Katanya Relijius, Tapi Koq Bangsat?

[Tulisan ini telah tayang sebelumnya di Instagram, dengan lebih banyak visual]

Beberapa hari lalu saya baca sebuah post menarik dari Big Alpha. Yang intinya menulis soal paradoks Indonesia: survei bilang kita negara paling religius, tapi nakalnya koq gak kaleng-kaleng? Korupsi? Marak. Bokep? Banyak. Biadab? Juara. Yang terakhir bukan saya yang ngomong lho ya, itu hasil survei Microsoft soal Digital Civility Index. Keresahan yang sama juga diutarakan sejumlah orang: kenapa ya, kita ini religius TAPI bangsat?

Menurut saya, ini bukanlah sebuah paradoks. Ya kita bangsat JUSTRU karena kita terlalu religius. Ini adalah konsekuensi logis. Hah, maksudnya gimana?! Tenang-tenang, sebelum situ buru-buru bikin laporan penistaan agama ke Polres terdekat, saya coba jelasin dulu ya. Sabar, ya. Woles.

Data dan statistik menunjukkan, semakin maju suatu negara dan terdidik warganya, semakin mereka tidak religius. Tempat ibadah makin sepi. Keanggotaan denominasi dan rutinitas melakukan ibadah pun menurun. Justru di negara-negara berkembang dan belum maju-maju amat, makin tinggi religiusitas masyarakatnya. Makin banyak jumlah orang yang merasa agama itu sangatlah penting.

Kenapa yang miskin dan kurang terdidik begitu religius? Ada beberapa faktor. Pertama, it’s their only hope, escape, & worldview. Itu satu-satunya harapan mereka dalam hidup. Satu-satunya pelarian mereka. Satu-satunya cara memandang dunia yang mereka miliki. Serta satu-satunya tumpuan yang selalu dapat diandalkan. Agama menjanjikan kehidupan setelah duniawi yang penuh pengharapan.

Kenapa di negara maju tidak demikian? Agama mah ada. Tempat ibadah banyak. Tapi bukan itu satu-satunya aspek kehidupan mereka. Agama bukanlah jawab dari segala tanya mereka. Mereka bisa mencari alternatif dari filsafat, ilmu pengetahuan, hingga teknologi. Mereka juga bisa fokus mengejar pendidikan, karir, passion, bisnis, hingga kemanusiaan. Kompas hidup mereka tak melulu agama.

Bukan artinya agama tidak penting, tapi sebagaimana bangunan yang kokoh memiliki banyak fondasi, begitu juga kehidupan masyarakat yang progresif. Agama penting, tapi ia hanya salah satu fondasi saja. Bukan satu-satunya. Dan pemisahan agama dari sendi-sendi kehidupan bernegara (iya, sekularisme), mungkin dibutuhkan. Setidaknya sampai derajat tertentu.

Kebayang gak masyarakat yang satu-satunya tumpuan hanya agama? Dan setiap keputusan berbangsa dan bernegara harus berasal dari sana? Mari kita ilustrasikan. Coba kita bandingkan misalnya Jepang dengan salah satu negara fiksi yang penduduknya amat religius: Kiwkiw Cukurukuk.

Saat terjadi gempa hebat:

🥷: “Kita harus mencari inovasi rumah dan bangunan tahan gempa, serta rutin mengadakan edukasi soal menghadapi gempa, di semua lapisan masyarakat. Supaya kita bisa lebih tahan gempa…”

🤡: “Ini pasti gara-gara LGBT……..”

Saat terjadi pelecehan seksual:

🥷: “Kita harus memastikan regulasi dan hukum yang jelas. Perbanyak CCTV. Pastikan setiap HP yang dijual harus mengeluarkan bunyi cekrek saat foto. Naikkan age of consent. Mudahkan pelaku pelecehan diseret ke penjara.”

🤡: “Cewek sih suka nguji iman lelaki. Namanya kucing dikasih ikan asin ya doyan….”

Saat terjadi korupsi dan ketidakadilan:

🥷: “Kita harus evaluasi dan perbaiki sistem untuk mencegah ini terulang kembali.”

🤡: “Ini semua hanyalah ujian…… Sabar…..”

Kebayang ya kira-kira mana yang ke depannya akan lebih berprogres? Nah…

APA AGAMA ITU BURUK?

Apakah lantas agama cuma membawa keburukan? Tidak, dong. Bukan itu kesimpulannya. Agama tentu mengajarkan hal-hal baik. Tapi bukan berarti semua yang bersentuhan dengan agama otomatis memiliki moral yang baik. Ini faktor keduanya. Soal jarak antara ingat & tahu sesuatu, sampai ke tahapan aplikasi, evaluasi, & perilaku nyata (sesuai teori Taksonomi Bloom). Ada jurang demikian besar antara memahami dan menjalani.

Seseorang yang setiap hari membaca buku kedokteran dan anatomi tubuh manusia, belum tentu bisa melakukan operasi pengangkatan tumor. Seseorang yang setiap hari nonton Youtube soal kesehatan finansial belum tentu beneran punya dana darurat, asuransi, atau uang 27 M. Ilmu itu pengejewantahan dan pembelajarannya ya di kehidupan nyata, bukan di layar HP atau buku. Sama, agama juga begitu. Pembelajaran terbaik agama ya di pengalaman kehidupan nyata, bukan dari seberapa sering kita mendengar ceramah dan seberapa rajin kita menghakimi orang lain. Saya suka kutipan di film Good Will Hunting ini.

PARADIGMA PEMBELAJARAN

Intinya, ada jarak antara teori dan praktik. Ini yang kadang jadi perdebatan di bidang pendidikan soal bagaimana ilmu pengetahuan tersampaikan. Ada kacamata transmisionisme dan konstruktivisme. Seorang transmisionis mungkin menganggap bahwa transfer ilmu sesederhana guru datang > jelaskan konsep > murid mendengarkan > murid paham. Sesederhana menuang air dari teko ke gelas. Tuang, penuhi, selesai.

Tapi penganut konstruktivisme sadar bahwa pembelajaran butuh lebih dari sekadar itu. Ada bangunan pengetahuan yang harus dikonstruksi terlebih dahulu. Diperlukan inisiatif aktif dari seorang murid untuk ikut mencari dan menjadikan suatu ilmu relevan bagi mereka. “Information may be imposed, but understanding cannot be, for it must come from within. Pembalajaran yang baik adalah yang disertai latihan aktif, mengalami langsung, juga refleksi berkelanjutan. Sudahkah pelajaran agama kita sudah demikian?

AGAMA ADALAH CANDU

Marx nyaris dua ratus tahun lalu mengibaratkan agama layaknya candu. Religion is the opium of the people, kalau kata Marx. Agama dijadikan alat bagi pemegang kekuasaan & kekayaan untuk melanggengkan opresi. Membuat yang bodoh tetap bodoh. Membuat yang miskin tetap miskin. Mungkin Marx akan tertawa kecil saat tahu bahwa penelitian para ahli syaraf terkini mengkonfirmasi analoginya itu. Bahwa pengalaman religius mengaktifkan area yang sama di otak dengan para pecandu. Bahwa agama adalah candu, mungkin tak sekadar analogi.

Tidak, tulisan ini tidak mengajak kamu menjadi orang yang meremehkan agama. Tulisan ini juga tidak berpretensi menyatakan bahwa orang yang tidak beragama itu lebih cerdas, lebih kompeten, atau lebih baik. Pun sebaliknya.

Tulisan ini adalah sarana saya merespons pemikiran-pemikiran di awal tadi. Yang menyatakan bahwa masyarakat yang relijius tapi nakal adalah sebuah paradoks. Tidak, itu bukan paradoks. Itu hanyalah konsekuensi logis. Religiusitas tak serta-merta mencegah kenakalan.

Lagipula, mungkin kita terlalu sibuk mengejar religiusitas, sampai lupa soal spiritualitas. Tentang iman yang internal dan hubungan personal dengan Sang Ilahi. Bukan sekadar saleh menjalankan ritual dan upacara. Tentang refleksi diri sendiri, bukan menghamiki orang lain.

Sekian tulisan kali ini, sampai jumpa di tulisan berikutnya!

Jakarta, 16 November 2023

Kirim Komentar!