
Meski meninggal dalam kemiskinan dan tidak dikenal luas, sumbangsih Gutenberg pada dunia amatlah signifikan. Berkat penemuan mesin cetaknya di abad ke-15, Gutenberg memantik revolusi pengetahuan. Buku dan pengetahuan tidak lagi menjadi milik segelintir orang kaya saja, tapi juga bisa dinikmati masyarakat luas. Kitab suci yang sebelumnya hanya dimiliki gereja, menjadi mudah ditemui. Secara simbolik, kebenaran tidak lagi terkungkung rapat di balik petinggi gereja pun bangsawan. Kini kebenaran dimiliki masyarakat luas.
Tanpa Gutenberg, bisa jadi zaman pencerahan dan era Renaissance mundur beberapa ratus tahun atau bahkan tidak terjadi sama sekali. Berkatnya, pengetahuan baru bisa tersebar luas dengan cepat. Diskursus bisa terjadi dengan mudah. Sebelumnya, buku dan segala tulisan umumnya ditulis manual dengan tangan. Kebayang kan, betapa sulitnya pengetahuan dan kebenaran tersebar luas ke khalayak? Ibarat zaman SD kudu bikin contekan nulis di kertas semalaman suntuk. Sekarang tinggal jepret foto, bagikan di WhatsApp, satu sekolahan tahu jawabannya dalam hitungan detik.
Revolusi pengetahuan yang digulirkan oleh Gutenberg membuat semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk terlibat dalam pembelajaran. Pemerataan terjadi. Banyak orang bisa mengakses kitab suci, surat kabar, pun buku-buku terbaru. Ini salah satu tonggak penting dalam sejarah perjalanan kita sebagai Sapiens.
Di abad ke-21, revolusi berikutnya hadir: media sosial. Mirip seperti era Gutenberg, kini pemerataan terjadi. Semua orang mendapat kebebasan yang baru. Kita semua terkoneksi dan batasan jarak pun waktu menjadi nyaris tidak ada. Tidak ada lagi ketimpangan kesempatan untuk eksis. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk bersuara dan melantangkan pendapatnya. Melalui dinding Facebook, melalui grup WhatsApp, atau melalui beragam cara lain yang tersedia berkat internet. Inikah revolusi berikutnya yang akan membawa peradaban menjadi jauh lebih maju lagi? Eits, tunggu dulu.
Will Smith dalam salah satu wawancara pernah menyebutkan bahwa zaman internet dan media sosial amatlah mengerikan. Setiap orang, khususnya di masa muda, pasti pernah melakukan kebodohan. Jika dulu orang bisa melakukan banyak hal bodoh tanpa harus diketahui khalayak, kini tidak. Setiap kebodohan bebas tersiarkan dan tersebar luas pada khalayak tanpa tersaring. Dan sekali terpampang di internet, tidak ada cara untuk menghilangkannya.
Sayangnya, di tengah berbagai kemungkinan dan potensi lain yang bisa dihadirkan oleh media sosial, kekhawatiran Will Smith di ataslah yang kerap terjadi. Setiap orang bebas mempertontonkan kebodohan tanpa batas. Dan seringkali mereka tidak sadar bahwa yang apa mereka lakukan adalah bodoh. Akibatnya, yang terjadi sekarang adalah pemerataan pembodohan.
Saat orang bijak cenderung mawas diri dan berpikir berkali-kali sebelum berpendapat, mereka yang bodoh tanpa ragu melantangkan pendapatnya karena mereka yakin itu adalah kebenaran. Maka jangan heran ketika konten dan materi yang mendominasi di media sosial adalah kabar bohong dan misinformasi.
Jika seribu orang diberi mikrofon, berapa seringkah kita akan mendengar nyanyian merdu macam Via Valen? Jangan-jangan, sebelum diberi mikrofon, pertama-tama kita harus diajari dulu dua hal: Yang pertama adalah teknik menyanyi, sehingga seburuk-buruknya kita menyanyi masih layak didengar khalayak. Yang kedua dan terpenting: sebuah kesadaran bahwa tidak semua mikrofon harus digunakan untuk menyanyi.
Mungkin ada yang perlu menggunakannya untuk sekadar memperkenalkan diri. Atau untuk berpidato. Untuk memberi pengumuman. Untuk menegur jika ada yang salah. Atau untuk dilempar ketika ada penyanyi fals yang memaksakan diri terus menerus bernyanyi.
Jakarta, 14 November 2017
Okki Sutanto