Sekiranya Saya Seorang Pejabat

Belajar dari tulisan Als Ik Eens Nederlander Was-nya Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1913. Dalam bahasa Indonesia kurang lebih: Sekiranya Saya Seorang Belanda. Lewat tulisan itu Ki Hadjar mengkritik keras perayaan “kemerdekaan” Belanda yang lepas dari penjajahan Perancis, di tanah air Indonesia yang sedang mereka jajah.

Sama. Sebenarnya apa yang sedang kita rayakan? Polusi? Korupsi? Kolusi?

Menjadi lucu merayakan kemerdekaan, di saat negara masih merampas:

  • Hak bernafas warganya sendiri yang tersandera polusi
  • Hak hidup layak warga Timbulsloko yang perlahan tenggelam
  • Hak hidup aman warga Dago Elos, Jabar yang direpresi aparat
  • Hak konstitusional warga Nagari Air Bangis, Sumbar, yang terpinggirkan pembangunan
  • Hak atas pendidikan yang terbatasi ruang dan regulasi zonasi
  • Hak hidup warganya sendiri yang tewas terjerat kabel semrawut
  • Hak memiliki kepolisian yang bisa bekerja serius. Bukan malah mengurusi anjing yang dipakaikan atribut merah putih. Atau lebih bangsat lagi: memerkosa tahanan (Google it, I dare you motherfucker)
  • Hak memiliki pemerintah yang bekerja pakai data, bukan pakai feeling. Bekerja terencana, tak sekadar reaktif kala masalah muncul. Yang tak habis-habisan menggenjot pembangunan, lantas tak sanggup mengelola dampaknya. Yang tak mati-matian mendorong industri otomotif, lantas tak sanggup mengelola jumlah kendaraan pribadi. Yang tak sepenuh hati mendorong warganya menggunakan kendaraan umum, padahal pejabatnya sendiri ngebacotin itu semua dari kendaraan pribadi nan mewah dan arogan.
  • Hak atas tempat tinggal. Hak atas masa depan. Hak beribadah. Hak menyatakan pendapat. Hak segala hak lainnya yang selayaknya dimiliki sebuah bangsa merdeka.

Sekiranya saya seorang pemimpin negara, saya akan malu membuat perayaan besar-besaran nan meriah di istana. Menampilkan para pembesar dan pesohor negara. Menampilkan segala yang indah-indah. Seakan-akan negara ini sedang baik-baik saja dan seluruh rakyatnya sudah merdeka.

Sekiranya saya seorang pemimpin negara, saya akan refleksi diri. Sudahkah saya mengemban mimpi-mimpi kemerdekaan para pendiri bangsa dengan baik? Sudahkah saya memastikan kemerdekaan dirasakan setiap warga negara? Atau cuma segelintir penguasa dan pengusaha yang seringkali merangkap keduanya? Cuma dinikmati para elit politik yang sedang sibuk mempersiapkan pesta besar-besaran mereka tahun depan?

Tapi saya bukan pemimpin bangsa. Saya cuma warga negara biasa. Maka dari itu saya tidak akan protes. Saya akan ikut merayakan kemerdekaan bangsa ini. Saya akan ikut ber-hahahihi. Saya akan ikut tenggelam dalam euforia bangsa yang delusional ini. Saya tetap memasang bendera, mengepalkan tangan, menyanyikan lagu kebangsaan, sambil memekikkan kata “MERDEKA!”

Izinkan saya menutup tulisan ini dengan paragraf terakhir tulisan Ki Hadjar, saya akan menutup tulisan ini dengan berikut: “Tidak, sekali-kali tidak, kalau saya seorang Belanda, saya tidak akan merayakan kemerdekaan negara seperti itu di dalam suatu negeri yang kita jajah. Beri dahulu bangsa yang terjajah itu kemerdekaannya, barulah merayakan kemerdekaan itu sendiri.”

Tangerang Selatan, 18 Agustus 2023.

Kirim Komentar!