Descartes bisa saja berkata, “aku berpikir maka aku ada”. Tapi rasa-rasanya sih di masa sekarang kalimat tersebut tidak lagi relevan. Sekarang berpikir itu sudah jadi kemewahan. Barang langka yang hanya dimiliki segelintir masyarakat.

Ga percaya? Lihat saja betapa masifnya peredaran berita palsu, fitnah, dan hasutan. Yang kalau dipikirkan lebih kritis pasti tau itu cuma hoax. Atau betapa banyak pengikut teori bumi datar. Atau betapa banyak fans Manchester United yang masih yakin bisa menjuarai liga primer tahun ini. hehe.. Bercanda bro, saya juga fans MU, tapi saya masih realistis kok.
Zaman sekarang, berpikir itu bukan suatu prasyarat lagi bagi masyarakat. Eksis dahulu, mikir kemudian. Benci dahulu, benar dan salah belakangan.
Merasa ga sih, belakang ini membenci itu makin ngetren? Ada sebuah upaya masif dan terstruktur, untuk mengarusutamakan kebencian. Masyarakat teramat sering dibagi menjadi dua kutub tanpa boleh berada di tengah. Pro pemerintah atau anti pemerintah? Muslim apa kafir? Ngucapin natal apa nggak? Dukung LGBT atau anti LGBT? Vaksin apa nggak? Bumi datar apa bumi bulat? Pro ulama apa benci ulama? Messi apa Ronaldo? Raisa apa Isyana? Jonru apa Denny Siregar?
Kita dihadapkan pada segitu banyak situasi, dimana kita harus berdiri di titik ekstrem. Kita harus memilih salah satu, dan membenci yang lainnya. Seakan-akan kita ga bisa netral dan bersikap “biasa saja”. Padahal, kita ini sebenarnya masyarakat yang punya kecenderungan netral loh.
Lupa ya di masa perang dingin, dimana dunia terbelah blok timur dan barat, INDONESIA justru salah satu PEMRAKARSA Gerakan Non Blok. Bung Karno itu loh, yang sering dibilang eksentrik dan berani, pede-pede aja tuh berdiri netral di tengah tanpa berpihak. Atau ngisi kuesioner juga, kebanyakkan kita tuh jarang milih titik ekstrem setuju banget atau tidak setuju banget. Kita lebih condong ke tengah-tengah, netral. Ya agak setuju lah. Ya agak tidak setuju lah. Ga ekstrem-ekstrem amat.
Masa sih kalau dukung Messi harus benci Ronaldo? Masing-masing punya kelebihan dan karakternya sendiri, kan. Mungkin tiap orang ya simply punya selera dan kecocokkan dengan salah satu saja. Ga harus benci. Masa sih kalau beragama Islam harus banget benci sama agama lain? Harus banget kafir-kafir dan najis-najisin agama lain?
Ya bisa jadi masyarakat sebenarnya ga mau terkutub dan terkotak-kotak begini. Masyarakat kita cenderung netral kok. Sayangnya, kita juga kian malas berpikir. Dan hal ini dimanfaatkan oleh segelintir orang, bisa dengan jubah ulama atau politisi, untuk menebar kebencian.
Kebencian itu komoditi yang amat mudah dijual. Tahu kenapa? Karena dengan membenci dan merendahkan orang lain, kita jadi merasa lebih baik. Harga diri kita terselamatkan. Ingin merasa pintar? Bodoh-bodohi saja orang lain terus menerus, lama-lama juga kita merasa lebih pintar. Ingin merasa beriman? Kafir-kafirkan saja orang lain, nanti juga terasa kita lebih suci. Simpel kan? Obat ajaib yang bisa mengubah manusia-manusia pemalas yang enggan berpikir, jadi lebih tinggi derajatnya.
Maka jangan heran, jika kebencian mudah ditemui dimana-mana. Dan jangan juga kaget, jika konflik dapat dengan mudah disemai. Jerami sudah mengering. Tinggal tunggu api dipantik saja sampai kebakaran besar ini jadi kenyataan. Berlebihankah saya? Terlalu paranoidkah? Ya semoga saja. Saya sungguh berharap kali ini saya salah.
Singapura, 11 Januari 2018
Okki Sutanto