nampak bagus, pas dibedah ancur-ancuran. Persis temuan riset Harvard:

“AI-generated work content that masquerades as good work, but lacks the substance to meaningfully advance a given task.”

Ya mirip-mirip dengan konten-konten brainrot AI lah: ballerina cappucina lah, tung tung sahur lah, bombardiro crocodilo, lah. Busuk, sebusuk-busuknya.

Saya teringat sebuah seminar pendidikan. Seorang guru di sekolah internasional membagikan bagaimana AI bisa membuat guru naik level, menghasilkan pembelajaran yang kreatif dan seru di dalam kelas. Tapi, bagaimana pun AI hanyalah alat. Kunci utamanya ada di guru. AI bisa membantu guru hebat menjadi guru luar biasa. Tapi kalau gurunya aja gak hebat, ya AI gak banyak gunanya.

Persis! Itu dia kuncinya: pekerjanya dulu harus berkualitas. Baru bisa dibantu AI menghasilkan kerjaan yang lebih bagus lagi. Lah kalau pekerjanya aja junior-junior minim pengalaman, yang ilmunya masih cetek tapi dikit-dikit ngandelin AI, bye-bye quality work.

Jadi solusinya sebenarnya simpel: hebat dulu, AI kemudian. Berpikir mandiri dulu, AI kemudian. Bangun otot dan otak kreatifnya dulu, AI kemudian. Sesuai temuan riset MIT Media lainnya berjudul Your Brain on ChatGPT.

JAILING IDEAS

Photo by Boston Public Library on Unsplash

Kita semua pasti sudah melihat bagaimana buku-buku dijadikan alat bukti untuk mendemonisasi para aktivis dan demonstran. Sudah terlalu banyak ahli hukum, aktivis, dan manusia-manusia waras yang mengkritik hal tersebut. Sayangnya, negara bergeming. Tetap pada pendiriannya bahwa buku itu berbahaya.

Saya suka tulisan dari peneliti kajian hukum UGM ini. Tentang negara yang alergi membaca. Penutup tulisannya begitu terang benderang:

Pada akhirnya, cara paling ampuh untuk melawan gagasan yang dianggap berbahaya adalah dengan gagasan yang lebih baik, bukan dengan borgol. Biarkan buku-buku itu tetap di raknya, dan biarkan pikiran kita tetap bebas mengembara. Sebab, hanya bangsa yang merawat nalarnya yang akan mampu bertahan menghadapi ujian zaman.
-Markus Togar Wijaya

Per hari ini lebih dari 900 peserta demonstrasi akhir Agustus kemarin sudah dijadikan tersangka, ditahan dan dipenjara. Banyak dari mereka disita buku-bukunya lalu dipamerkan oleh kepolisian. Entah apa yang dipamerkan: buku-bukunya atau kepongahan dan kebodohan negaranya.

Menyita dan melarang buku bukan hal baru. Selama Orde Baru pelarangan buku rutin dilakukan, ada lebih dari 2.000 judul buku yang dilarang. Taliban baru-baru ini melarang buku-buku karya penulis perempuan di seluruh universitas di Afghanistan. Memenjarakan ide, dianggap sebagai sesuatu yang perlu untuk menjaga stabilitas negara.

Di China, lebih ajaib lagi. Kali ini bukan buku yang dilarang: tapi konten-konten yang menyebarkan pesimisme. Sudah jadi rahasia umum China memiliki isu dengan generasi mudanya. Mereka tak semudah itu diiming-imingi hustle culture dan budaya kerja 996 (kerja dari jam 9 pagi sampai 9 malam, selama 6 hari). Banyak yang memilih slow living, bahkan menjalani gaya hidup rebahan alias lying flat. Konten-konten beginilah yang dianggap berbahaya dan sedang diburu besar-besaran oleh pemerintah China.

Polanya sama, dari Korea Utara, Rusia, China, Afghanistan, sampai Indonesia. Memenjarakan ide. Jailing ideas which against the regime’s agenda.

Sebuah ketololan. Saya sepakat dengan Markus Togar Wijaya: pada akhirnya, cara paling ampuh untuk melawan gagasan yang dianggap berbahaya adalah dengan gagasan yang lebih baik, bukan dengan borgol.

FCKING JARED

Saya baru selesai baca buku Made to Stick. Usia bukunya memang nyaris 20 tahun, tapi bahasannya menarik. Banyak riset, studi kasus, dan contoh-contoh seru soal bagaimana cara mengkomunikasikan ide dengan efektif.

Ada satu kisah yang berkesan buat saya, tentang seorang mahasiswa luar biasa gendut yang berhasil turunkan lebih dari 100kg lewat diet yang tak biasa: Subway Diet.

Saking fenomenalnya kisah Jared Fogel, kisahnya diangkat oleh Subway jadi kampanye nasional. Petinggi Subway bahkan mengaku bahwa kesuksesan kampanye tersebut membawa keuntungan luar biasa besar bagi perusahaan. Jared sempat diangkat jadi juru bicara dan “brand ambassador” Subway selama bertahun-tahun.

Inspiratif kan? Iyalah. Saya saja langsung terkesima. Bahkan sampai berpikir mau ikutan diet ala Jared tersebut, siapa tahu bisa bantu saya menurunkan berat badan.

Tapi, betapa kagetnya saya saat lagi ngulik lebih lanjut soal Jared. Ternyata, ia dipenjara karena kasus pelecehan seksual dan pornografi. Tak hanya itu, hidupnya juga disertai skandal-skandal lain termasuk skandal keuangan yayasan yang ia dirikan.

ANJIR LU JARED, BARU JUGA MAU GUE JADIIN INSPIRASI!

Batal, deh. Bahkan saya jadi gak napsu-napsu amat beli Subway sekarang.

Fucking Jared.


Rekomendasi Bacaan:
Perjalanan Saya dari Lonte ke Anarko? Lonarko?‘ – Medium
Kisah Jorgiana mendapat framing absurd dari polisi, dari dituduh anarko hingga lonte, cuma karena keberaniannya menyampaikan pendapat.

The Tax on Being a Girl – The New York Times (Gift)
Bagaimana kebijakan publik dan ketololan penguasa menyengsarakan perempuan.

Who’s Getting Rich Off Your Attention? – Kyla Scanlon Substack
Siapa sih yang makin kaya & berkuasa dengan mengeksploitasi atensi kita?

The Best Extreme Cleaner in The World – The Guardian
kisah pembersih noda terbaik, dari mayat paus sampai TKP pembunuhan.

‘I Want My Inheritance Now’ – Bloomberg (Gift)
Kisah anak-anak bangsat yang minta warisan saat orang tuanya masih hidup.

The 22 Very Online Upstarts Changing the Face of Politics – WIRED
kisah anak-anak muda lewat dunia digitalnya mengubah lanskap politik.

The Catholic Church Has a Manpower Problem – WSJ (Gift)
So many sins, so many churchgoers, not enough priest…


Sekian TWS kali ini.

Semoga bisa membuat akhir pekanmu lebih berwarna. Cheers!

Minggu, 28 September 2025

Kirim Komentar!