Kemarin sempat ramai diskusi tentang film Yuni (yang saya baru aja tonton, buaguuus banget!), versus Spiderman (yang saya belum tonton, tolong jangan spoiler!). Ada sebuah akun yang begitu mengagungkan film Yuni, sampai merasa perlu untuk menjelekkan film Spiderman. Mungkin niatnya bagus: ayo dukung film lokal! Meski caranya kurang cantik: ayo hindari film Hollywood!
Seakan-akan, industri perfilman adalah perang antara dua kubu: film Hollywood dan film lokal. Dan mendukung yang satu, berarti harus mengutuk yang lainnya. Mencintai yang satu, artinya membenci yang lainnya.
Dan ini terjadi di berbagai aspek kehidupan. Di berbagai pilihan dan preferensi pribadi. Kamu dukung Messi? Berarti harus benci Ronaldo. Dukung Jokowi? Ayo serang Anies. Kamu tim bubur diaduk? Ayo serang mereka yang makan buburnya tidak diaduk.
Seakan-akan kita ini harus senantiasa berdiri di ujung. Di titik ekstrem. Dan tidak boleh berdiri di tengah. Tidak boleh bersikap netral. Atau mencintai sesuatu dengan secukupnya. Wajib cinta buta!
Boleh koq, mengidolai Ronaldo dan Messi sekaligus. Keduanya pemain hebat yang memecahkan berbagai rekor dan terus mencetak sejarah. Boleh lho, mendukung kebijakan pemerintah yang baik, tapi juga mengkritik kala kebijakannya tidak baik-baik amat. Sah-sah saja berteman dengan mereka yang makan buburnya diaduk atau tidak. Yang perlu dimusuhi dan dijauhi cuma satu: mereka yang makan bubur pakai tangan.
Cinta buta, terhadap satu ide, orang, atau hal, lebih sering berakhir petaka. Ketika kita mengkultuskan sesuatu, kita membangun imaji semu bahwa sesuatu (atau seseorang) itu sempurna dan tidak bercela. Padahal, tidak ada yang sempurna di dunia ini selain senyumnya Nicholas Saputra. Mengkultuskan seseorang, membuat kita abai dan lalai terhadap kekurangannya. Memberi izin dan kuasa berlebih bagi orang itu untuk menjadi narsistik bangsat. Lha wong selalu dibela koq, oleh mereka yang mengkultuskan.
Saya tidak suka mengkultuskan atau mendewakan orang lain. Manusia itu penuh dosa, tidak peduli sesuci apa pencitraan mereka di muka umum. Mau guru, pejabat, atau pemuka agama, tidak ada yang lepas dari dosa. Orang baik memang banyak. Tapi ustad bangsat dan pendeta ngehe juga selalu ada. Terbiasa mengkultuskan mereka, berarti kita berkontribusi menciptakan hirarki tidak seimbang dan memfasilitasi lahirnya sosok-sosok narsis megalomaniak yang merasa dirinya setara Tuhan.
Maka senantiasalah kritis terhadap ide, hal, pun manusia. Tidak perlu cinta buta. Baik ke orang lain pun diri sendiri. Benarmu belum tentu satu-satunya kebenaran di dunia ini. Kebenaran tidak selamanya absolut. Kita dan orang lain bahkan bisa sama-sama benar, tergantung konteks dan perspektif. Juga, yang hari ini benar belum tentu besok-besok akan selalu benar juga. Tidak perlu fanatik-fanatik banget, hidup.
Jika hari ini kita memuji pemerintah lalu besok mengkritisi, bukan berarti kita tidak punya prinsip. Atau jika hari ini membela PSI lalu besok mengejek ide-ide absurd dan tolol mereka. Bisa jadi, kita sedang menjadi teman yang baik. Yang berdiri di tepi kala menonton sahabat kita ikut lomba lari. Yang tidak ragu menyemangati saat sang sahabat berlari mendekati garis finish, juga yang berteriak paling lantang kala ia salah belok, keluar jalur, atau menuju jurang.
Teman yang cuma bisa berteriak “Great job! Lanjutkan, kamu hebat!”, hanya akan menangisimu kala dirimu sudah jadi jasad tak bernyawa di bawah jurang. Bukannya berusaha menghentikan dan menyelamatkanmu sebelum semuanya terlalu terlambat.
Bagaimana, kamu sendiri mau jadi teman yang bagaimana? Yang mencintai dengan buta, atau mencintai dengan nyata? Kalau saya sih nyarinya teman-teman yang mencintai saya dengan harta, ya. Hehehe..
Jakarta, 25 Desember 2021