Saya Baik-baik Saja, Indonesia yang Tidak.

Beberapa hari ini saya agak tersentuh menerima pesan dari sejumlah kawan. Dari teman kuliah, teman di luar negeri, juga followers di Instagram. Pertanyaannya beragam, tapi intinya mirip-mirip, “Are you all right?”

Jawaban saya sederhana: iya, saya baik-baik saja. Indonesia yang tidak.

Saya paham kegelisahan mereka. Saya paham keresahan mereka. Akhir-akhir ini, kegilaan demi kegilaan hadir di Indonesia. Tidak ada yang ulang tahun, tapi setiap hari ada saja kejutan.

Jurnalis diancam (juga ada yang dibunuh). Aktivis diretas dan diserbu buzzer. Demonstran dipukuli dengan keji. Mereka yang bersuara lantang dijadikan sasaran tembak anjing-anjing penguasa.

Saya tidak tahu hingga kapan suara-suara perlawanan ini bisa bertahan. Saya tidak tahu sampai sejauh mana pergerakan ini bisa terus dirawat. Saya tidak tahu kapan rasa cinta ke negara ini akan habis.

Seems like there’s no light at the end of the tunnel.

Sejujurnya saya tidak tahu saya ini baik-baik saja atau tidak. Kalau ditanya keadaan fisik, tentu baik. Tidak ada ancaman nyata selain ancaman asam urat yang terus mengintai kalau saya kebanyakan makan Gyukaku.

Kalau sebatas serangan digital mah, sering. Cacian, hujatan, komentar, dan DM-DM yang tidak manusiawi, masuk nyaris setiap hari. Biasanya dari akun-akun bodong. Langsung saya hapus dan blokir. Gak ambil pusing.

Usaha mengambil-alih akun media sosial saya? Pernah, tapi tidak berhasil. Usaha fitnah dan pembunuhan karakter di Twitter? Pernah, lagi-lagi, tidak mempan, wong sayanya aja udah pensiun dari Twitter. Jadinya kayak menggonggong ke tembok kosong aja mereka.

Serangan lebih dari itu, alhamdulillah belum.

Mungkin mereka juga bingung mau mengancam dan menjinakkan saya pakai apa. Soalnya uang dan surga tidak pernah jadi tujuan saya. Disumpel pakai duit, gak mempan. Diancam pakai dalil-dalil agama, apalagi. Gak bakal masuk.

Secara psikis? Mungkin baik. Meski jauh di lubuk hati saya makin hari cuma dihiasi kegelapan dan harapan yang kian menipis. Hari demi hari, kian sulit mencintai negara ini. Yang lebih sulit lagi, harapan nyaris tidak ada.

Mau mengharapkan perubahan lewat jalur apa? Pendidikan? Pfft. Kualitas pendidikan kita sengaco itu.

Mengharapkan perbaikan lewat jalur politik praktis? Jangan harap. Kita tidak punya oposisi. Partai dan politisi sudah dijinakkan kekuasaan dan diancam sprindik. Sebangsat-bangsatnya Amerika Serikat saat ini, masih ada politisi-politisi yang sanggup mengumpulkan massa dan lantang melawan penguasa. Kita? politisinya lagi sibuk velocity.

Mengharapkan konsolidasi gerakan di saat kelas menengahnya disibukkan dengan urusan perut bukan perkara mudah. PHK di sana-sini. Ekonomi memprihatinkan. Indeks saham terus turun. Rupiah sekarat.

Mengharapkan ada aksi besar seperti 1998 saat rakyatnya dipolarisasi sedemikian rupa, sangatlah sulit. Masyarakat sengaja dibelah, kebencian dirawat, agar konflik horizontal mudah direkayasa dan diletuskan kapan pun penguasa butuh.

Mengharapkan media yang seberani itu melawan penguasa? Ya sulit. Berbisnis media tidaklah mudah. Mengambil posisi berseberangan, artinya siap-siap keran pemasukan iklan dari K/L dan BUMN seret. Mau makan apa jurnalis kita? Maka saya sejatinya tidak heran-heran amat melihat jurnalis yang sebelumnya sebegitu lantang, kini memilih posisi aman.

Di Amerika Serikat, The Atlantic berani ambil posisi seperti itu (hingga menyerang seluruh pejabat tinggi Gedung Putih imbas kasus kebocoran rencana perang di Signal) salah satunya karena bisnis mereka sudah aman. Dalam tiga tahun, mereka berhasil membalikkan kondisi minus jadi plus. Media-media besar seperti LA Times, New York Times, & The Washington Post memilih posisi aman.

Jadi, mau melawan lewat apa kita? Jujur, saya juga gak tahu. Saya tidak ingin 1998 terulang, biaya yang harus dibayarkan oleh negara ini terlalu besar. Pre-kondisi yang harus mendahuluinya juga begitu kejam: krisis ekonomi yang meluluhlantakkan kehidupan masyarakat.

Saya bermimpi suatu saat masyarakat bisa berkonsolidasi dengan lebih baik. We need more community organizers! Tunas-tunasnya sudah mulai terlihat, tapi masih butuh waktu untuk tumbuh sempurna. Selama ini hidup nyaman membuat kita lengah dan jadi lemah. Hard times create strong men. Strong men create good times. Good times create weak men. And, weak men create hard times. Klasik.

Saya bermimpi suatu hari nanti kita bisa sesolid masyarakat Serbia. Ratusan ribu warganya turun ke jalan padahal populasi mereka hanya enam juta. Jadi, sekitar 5% warganya turun ke jalan! Bayangkan kalau belasan juta masyarakat kita bersatu dan menuntut akuntabilitas pemerintah? Gemeter itu Mayor Teddy. Yakin saya.

Saya bermimpi suatu hari nanti kita bisa mengalahkan algoritma dan buzzer, lalu menyatukan kekuatan di dunia nyata. Bukannya terpecah karena pilihan politik Pilpres kemarin. Bukan malah terpecah karena kepentingan dan kenyamanannya terganggu. Bukan malah dipecah-pecah karena isu selangkangan pejabat & selebritinya.

Ah elah, kenapa jadi panjang, ya. Udah, sih, gitu aja.

Intinya saya cuma mau berterima kasih ke semua teman dan sahabat yang sudah menghubungi dan menanyakan kabar saya. Di sini saya cuma mau menjawab sekali lagi:

Saya baik-baik saja. Indonesia yang tidak.

Semoga suatu hari nanti, semua kembali baik.

Kirim Komentar!