Karena Hidup Memang Komedi

…catatan soal film Srimulat dari nonpenggemar.

Saya tumbuh besar sebagai penikmat komedi. Dari tayangan Warkop DKI, Trio Patrio, Cagur, Bajaj Bajuri, juga acara televisi semacam Spontan (uhuy!), Extravaganza, Akhirnya Datang Juga, hingga OVJ. Komedi luar negeri pun saya suka, dari Monty Python Mister Bean. Dari American Pie hingga The Big Bang Theory. Dan akhir-akhir ini: stand up comedy.

Saat ke toko buku juga saya suka “ngintip” buku humor dan komedi. Salah satu favorit saya The Adult Only Joke Book. Saat buku perjalanan Warkop DKI berjudul Main-main Jadi Bukan Main rilis, saya habiskan dalam sehari dan bonus CD rekaman lawak mereka pun saya putar berkali-kali di mobil.

Membaca buku-buku di atas, juga Anatomi Lelucon di Indonesia karya Darminto Sudarmo, harapannya agar saya bisa belajar melucu juga. Tapi apa daya, muka saya terlalu mirip sama Nicholas Saputra. Bawaannya terlalu cool dan serius. Jadi kurang cocok untuk melawak.

Sayangnya, saya tidak mengalami era keemasan Srimulat. Betul, Srimulat masih menjadi nama yang sering muncul di layar kaca semasa saya kecil. Beberapa anggotanya pun masih aktif di berbagai acara. Tapi, saya tidak punya memori yang begitu kuat dan melekat pada Srimulat. Ikatan batinnya kurang. Sebatas tahu-tahu saja soal kelompok lawak legendaris tersebut.

Maka saya awalnya agak khawatir ketika diundang ke Gala Premiere film terbaru Mas Fajar Nugros, Srimulat: Hidup Memang Komedi. Yang menceritakan tentang lika-liku perjalanan Srimulat dari daerah ke ibukota. Bisakah saya menikmati film ini? Paham gak ya saya sama ceritanya? Bakal lucu gak ya? Sejumlah tanya tersebut, sempat mampir di kepala.

Ternyata, kekhawatiran saya tidak terbukti. Saya sangat menikmati filmnya, bahkan meski saya tidak menonton bagian pertamanya, Srimulat: Hil Yang Mustahal. Saya tertawa terpingkal-pingkal sepanjang film. Terharu di beberapa bagian. Dan ikut penasaran sama ending-nya.

Sejak Stand Up Comedy menjamur satu dekade belakangan, tak sedikit orang menganggap bahwa komedi haruslah cerdas. Komedi yang berkelas itu harus penuh observasi, ngajak mikir, dibarengi kritik sosial, juga memperjuangkan sesuatu.

Film Srimulat seakan berkata bahwa komedi itu universal. Komedi adalah milik siapa saja, bukan hanya mereka yang cerdas dan kritis. Karena komedi sejatinya tak pernah jauh soal kehidupan. Soal hal-hal kecil dan jenaka yang ada dalam keseharian kita. Komedi adalah kehidupan, dan hidup adalah komedi. Sesuai judul film Srimulat kali ini.

Kita diingatkan kembali akan esensi komedi. Bahwa lelucon itu utamanya adalah misdirection. Sesuatu yang tidak kita sangka. Pemutarbalikan ekspektasi. Pemelintiran kenyataan. Selama hal tersebut terpenuhi, maka kelucuan tetap hadir. Meski tanpa observasi cerdas maupun kritik sosial.

Di beberapa kesempatan, justru kejenakaan hadir dari hal-hal sederhana. Dari pompa air yang mati, dari surat yang susah dibaca, dan dari TV yang rusak. Bahkan kadang adegan yang direpetisi serta jauh dari kata cerdas pun tetap sukses membuat saya tertawa lepas. Juga selipan slapstick di beberapa momen, yang khas Srimulat tapi tidak terasa berlebihan.

AKTING YANG BRILIAN

Kemampuan akting dan departemen tata rias di film ini patut diacungi jempol. Bio One sebagai Gepeng. Elang El Gibran sebagai Basuki. Zulfa Maharani sebagai Nunung. Hingga Ibnu Jamil (yes, mas Seno di Gadis Kretek) sebagai Kretek. Benar-benar membuat saya merasakan aura dan karakter asli para anggota Srimulat kala muda dulu.

Khususnya Elang El Gibran yang begitu sempurna memerankan Basuki. Persis ingatan saya akan Basuki di kala saya menonton Si Doel zaman dulu. Kehadiran Nunung, Tessy, & Kadir Srimulat di film ini juga terasa istimewa. Meski hanya tampil sebentar, mereka sukses mencuri perhatian dan mengambil spotlight sesaat dari para pemeran utama.

BISA DINIKMATI SIAPA SAJA

Akhir kata, film ini bisa dinikmati siapa saja. Penggemar Srimulat? Bisa banget. Tidak pun, ya gak masalah. Seusia saya dan lebih tua yang sempat merasakan era Srimulat? Bisa. Baru lahir setelah era keemasan Srimulat? Gak apa, dijamin tetap bisa menikmatinya secara utuh. Film ini racikannya pas. Komedinya melimpah. Dramanya tepat. Nostalgianya dapat. Penasaran? Langsung saksikan di bioskop terdekat mulai 23 November.

Oh ya, film ini juga mengingatkan bahwa sejatinya pelawak adalah profesi. Yang pastinya butuh proses dan latihan panjang. Yang perjalanannya penuh liku juga tantangan. Maka tidak semua orang bisa menjadi pelawak. Dan tidak semua orang perlu menjadi pelawak.

Herannya, akhir-akhir ini politisi kita amat sibuk melawak. Negara, konstitusi, hingga demokrasi dilakoni penuh kelucuan dan ugal-ugalan. Dilakukan main-main tanpa keseriusan. Apa daya, mungkin bagi mereka negeri ini memang cuma komedi. Dan kita semua cuma penonton yang dipaksa bertepuk tangan. Tersandera ketidaklucuan mereka.

Sekian tulisan kali ini. Sampai jumpa di tulisan berikutnya!

Jakarta, 22 November 2023

Kirim Komentar!