Menyayangi Pak Jokowi Tanpa Memilih Anaknya

Dua Pemilu sebelumnya saya mencoblos Pak Jokowi. Sampai sekarang saya tidak menyesal. Saya masih tetap yakin bahwa pada waktu itu Pak Jokowi adalah pilihan terbaik yang ada di kertas suara. Dan sampai saat ini saya masih menyayangi Pak Jokowi.

Sosok Pak Jokowi jelas membawa harapan akan perubahan, serta asa akan Indonesia yang lebih baik. Baik tentu tidak sekadar pembangunan fisik dan infrastruktur. Seperti yang Pak Jokowi sering sampaikan. Ada yang lebih penting: revolusi mental.

Ini kata-kata Pak Jokowi sendiri di tahun 2014: “Indonesia memerlukan suatu terobosan budaya politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya segala praktik-praktik yang buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang sejak zaman Orde Baru sampai sekarang.”

Memang apa yang berkembang di Orde Baru? Selain korupsi ada juga kolusi, nepotisme, kronisme, penyusupan dan pelemahan lembaga negara, hilangnya supremasi hukum, kemunduran demokrasi, hingga konflik kepentingan masif yang dibiarkan. Eranya bagi-bagi kue dan kuasa pada loyalis buta yang siap melanggengkan kekuasaan majikannya.

Era yang diam-diam ternyata sudah berhasil menyelinap kembali tanpa kita sadari. Mengendap perlahan lalu merangsek masuk ke lingkar dalam kekuasaan. Membuat sebagian kita terlambat sadar, bak katak yang direbus perlahan di dalam panci.

Saya paham. Tak mudah berpolitik tanpa kompromi. Tak mungkin berkuasa tanpa berbalas budi. Tak mungkin memimpin tanpa berkoalisi. Tak ada makan siang gratis, bahkan bagi mereka yang kini menjanjikan makan siang gratis.

Semua tentu ada hitung-hitungannya. Politik dan tarik-menarik kepentingan akan selalu terjadi. Akan

Terlepas dari itu semua saya tetap ingin berterima kasih banyak Pak Jokowi. Atas semua capaian dan pembangunan yang dirasakan Indonesia selama dua periode terakhir beliau. Saya amat menyayangi Pak Jokowi. Oleh sebab itu saya tidak akan memilih anak bapak di Pemilihan Umum nanti. Saya tidak akan membiarkan capaian & torehan baik bapak yang sudah terukir dalam sejarah, tercoreng oleh noda-noda hitam yang tak perlu.

Orson Welles berkata, “If you want a happy ending, that depends, of course, on where you stop your story.” Sebuah cerita bahagia bisa berakhir menyedihkan. Begitu pun sebaliknya: sebuah kisah sedih bisa berakhir bahagia. Semuanya tergantung di mana kita meletakkan titik. Mau sampai mana kita usaikan ceritanya. Tuntas dua periode adalah happy ending terbaik & terhormat bagi setiap presiden Indonesia, termasuk pak Jokowi. Akhir yang baik. Akhir yang paripurna. Tanpa perlu mengganti titik dengan koma.

Karena saya sayang Pak Jokowi, maka saya akan membantu Pak Jokowi memasuki masa pensiunnya dengan tenang. Membiarkan Pak Jokowi pulang beristirahat ke kota asalnya sebagaimana yang ia sampaikan selama ini. Tanpa perlu dipusingkan oleh ingar-bingar politik. Tanpa perlu di masa depan nanti dilibatkan dalam drama keluarga & negara yang tercampur demikian kental.

Biarlah orang lain memimpin. Biarlah Indonesia memiliki pemimpin baru yang terlahir dari proses demokrasi yang luhur, taat konstitusi, dan menjunjung tinggi etika. Estafet kepemimpinan bisa berjalan tanpa mereka yang sedarah. Pak Jokowi sudah membuktikannya kala melanjutkan kekuasaan dari pendahulunya.

Ada narasi bahwa orkestrasi yang akhir-akhir ini terjadi adalah upaya Jokowi untuk kebaikan bangsa dan negara. Bahwa ini adalah jalan ninja beliau untuk menjauhkan bangsa ini dari kehancuran. Saya katakan: taik kucing! Buat saya narasi-narasi tersebut tak lebih dari pemikiran naif anak kemarin sore yang alpa dengan sejarah bangsanya.

Narasi demikian amat menyesatkan. Mungkin mereka lupa. Indonesia sudah ada sebelum Jokowi. Dan Indonesia akan tetap ada jauh setelah Jokowi. Kemajuan dan kemunduran bangsa kita adalah kerja kolektif. Bukan kerja satu-dua orang. Dan pastinya bukan capaian satu keluarga saja.

Bangsa ini terlalu besar dan tangguh untuk diklaim sebagai hasil karya segelintir orang. Bangsa ini terlalu hebat untuk kita gantungkan nasibnya pada orang-orang yang jadi pemimpin hanya karena mereka adalah sperma-sperma yang beruntung. Yang terlahir di tempat dan waktu yang tepat. Yang sedari lahir, berkarir, berbisnis, hingga urusan jodoh pun bergantung koneksi orangtuanya.

Sekali lagi terima kasih, Pak Jokowi. Saya dan jutaan rakyat lainnya begitu sayang dengan Pak Jokowi. Kami tidak rela membiarkan orang yang kami sayang berjalan ke arah yang tak semestinya. Kami tidak sanggup menjadi loyalis buta yang terus berteriak dan memberi semangat, kala langkahmu sedang menuju jurang.

Jika sahabat saya kompasnya sedang rusak dan kemudinya oleng, saya berkewajiban menegur dan memperingatkannya. Itu bukti sayang saya. Karena sayang tak harus selalu mendukung. Sayang tak sedangkal itu. Sayang artinya mengharapkan yang terbaik bagi orang lain. Dan terkadang bentuk sayang adalah tamparan keras untuk menyadarkan.

Saya beruntung, kali ini tidak harus menampar siapa-siapa. Saya cuma perlu mencoblos kandidat selain anak bapak. Dan itu…..gampang banget! hehehehe..

Jakarta, 25 Januari 2024

Kirim Komentar!