Saya cuma seorang bocah kelas 3 SD saat Soeharto lengser tahun 1998. Seorang bocah sipit kebingungan yang tidak tahu apa-apa. Yang ikut menyaksikan peristiwa penting perjalanan bangsa dari pinggir lapangan. Yang cuma mendengar dan membaca saja setelahya. Dari orang-orang dan catatan-catatan sejarah, bahwa 1998 berisi hari-hari yang dipenuhi kecemasan & ketakutan. Tapi di sisi lain 1998 juga lantas menyisakan harapan.
Harapan dan mimpi akan Indonesia yang lebih baik. Era baru yang penuh harapan. Era Reformasi. Saat kita semua berjuang berama membasmi musuh besar bangsa: KKN. Korupsi. Kolusi. Nepotisme. Semua berjuang keras menghindari konflik kepentingan. Berusaha memperkuat trias politika untuk saling kontrol antar lembaga tinggi negara. Serta mengedepankan politik yang bertoleransi, bermartabat, dan menjunjung tinggi demokrasi.
Hari ini, tepat dua puluh lima tahun berlalu. Saya harusnya bukan lagi seorang bocah kebingungan. Tapi nyatanya….saya tetap bingung. Bersama jutaan rakyat lain. Bahkan para ahli hukum serta hakim konstitusi. Bingung! Terkait putusan Mahkamah Konstitusi baru-baru ini. Yang memberi karpet merah terhadap sang putra mahkota. Yang tanpa malu-malu mengakali aturan dan mengangkangi demokrasi. Demi bisa berlaga di 2024.
Ini persis bagaimana demokrasi dibunuh. Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, dua ilmuwan politik dari Harvard, menulis panjang soal ini di buku How Democracies Die. Ketika para elit politik tak lagi saling menghormati (lost of mutual respect) dan tak sanggup menahan diri (lost of forbearance). Ketika demokrasi pelan-pelan digerogoti lewat pelemahan oposisi. Pembungkaman kritik dan mereka yang tidak sepaham. Pelemahan & penyusupan institusi-institusi negara. Pengikisan trias politika untuk memastikan checks & balances tidak berjalan optimal. Serta konflik kepentingan masif yang dipermisifkan.
Buku ini menganalisa apa yang terjadi di Amerika Serikat era Trump. Juga membahas perkembangan dan sejarah politik di sejumlah negara Eropa dan Amerika Latin. Di banyak negara, buku ini dijadikan peringatan untuk dihindari. Untuk tidak dilakukan. Sayangnya, di sini nampaknya malah dijadikan buku panduan dan tutorial.
Tanpa malu-malu negara dijadikan bisnis keluarga. Persis judul artikel di Nikkei Asia pada tahun 2020.
Seminggu belakangan ini komentar-komentar soal dinasti politik, putusan MK, dan nepo baby ini cukup menggelitik saya.
Diskusi 1: “Jangan diskriminasi nepo baby!” Ini komentar dari seorang politisi muda. Menyandingkan Gibran dengan Justin Trudeau dan Shinzo Abe. Dua perdana menteri yang berasal dari keluarga politisi ternama. Nampaknya ia lupa. Baik Justin maupun Abe baru masuk politik setelah ayah mereka meninggal.
Pierre Trudeau selesai menjabat jadi Perdana Menteri Kanada di tahun 1984. Meninggal tahun 2000. Baru Justin masuk politik setelahnya. Meniti karir dari bawah. Hingga menjadi Perdana Menteri Kanada di tahun 2015.
Kakek Shinzo Abe, Nobusuke Kishi, usai menjabat Perdana Menteri Jepang tahun 1960. Meninggal tahun 1987. Anaknya, Shintaro Abe, juga menjadi politisi top hingga meninggal tahun 1991. Baru setelah itu Shinzo Abe menjadi anggota DPR di tahun 1993. Meniti karir politik panjang, hingga jadi Perdana Menteri Jepang di tahun 2012.
Menyamakan Gibran dengan kedua politisi tadi tak hanya ignorant, tapi menjerumuskan. Seakan-akan semua nepo baby itu sama. Maaf, saya lebih percaya kata-kata Orwell. “All animals are equal, but some are more equal than others”. Menjadi anak politisi ternama tentu bukan dosa. Kita tidak bisa memilih terlahir di keluarga mana. Tapi membiarkan konflik kepentingan dipertontonkan tanpa rasa bersalah, buat saya sekadar kenaifan belaka.
Diskusi 2: “Tolong kata-katanya sopan dikit!” Ini komentar yang saya terima saat mengomentari berita putusan MK di akun berita. Lah, ini hak-hak kita lagi dikebiri lho. Demokrasi dan konstitusi lagi diperkosa, tapi kita masih diminta sopan sama pemerkosanya? Gila, mental inlander yang menyedihkan. Harus senantiasa sopan pada majikan, tak peduli seberapa bangsat majikannya.
Diskusi 3: “Ya kan belum tentu juga orangnya mau maju, diem dulu deh, daripada nanti malu sendiri!” That’s not even the point. Mau nantinya sang putra mahkota berlaga atau tidak, lain urusan. Putusan ini sendiri telah menjadi bargaining power yang kuat bagi klan Surakarta, terlepas dari ujungnya nanti. Sudah sukses membuktikan betapa berkuasa dan hebat pengaruh mereka memainkan instrumen-instrumen negara. Mengotak-ngatik peraturan. Menghalalkan segala cara.
Diskusi 4: “Ya kan nanti yang pilih rakyat, kalau gak suka jangan dipilih….” Suara-suara begini mulai ramai. Kepolosan yang dibarengi toxic positivity ngehe. Layaknya domba tersesat yang begitu mudah digiring. Yang tak bisa berpikir mandiri apalagi kritis.
Jika saat ini saja aturan main bisa diubah sesuka hati, dan instrumen negara bisa dipakai untuk menguntungkan salah satu pihak, apa jaminannya ini tidak terjadi di kemudian hari? Siapa yang bisa menjamin pemilihan akan berlangsung adil, jujur, dan bermartabat jika hari-hari ini saja negara sudah tidak punya harga diri?
Lagian, kalau cuma masalah dipilih mah Hitler sama Trump juga pernah dipilih rakyatnya. Tugas negara dan sistem politik adalah memastikan agar rakyat mendapatkan pilihan-pilihan terbaik. Alih-alih membiarkan kandidat yang tak layak bebas melenggang menerabas aturan.
Kadang saya merasa kita ini seperti Sisifus. Tokoh mitologi Yunani yang dikutuk untuk tidak pernah mencapai tujuan. Yang diberi tugas mendorong batu karang ke puncak gunung. Yang senantiasa berjuang keras dan sejengkal lagi mencapai puncak. Tapi tepat sesaat sebelum mencapai puncak, batu itu menggelinding lagi ke dasar bukit. Dan Sisifus harus memulai kembali semuanya dari awal. Begitu seterusnya. Dikutuk berjuang seumur hidup tanpa pernah mencapai tujuan.
Mungkin benar apa yang dikatakan Albert Camus: sekalipun tidak pernah mencapai tujuan, kita seharusnya puas dengan perjuangan itu sendiri. Sisifus (juga kita), harusnya tetap berpuas diri dan bahagia karena sudah berjuang.
Apa kita harus puas memimpikan Indonesia yang makmur, adil, dan bermartabat? Apakah setiap mendekati tujuan, kita diam saja menyaksikan semuanya mengulang lagi dari awal? Ke akar-akar KKN dan konflik kepentingan yang masif? Reset lagi ke factory default settings sebelum reformasi? Saya sih gak rela.
Saya pemilih Jokowi di tahun 2012, 2014, dan 2019. Saya mengapresiasi segala pencapaian dan pembangunan Indonesia satu dekade belakangan. Saya menghormati dan rispek penuh terhadap beliau. Saya tetap meyakini pilihan saya di masa lalu telah sesuai dengan nurani dan merupakan pilihan terbaik pada masanya.
Tapi maaf, untuk 2024 nurani saya tidak mengizinkan lanjut mengikuti permainan catur beliau. Suara saya tidak akan saya berikan ke mereka-mereka yang mengerdilkan negara ini menjadi dinasti dan bisnis keluarga. Tidak saya mendukung mereka yang siap menghalalkan segala cara untuk berkuasa. Dan yang terutama: tidak mungkin saya memilih calon pemimpin negara hanya karena mereka adalah sperma-sperma yang beruntung.
Maka saya akan melawan. Dengan pena dan kata-kata. Dengan setiap jengkal energi yang saya miliki. I will do everything in my power to make sure they won’t win.
Saya mungkin bukan siapa-siapa. Saya bukan pejabat atau orang kaya. Saya tidak punya partai, kekayaan, atau pengaruh besar. Yang saya punya cuma rasa cinta terhadap bangsa ini. Rasa sayang terhadap demokrasi dan tanah air saya: Indonesia.
Sekian tulisan saya kali ini. Sampai jumpa di tulisan berikutnya!
Indonesia, 18 Oktober 2023
Kirim Komentar!