…ya kayak saya, contohnya.
Saya suka membaca sedari kecil. Apapun itu. Gak cuma buku-buku berfaedah. Ya iklan sedot WC di tiang listrik, ya komik bokep, ya brosur jetpump, spanduk kepak sayap kebinasaan, sampai bungkus gorengan. Semuanya saya bacain, pokoknya.
Beruntung, orangtua saya prihatin ngeliatin saya bacain bungkus gorengan yang hurufnya mulai susah dibaca karena rembesan minyak cireng. Akhirnya mereka rutin membelikan saya Majalah Bobo dan komik Kobo Chan kala SD. Sebelum perlahan saya diam-diam beralih ke Golden Boy dan Playboy, ya.
Hingga kini, saya masih suka membaca. Dan semakin ke sini, saya makin menyadari bahwa kegiatan membaca ini memang cocok untuk orang-orang lemah dan bodoh. Seperti saya. Hah gimana? Nah, begini penjelasannya!
Menyadarkan Bahwa Saya Itu Bodoh & Lemah
“What we know is a drop, what we don’t know is an ocean”, kata Isaac Newton, yang belakangan dipopulerkan lagi oleh serial Dark di Netflix. Betul sekali. Semakin rajin membaca, semakin saya sadar bahwa saya ini bodoh dan lemah. Banyak sekali hal yang saya belum saya pahami. Begitu banyak ilmu yang tidak saya miliki. Tapi, justru itu saya suka sekali membaca. Belajar hal-hal baru, dari beragam disiplin ilmu, dari sekian banyak orang hebat, dan dari berbagai belahan bumi. Jadi, jika kamu sudah merasa kuat dan hebat, yaudah. Gak perlulah rajin-rajin baca. It’s not for you. Reading is for the weak.
Menghemat Waktu & Tenaga
Buku yang bagus dan berkualitas, umumnya penuh dengan data dan riset. Atau berisi pengalaman dan pemikiran penulisnya, yang terbentuk selama bertahun-tahun. Misalnya pelajaran tentang jatuh-bangun membangun bisnis dari seorang pengusaha veteran. Pelajaran kepemimpinan dari seorang mantan presiden. Atau rangkuman pemahaman akan perilaku manusia, yang dihasilkan dari ratusan penelitian selama puluhan tahun.
Bayangkan berapa banyak waktu dan tenaga yang bisa kita hemat dari membaca sebuah buku. Agar tidak perlu mengulangi kesalahan yang sama, yang sudah pernah dilakukan orang lain sebelumnya. Juga bisa mempraktikkan best practices yang sudah teruji oleh orang lain. Serta menyerap pengetahuan baru, tanpa harus riset puluhan tahun.
Pengalaman memang guru yang terbaik. Tapi bukan berarti semua-muanya harus kita alami sendiri, kan? Pengalaman puluhan tahun dari orang lain, bisa kita pelajari dari buku. It’s a perfect shortcut! Ya tapi kalau kamu memang punya waktu dan tenaga yang tidak terbatas, kamu gak butuh baca buku, sih. Cobain aja dulu semuanya sendirian.
Connecting The Dots
Life and innovation is about connecting the dots. If your dot is limited, how do you plan to get it connected? Kalau titik yang kita miliki sedikit, tidak akan banyak garis atau gambar yang bisa kita hasilkan. Nah, belajar apapun itu termasuk dari buku, membuat saya bisa menambah titik-titik berupa fragmen informasi atau pengetahuan baru ke otak saya. Yang nantinya bisa saya hubungkan dengan informasi dan pengetahuan lain yang sudah saya miliki sebelumnya.
Misalnya, ketika saya menulis artikel tentang financial influencers beberapa waktu lalu. Banyak konsep yang bisa saya kaitkan dalam tulisan, mulai dari Taksonomi Bloom (saya pelajari saat kuliah) sampai First Principles Thinking (saya baca dari buku biografi Elon Musk). Dari kasus penipuan di masa lalu (dari berita-berita yang saya baca), sampai Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang saya pelajari dari film dan artikel berita.
Intinya, membaca itu memperbanyak titik yang kita miliki. Semakin banyak titik yang kita miliki, makin mudah kita mengaitkan dan mengkreasikan titik-titik tersebut. Ya ini berguna buat orang bodoh macam saya sih. Kalau kamu merasa sudah mengetahui segalanya dan memiliki seluruh titik di dunia, mungkin kamu gak perlu lagi membaca buku.
Berjejaring & Menulis Lebih Baik
Masih banyak manfaat membaca yang saya rasakan. Salah satunya mempertemukan saya dengan orang dan kesempatan baru. Saya pernah mengulas sebuah buku bagus tentang networking di blog saya tahun 2012. Ternyata, ada pembaca yang mau banget baca buku itu dan udah keliling toko buku tapi gak nemu-nemu. Dia meninggalkan komentar di blog saya. Kami pun bertukar kontak, ketemuan, dan ngobrol-ngobrol sambil saya hibahkan buku itu untuknya.
Entah berapa banyak perkenalan dan pertautan baru yang saya dapatkan dari menulis, entah di blog, Kaskus, sampai belakangan di Instagram.
Alasan terakhir yang tidak kalah penting: membaca membuat saya bisa menulis dengan lebih baik. Membaca buku dengan bermacam topik, dengan beragam penulis yang memiliki gaya penulisannya tersendiri, membuat saya belajar banyak tentang menulis. Ya nulis serius. Receh. Fiksi. Pun nonfiksi.
Lagi-lagi, ya itu buat saya ya. Kalau kamu merasa sudah bisa menulis dengan sempurna tanpa harus rajin membaca, ya gapapa juga. Good for you!
Kalau saya, ya banyak membaca karena sadar saya ini manusia bodoh. Yang mencoba bertahan sekuat hati layaknya karang yang dihempas sang ombak~
YEEE NGAPA MALAH NYANYIIIIIIII MALIH!
Jakarta, 28 Desember 2021