Pemilu Serentak 2024, kian dekat. Kurang dari dua bulan, kita akan memilih anggota legislatif serta pasangan presiden dan wakilnya. Tak sedikit yang masih bingung, bahkan survei terakhir Kompas bulan November lalu menunjukkan angka swing voters (pemilih yang belum menentukan pilihan), masih cenderung tinggi. Masih pada bingung, milih siapa. Wong pilihannya juga pada umumnya cenderung medioker. Kayak permainan Manchester United pada umumnya: nothing special.
Salah satu inisiatif anak muda yang cukup mendobrak dan inovatif soal Pemilu adalah….BIJAK MEMILIH. Sebuah gerakan independen yang diinisasi Think Policy & WIUI (What Is Up, Indonesia) agar masyarakat bisa membuat pilihan politik yang didasari informasi berkualitas. Agar masyarakat bisa memilih secara rasional. Bukan atas dasar gimmick-gimmick politik dan sensasional tapi tak berisi. Mengajak setiap kita untuk bijak memilih.
Sekilas, oke banget ya gerakannya. Saya pun pas dengar langsung takjub! Tapi, sejujurnya saya ragu gerakan ini akan ada gunanya. Hah? Koq gitu? Bukan, masalahnya bukan di gerakannya. Tapi di….kitanya sebagai masyarakat. Saya ragu gerakan ini bisa mencapai “product-market fit”, kalau istilah bisnis dan startup. Saya ragu barang ini bisa diterima dengan baik oleh masyarakat luas. Kenapa begitu?
Pertama-tama, emangnya sejak kapan sih kita memilih secara rasional? Dalam hal apa pun. Milih cinta, emosional. Ambil keputusan finansial? Emosional. Politik? Ya gak jauh beda, kayaknya. Jika ada satu hal yang saya pelajari dari buku-buku behavioral economics dan karya-karya pemenang Nobel macam Daniel Kahneman dan Richard Thaler, ya fakta bahwa kita itu bukan makhluk yang rasional-rasional amat. We’re not exactly a rational creature. We’re more like an emotional animal.
Kedua, kenapa kitanya diharapkan untuk bijak memilih? Gimana caranya kita bisa bijak memilih, kalau pilihannya aja belum tentu bijak dipilih? Ibarat memilih satu dari sekian makanan basi di meja yang udah didiamkan seminggu. Pertama: itu-itu lagi menunya. Kedua: ya….basi. Mana aja yang dipilih juga ujungnya kita sakit. Apanya yang bijak dari memilih itu?
Ketiga, ini kita ngomongin negara yang IQ penduduknya di peringkat 130 dunia. Skor PISA-nya memprihatinkan. Hanya 6% penduduknya yang mengenyam pendidikan tinggi. Penduduk yang minat bacanya tinggi cuma 0.001% dari data UNESCO. Skor keadaban digitalnya terburuk se-Asia. Tapi, di saat yang sama jadi salah satu negara paling aktif di media sosial. Pengguna TikTok tertinggi kedua sedunia. Instagram tertinggi keempat. Artinya apa? Kita ini tolol tapi paling banyak bacot. Koq diharapkan bisa bijak memilih?
Maka dari itu, sebenarnya saya gak yakin-yakin banget gerakan Bijak Memilih bakal berhasil memikat hati banyak rakyat Indonesia. Susah. Susah banget, bahkan.
Tapi, apakah lantas kita harus pasrah? Menyerah sebelum bertanding?
Buat saya ya enggak. The name is also effort. Alias namanya juga usaha. Masa sih gak boleh berusaha? Gak boleh bermimpi? Gak boleh punya idealisme dan harapan?
Saya percaya tiap gerakan idealisme dan mimpi besar, dimulai dari sesuatu yang kecil. Perjuangan kemerdekaan. Perjuangan kesetaraan gender. Menghentikan rasisme dan kebijakan apartheid. Pendidikan dan kesehatan yang lebih baik. Menaikkan batas usia legal perkawinan. Hingga perlindungan terkait pelecehan seksual. Semua dimulai dari langkah kecil. Gak ada yang langsung besar dan tercapai.
Saya teringat teori minority influence yang pernah dibahas oleh Moscovici. Bahwa mayoritas tidak selalu memegang kendali. Bahwa suara terbanyak tidak selalu menentukan segalanya. Perjuangan dan kebenaran yang terus disuarakan oleh kelompok minoritas bisa membuahkan hasil. Kelompok yang sedikit dan dianggap minoritas bisa berperan dan memengaruhi kelompok yang lebih besar. Selama dilakukan dengan konsisten & memiliki nilai yang jelas. Bahwa siapa pun, sesedikit apa pun jumlahnya, bisa menjadi agen perubahan.
Dan sejarah telah membuktikannya. Sebuah gerakan tidak perlu diyakini dan diikuti oleh 100% bahkan 50% dari populasi koq. Cukup 3.5% massa yang kritis, atau critical mass, bisa membawa perubahan. Ini yang ditemukan Erica Chenoweth, ilmuwan politik dari Harvard, dalam studinya. Bahwa gerakan damai tanpa kekerasan yang diinisiasi sekelompok kecil orang, bisa bergulir bak bola salju, memikat semakin banyak orang, dan menghasilkan perubahan sosial yang besar.
Dari gerakan People Power di Filipina tahun 1986. Revolusi mawar di Georgia yang menggulingkan rezim. Aksi demonstrasi damai Mahatma Gandhi. Hingga kampanye perubahan iklim beberapa dekade belakangan. Yang awalnya cuma dilakukan segelintir orang, lantas bisa menjadi norma yang diyakini masyarakat luas. Kuncinya? Konsistensi.
Maka sebenarnya jika Bijak Memilih tidak berhasil mencapai 50%, 30%, bahkan 10% dari populasi, ya tidak masalah. Mungkin memang tidak akan bisa langsung sebesar itu. Yang terpenting, memulai membangun kesadaran khususnya ke generasi muda, akan pentingnya partisipasi politik. Memulai membangun percakapan, tentang proses politik yang lebih dewasa dan bertanggung jawab. Memulai membangun budaya kritis untuk memilih secara rasional. Memulai membangun the critical mass.
“PELAN-PELAN PAK SOPIR!” kalau kata netizen. Mungkin ada benarnya. Ngapain buru-buru? Lebih baik perlahan, asal selamat. Bahkan mungkin hanya dengan pelan-pelan, kita bisa bersama mencapai tujuan. Sekian tulisan kali ini. Selamat menentukan dengan perlahan. Selamat memilih dengan bijak. Sesuai dengan akal sehat dan nurani kita masing-masing.
Kirim Komentar!