Maudy Ayunda Itu Gak Salah

…tapi juga gak benar-benar amat.

Belum lama ini ramai soal konten Maudy Ayunda yang diwawancara seorang influencer. Maudy ditanya gagasannya jika ia menjadi Menteri Pendidikan. Maudy pun berpikir sejenak lalu menjawab. Ia bilang bahwa ia akan menghilangkan soal pilihan ganda & menggantinya menjadi open-ended questions atau esai.

Tujuannya agar para murid terbiasa untuk berpikir lebih kritis dan luas, tidak terpatok hanya memilih satu dari sejumlah kotak yang tersedia. Jika metode assessment ini dilakukan, maka dampaknya akan mengubah paradigma guru, murid, juga orangtua terkait proses pembelajaran siswa.

Tak butuh waktu lama bagi Netizen dan sejumlah media mengangkat isu ini lalu mengkritik Maudy Ayunda. Mereka menganggap bahwa ide ini…..jelek. Selain menambah beban guru dalam memeriksa hasil ujian siswa, tidak masuk akal untuk dilakukan dalam skala yang masif, juga belum tentu mengubah apa-apa.

Buat saya Maudy tidak salah. Tapi…. Ia juga tidak benar-benar amat. Hah, maksudnya bagaimana?

Apa yang disampaikan Maudy sebenarnya bukan hal baru. Setiap praktisi di dunia pendidikan pasti kenal yang namanya Taksonomi Bloom. Sebuah model yang sering digunakan untuk mengidentifikasi capaian kognitif siswa ranah pembelajaran. Ia berupa hirarki / piramida, mulai dari jenjang yang rendah hingga tinggi. Di jenjang paling rendah, ada remember & understanding. Megingat & memahami. Inilah mengapa soal-soal di bangku SD gak jauh-jauh dari mengingat. Pada tahun berapa Perang Diponegoro terjadi? Siapa nama presiden pertama? Apa ibu kota Inggris? Dan lainnya.

Baru di level berikutnya terdapat understanding. Di mana siswa tidak sekadar dituntut untuk mengingat, tapi juga memahami suatu konsep dan peristiwa. Mengapa perang terjadi. Mengapa bisa turun hujan. Bagaimana proses makroekonomi mempengaruhi kesehatan keuangan suatu negara. Dan seterusnya.

Dua level ini sebenarnya masih merupakan lower-order thinking. Betul kata Maudy, kalau sekadar ingat dan tahu saja, kualitas berpikir siswa Indonesia tidak akan berkembang jauh. Gitu-gitu aja. Terlebih di era kecerdasan buatan dan industri 4.0 ke depan.

Setelahnya, baru ada applying (mengaplikasikan suatu konsep ke konteks lainnya), analyzing (menganalisa komponen dan struktur dari sebuah konsep atau ide), evaluating (mengevaluasi dan mengkritisi sebuah ide atau konsep dari berbagai aspek), hingga creating (menciptakan teori, ilmu, dan hal baru dari informasi dan konsep-konsep lain yang telah dipelajari).

Sebenarnya, dunia pendidikan Indonesia juga sudah tahu soal Taksonomi Bloom. Makanya soal ujian dan tuntutan studi di jenjang TK, SD, SMP, SMA, hingga kuliah ya berbeda. Gak mungkin dong mahasiswa soal ujiannya sekadar siapa nama pencipta bom atom. Ya tolol aja dosennya. Kan udah jelas jawabannya Tony Stark.

Mahasiswa pasti dituntut untuk mampu menganalisa suatu teori (analyzing), mengkritisi buku atau jurnal (evaluating), bahkan menciptakan suatu penelitian sendiri dalam bentuk skripsi atau tugas akhir, berdasarkan pelajaran-pelajaran yang sudah diterimanya selama perkuliahan (creating).

Jadi….sebenarnya gak ada yang baru dengan gagasan Maudy.

Justru menjadi aneh ketika anak-anak TK, SD, dan SMP dituntut memiliki higher-order thinking yang kompleks. Malah tidak sesuai dengan tahapan perkembangan kognitif mereka. Ya mungkin Maudy bisa-bisa aja pas SMP disuruh menggunakan teori fisika kuantum untuk menciptakan bom atom. Tapi kan, belum tentu semua siswa di Indonesia secerdas dan seberuntung Maudy. Misalnya saya. Duh, saya ini goblok banget dulu (ya sampai sekarang juga sih).

Dalam hemat saya, apa yang disampaikan Maudy sebenarnya tidak lebih dari kebiasaan masyarakat dan pejabat kita dalam melihat suatu masalah kompleks: gemar mencari obat ajaib atau quick fix. Solusi cepat dan ajaib yang bisa menyelesaikan suatu masalah. Masalah pendidikan di Indonesia? Ganti soal pilihan ganda jadi esai. Masalah polusi? Beli mobil listrik dan hina alat sensor udaranya. Masalah konflik lahan adat di Rempang? Komunikasinya aja itu mah…..

Sayangnya, dalam hidup jarang sekali ada yang namanya quick fix. Solusi ajaib segala permasalahan. Kita, si Nobita pemalas, tak punya Doraemon dan kantong ajaibnya yang selalu bisa diandalkan ngeberesin segala problematika kompleks kehidupan. Pendidikan. Ekonomi. Polusi. Lingkungan. Hingga konflik agraria dan krisis beras pasti penyebabnya kompleks dan seringkali lintas departemen. Struktural. Multidimensi.

Selalu ada jurang antara teori dan praktik. Apa yang idealnya dilakukan dan kondisi nyata di lapangan. Maka dari itu kita tidak boleh sekadar puas menjadi si paling teoritis dan segala ide-ide fafifuwasweswos. Jangan pula menjadi terlalu praktis dan mengabaikan data, pendekatan ilmiah, dan bidang keilmuwan sama sekali.

Belajarlah untuk mengedepankan pendekatan praksis. Praxis, bahasa Jawa kunonya. Jalan tengah bagaimana sebuah teori dipraktikkan dalam kehidupan nyata.

Sekali lagi, ini bukan masalah Maudy. Kebiasaan mencari quick fix lumrah terjadi. Tak hanya di negara kita. Negara maju seperti Amerika Serikat pun sernang sama quick fix ajaib. Segala macam isu sosiokultural yang terjadi? White supremacist biang keroknya. Segala masalah kriminalitas? Senjata api solusinya. Masalah ekonomi & kurangnya lapangan kerja? Imigran penyebabnya. Mencari quick fix memang mudah. Kita tidak harus berpikir rumit soal isu-isu kompleks dan struktural. Kambing hitamnya pun jelas. Siapa yang harus disalah-salahkan dan menjadi sasaran kemarahan semua pihak.

Kontestasi 2024 juga gak jauh beda, koq. Solusi-solusi yang muncul tidak lebih dari sekadar quick fix yang tidak menyelesaikan akar masalah. BPJS gratis. BBM gratis. Makan siang gratis. Lipat gandakan gaji guru. Industrialisasi dan hilirisasi. Apakah quick fix ini akan mampu menyelesaikan masalah? Gak lah. Nambah-nambahin masalah baru iya. hehehe..

Sekali lagi, Maudy Ayunda gak salah. Yang salah ya kita. Ngapain juga dengerin selebritas dan menganggap opini mereka sebagai suatu kebenaran absolut. Sabda yang tak terbantahkan. Mereka cuma manusia biasa. Bisa salah, bisa benar. Apalagi ditodong menjawab suatu pertanyaan tanpa persiapan, yang dibatasi durasi dan medium. Pastinya akan gagasan-gagasan yang bisa jadi baik jadi tak tersampaikan dengan utuh. Ada reduksi makna. Ada lost in translation.

Mendengarkan selebritas, politisi, atau capres mengeluarkan gagasan tentu menarik. Tapi yang lebih penting adalah memastikan kita tidak menelannya mentah-mentah. Dan sanggup melihat itu semua sebagai sekadar gagasan. Opini. Pendapat. Yang bisa saja benar atau salah. Yang lebih penting adalah kemampuan kita untuk menyaring & mengkritisi setiap gagasan yang berseliweran di linimasa. Itu, yang lebih seru.

Sekian tulisan saya kali ini. Sampai jumpa di tulisan selanjutnya!

Jakarta, 25 September 2023

Kirim Komentar!