Coldplay, Taylor Swift, & Alasan Indonesia Gak Akan Pernah Maju

Seminggu ini urusan perkonseran amat menyita perhatian publik. Di tengah upaya Indonesia menambah jumlah show Coldplay yang tak kunjung ketok palu, tiba-tiba Singapura berhasil membujuk Coldplay tampil selama 6 hari di National Stadium. ENAM HARI CUY! Encok-encok tuh.

Di saat kita masih berusaha mencerna dan memaknai ini semua, hujaman berikutnya tiba: Taylor Swift. Secara resmi manajemen Taylor Swift mengumumkan bahwa sang artis hanya akan mampir di Singapura. Doi bakal konser tiga hari (so far ya, kalo nambah jadi 40 hari ya mana tau), HANYA di Singapura. Tidak ada perhentian lain di Asia Tenggara. Lagi-lagi, kita di-skip.

Kemarin, dalam pertemuannya dengan Narendra Modi, Musk blak-blakan berkata “India has more promise than any other large country”. Seakan sambil melirik Luhut dan Jokowi lalu berbisik pelan: “Maaf, kamu terlalu baik buat aku. Kita udahan ya.” Kalimat basi seseorang yang udah jenuh sama pasangan lamanya. Yang kebetulan udah dapet cem-ceman baru.

Mungkin bagi banyak orang, semua hal ini cuma serangkaian kejadian yang terisolasi satu sama lain. Gak ada hubungannya. Ah, cuma konser doang. Ah, cuma Taylor Swift doang. Ah, di-ghosting Messi doang. Ah, cuma urusan Elon Musk doang. Tapi, bagaimana kalau ini sebenarnya pola berulang yang menggambarkan kondisi negara kita? Bagaimana kalau semua hal ini cuma pundak gunung es dengan beragam deep underlying issues yang membuat negara kita gak akan pernah bisa maju? Izinkan saya membahas ini, sebagai Duta Overthinking se-Jabodetabek.

DEMOKRASI YANG GAK JALAN

Keluhan dan protes soal perkonseran itu bukan satu dua kali disampaikan masyarakat kita. Sudah sering. Soal infrastruktur, soal penjualan tiket, soal calo, soal akses transportasi, soal kualitas penyelenggara, dan lain sebagainya. Tapi pemerintah, tidak pernah mengambil pusing dan menindaklanjuti hal ini. Lah, ratusan nyawa hilang di pertandingan bola aja penanganannya gitu doang koq. Ujungnya angin kan, yang disalahin. hehehe..

Kita gak punya saluran demokrasi yang berjalan. Gak punya wakil rakyat yang mau turun dan menyerap aspirasi (kecuali Aldi Taher). Gak punya cara untuk rakyatnya ngasih tahu: nih ada masalah A di lapangan, lalu informasi ini diteruskan dan ditindaklanjuti sampai pucuk pimpinan tertinggi. Wong bahas RUU Kesehatan aja banyak dokter dan masyarakat gak dilibatkan, koq. We’re so fucking disconnected. Antara rakyat dan penyelenggara negaranya. Antara rakyat dan pelayannya. Antara yang diurus dan yang mengurus.

Alhasil kalau rakyat kena masalah, tidak mengandalkan sistem hukum yang berlaku, tapi menantikan viral based justice. Rakyat yang ngalamin masalah, rakyat juga yang kudu bersatu ngeviralin kasus-kasus ketidakadilan, untuk bisa direspons penyelenggara negara. Itu pun hasilnya gak selalu memuaskan.

Di Amerika Serikat, sejelek-jeleknya sistem politiknya, aspirasi masyarakat punya saluran untuk didengar penyelengara negara. Pas urusan tiket konser Taylor Swift yang kacau balau di AS awal tahun ini, senat AS sampe manggil Ticketmaster, perusahaan yang nanganin penjualan tiket. Dicari tahu problemnya apa. Apa ada monopoli usaha. Apa kompetisinya gak sehat. Dan sebagainya. Keluh kesah masyarakat itu didengar, lantas dicarikan solusinya. Supaya masalahnya ya tidak terulang lagi.

Di Singapura, sampai tahun lalu itu National Stadium sering dicibir sama warganya. Dianggap venue “kelas dua” karena gagal menghadirkan artis-artis papan atas dan pengelolaannya kacau. Akhirnya pengelolaannya diambilalih sama pemerintah Singapura akhir tahun lalu. Lalu kini, dengan dukungan penuh pemerintah, National Stadium jadi episentrum konser kelas dunia di Asia Tenggara. Blackpink, Coldplay, sampai Taylor Swift mau manggung berhari-hari di sana. Aldi Taher juga mau katanya, tapi gak diundang.

Intinya, kalau ada masalah itu, ya didengar dulu. Duduk bareng dulu. Lalu cari solusinya barengan. Beda sama di sini kalo ada yang kritik atau nyampein masalah, malah diancam sama UU ITE. HP-nya diretas. Dimarahin pejabat. Bahkan disuruh jangan rekam-rekam. Ngehe kan? Emang. Gimana mau sampai ke solusi kalau ngakuin ada masalah aja kita enggan.

GAK PUNYA VISI, GAK BISA MIKIR HOLISTIK

Urusan perkonseran itu cuma contoh aja, bahwa untuk memajukan pariwisata dan ekonomi kreatif itu prasarana dan prasyaratnya banyak banget. Harus mikirin infrastruktur dan ekosisrtemnya. Transportasi umumnya. Dampak lingkungannya. Kualitas sumber daya manusianya. Aspek emosionalnya. Aspek sosial dan budayanya. Dan masi banyak lagi. Bisa baca teori ekologi Bronfenbrenner untuk mengkaji suatu masalah dengan komprehensif.

Kita sering menggampangkan sesuatu. Hobi mikir sempit dan pendek. Dikira cukup punya venue gede, artis-artis dunia otomatis pada mau konser di sini. Dipikir cukup bikin rumah sakit mewah, lalu ujug-ujug orang kaya gak lagi berobat ke Singapura. Dianggepnya cukup bikin sirkuit balap, lalu ekonomi warga lokalnya akan meroket. Dikira karena produksi nikelnya gede, lalu industri-industri kelas dunia bakal tiba-tiba bikin pabrik di sini. Sayangnya, hidup tidak sedederhana itu Ferguso.

Bahkan sering banget nemu solusi dan pernyataan tolol dari pejabat kita:

“Hah Jakarta polusinya tinggi? Ya saya tiup aja sini!”

Lah, ngehe.

“Oh Coldplay konser lama di Singapura, yaudah kita bikin paket tur di Batam”

Lah, goblok. Kan akar masalahnya tetap tidak tersentuh. Gimana sik.

KORUPSI DAN NEPOTISME

Banyak yang ngira urusan korupsi dan nepotisme itu kerugiannya cuma sebatas materi aja. Oh, negara rugi 1T. Oh, dia ngembat 800M. Padahal, enggak. Dampak korupsi dan nepotisme yang begitu subur di segala lini kehidupan itu kemana-mana. Di konser deh misalnya. Penyelenggara itu harus putar otak banget untuk bisa untung. Karena dari kapasitas venue 50.000, kemungkinan besar mereka cuma bisa jualan 40.000 aja. Sisanya harus mikirin “jatah preman”. Ya buat sponsor. Buat politisi. Buat pejabat negara. Buat konglomerat. Dan lainnya. Jadinya seringkali itungan bisnisnya gak masuk.

Pas konser Blackpink kemarin, saya inget ada keluarga salah satu pejabat bisa foto bareng sama semua personil Blackpink di backstage seusai konser. Bayangin udah capek-capek konser mesti ditodong ngelayanin foto bareng pejabat dan keluarganya yang dandanannya kayak lagi di Citayam Fashion Show. Nah, “jalur-jalur ordal gak jelas” gini-gini yang susah diberantas dan bikin males. Ngerepotin artis dan penyelenggara, bikin iri penonton lain.

Mungkin jatah preman dan “pungli” ini udah jadi budaya nasional kita. Dari jalanan, parkiran, pelabuhan, bandara, sampe rutan dan institusi pendidikan itu pungli udah jadi hal lumrah. Hal ini pada akhirnya membuat Indonesia gak ramah pada bisnis. Skor “Ease of Doing Business” kita itu jelek. Kalah sama Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Singapura. Regulasi dan sistemnya gak jelas. Prosedurnya kepanjangan. Punglinya kebanyakan.

SDM YANG KELEWAT “CERDAS”

Meski jago untuk urusan pungli dan nyari-nyari kesempatan dalam kesempitan, sayangnya SDM kita itu masih rendah kualitasnya. Skor Human Development Index kita belum bisa dibilang membanggakan. Urutan kelima di ASEAN. Skor kita 0,70. Malaysia 0,80. Singapura 0,93. Ada peningkatan, sih. Tapi kapan kita bisa berdiri sejajar sama negara lain? Kan negara lain juga meningkat terus.

SDM yang kelewat “cerdas” ini juga kadang menimbulkan riak-riak yang tidak perlu. Pas rencana konser Coldplay kemarin misalnya, ada aja yang udah ngebacot petantang petenteng mau ngepung bandara dan stadion. Atau mau bikin Piala Dunia aja kudu ada yang ngebacot soal penjajahan dan narasi-narasi taik kucing lainnya demi tiket nyapres. Akhirnya batal, kan.

Untuk urusan ini kita setali tiga uang dengan Malaysia, politisi dari partai PAS, memboikot konser Coldplay karena dianggap mempromosikan hedonisme. Sang politisi akhirnya dikritik habis-habisan oleh warganya karena dianggap jadi salah satu alasan Coldplay memilih untuk konser lamaan di Singapura.

Sekarang, siapa yang mau berurusan sama orang-orang yang kelewat “cerdas” sih? Gua jadi Chris Martin juga mending minimalisir risiko. Daripada kenapa-kenapa kalo konsernya kelamaan di sini. Mending di Singapura aja udeh. Aman.

BARGAINING POWER YANG RENDAH

Kesemua hal tadi, berujung pada bargaining power kita yang rendah. Kita gak bisa meyakinkan pemain kelas dunia untuk memilih kita. Gak ada sistem yang baik. Gak punya visi dan peta jalan yang komprehensif. Korupsi dan nepotisme yang tinggi. Juga rendahnya kualitas SDM. Kesemua ini membuat kita gak punya competitive advantage di tingkat global.

Mending gue milih China, kalau liat market size & spending powernya mah. Mending gue pilih India atau Vietnam, kalo urusan tenaga kerja murah dan berkualitas. Mending gue buka bisnis di Singapura, regulasinya jelas dan bebas pungli. Mending gue konser berhari-hari di Singapura, infrastrukturnya jelas, keamanan dan kenyamanan terjaga.

Kalau diibaratkan seorang jomblo, satu-satunya kelebihan Indonesia itu ya harta orang tua aja. “Harta babe gue banyak nih hasil ngeruk alam, lo gak mao sama gue?”. Udah. Gitu doang. Pinter? Kagak. Punya tujuan hidup? Kagak. Bisa kerja? Kagak. Ya mentok-mentok paling cuma dapet sugarbaby Michat doang. Dapet remah-remah doang.

Mungkin bagi sebagian orang tulisan ini terlalu pesimis dan negatif. But actually no. I’m just a realist, not a hopeful idiot. But hey, you do you. hehehe..

Sekian dulu tulisan kali ini. Sampai jumpa di tulisan berikutnya!

Semua masalah-masalah yang diangkat di sini ya ada solusinya koq. Cuma gak saya sampaikan di sini. Saya cuma problem-teller. Ngasih tau masalahnya doang. Solusinya? Dijual terpisah. Enak aja gratis. hehehehe..

Jakarta, 22 Juni 2023

Kirim Komentar!