Psikologi dan Segenap Mitologinya

gaelle-marcel-8992
Photo by Gaelle Marcel on Unsplash

 

Ada banyak mitos dan salah kaprah terkait Psikologi di luar sana. Hal ini tentu ga sehat, baik bagi yang menjalaninya entah sebagai mahasiswa pun praktisi, juga bagi masyarakat yang mempersepsikannya. Ga sehat karena bisa menimbulkan ekspektasi tidak logis terhadap mereka-mereka yang belajar Psikologi. Buat masyarakatnya juga ga sehat, membuat adanya jarak dan tembok yang sebetulnya ga perlu.

Berikut sejumlah mitos yang rasa-rasanya sudah boleh ditenggelamkan jauh-jauh ke dasar laut. Semoga berguna buat yang baru mau kuliah Psikologi, baru mau ngegebet mahasiswa Psikologi, atau yang udah lagi kuliah tapi bingung kok belum bisa baca pikiran dan telepati.

MEMBACA ORANG
Ga kok, belajar Psikologi ga serta merta membuat seseorang jadi jago membaca orang. Apalagi bisa baca pikiran orang yang baru kenal. Kalau dilatih untuk bisa mengamati manusia dan perilakunya, iya ga salah. Belajar memahami dan berempati sama orang lain juga iya betul. Tapi itu semua butuh proses dan latihan yang panjang. Jangan menganggap mereka itu kayak Sherlock, yang cukup lihat sekilas udah tahu bahwa kamu itu namanya siapa, pekerjaannya apa, mau makan apa, dan kalau ulang tahun mau kado apa.

PSIKOLOG & PSIKIATER
Nah ini juga seringkali dianggap sama. Tapi nyatanya beda loh. Semua mahasiswa Psikologi yang menyelesaikan jenjang S1 akan berakhir menjadi Sarjana Psikologi. BUKAN Psikolog! Psikolog itu perlu studi lanjut lagi, magister profesi namanya. Jadi, semua yang S2 di bidang Psikologi pasti jadi Psikolog? Gak juga. Ada program S2 yang non profesi, seperti yang saya ambil. Programnya itu Magister Sains, fokusnya umumnya lebih ke keilmuan dan riset.

Lantas Psikiater itu apa? Nah kalau itu jalurnya dari studi kedokteran, yang lantas mengambil spesialisasi kejiwaan. Keduanya bisa saja bekerjasama, tapi masing-masing memiliki tugas, pendekatan, dan lingkup wewenang yang berbeda tentunya. Misalnya nih, seorang Psikolog tidak berwenang memberikan preskripsi obat-obatan bagi kliennya, tapi Psikiater bisa. Ini contoh yang paling gampang, tapi tentu bukan cuma ini bedanya.

JAGO HIPNOTIS!
Ini juga mungkin cukup mengejutkan ya buat beberapa orang. Tapi ya, ini keliru. Jangan keburu minta tolong sama temen situ yang kuliah Psikologi untuk hipnotis gebetan kalian biar jatuh ke pelukan kalian. Plis deh, itu mah pelet namanya.

Jadi, sebagai sebuah ilmu pengetahuan, di Psikologi hanya mempelajari teori dan metode yang ilmiah. Apa syarat ilmiah? Salah satunya bisa direplikasi. Bisa diuji dan diulang di berbagai kondisi dengan hasil yang sama. Cukup banyak produk pseudosains (seakan-akan ilmiah padahal tidak) yang dikira bagian dari Psikologi, termasuk hipnotis, baca garis tangan, baca tulisan, dan lainnya. Ini bukan berarti semua hal itu sudah pasti salah loh, nggak gitu juga. Bisa jadi ada yang berhasil, juga ada bukti-bukti yang mendukung, tapi sampai detik ini Psikologi secara keilmuan belum mempelajari hal tersebut.

MELULU GANGGUAN JIWA
Belajarnya tentang gangguan jiwa, magangnya ke RSJ, kerjanya juga nanti menangani kasus gangguan jiwa saja. Gak, ini sama sekali tidak benar. Bahwa itu merupakan salah satu hal yang dipelajari di Psikologi, ya betul. Tapi Psikologi ga semata tentang gangguan jiwa. Dan Psikolog ga hanya menangani kasus-kasus demikian.

Mitos ini yang bahaya, membuat orang enggan konseling atau ke Psikolog karena takut dianggap memiliki gangguan jiwa. Akhirnya banyak yang nunggu “parah banget” baru dengan “terpaksa” ke Psikolog. Padahal, gak ada salahnya lho mendeteksi dan mengelola masalah emosional dan psikis sedini mungkin. Batuk pilek saja banyak kan yang ke dokter, kenapa stres atau tertekan perlu takut ke Psikolog? WHO saja sudah menyatakan bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik.

CUMA BISA JADI HRD!
Eits, jangan salah. Meski banyak lulusan Psikologi yang terjun ke dunia HRD atau Sumber Daya Manusia, pilihan karir setelah lulus itu beragam banget. Gak sedikit yang menjadi guru PAUD atau ABK, jurnalis, konsultan, pengusaha, penulis, peneliti, juru masak, desainer grafis, pekerja kreatif, aktivis LSM, dosen, artis, pekerja perbankan, marketing, ibu rumah tangga, relasi publik, dan masih banyak lagi! Ilmu yang didapat pas kuliah itu seputaran memahami manusia memang, tapi bagaimana ilmu itu kalian pakai setelah lulus ya suka-suka kalian. Buat saya sih, selama di bidang pekerjaan itu ada aspek manusianya, ya ilmu Psikologi kepakai-kepakai saja sih.

Sebenarnya masih banyak mitos keliru yang berkaitan dengan Psikologi. Mungkin tulisan ini akan saya lanjutkan di kemudian hari. Takutnya kepanjangan, kasihan kan yang baca nanti terhipnotis jadi tidur. hehe..

Apa mitos yang sering kamu dengar?

Yuk kita bahas bareng.

#CelotehPsikologiBersambung
Tulisan Ketiga.

 

Singapura, 15 Desember 2017
Okki Sutanto

How to Get Away with Corruption!

Step one: discredit the witness. Step two: introduce a new suspect. Step three: bury the evidence. That’s how you get away with murder. Demikianlah kalimat sakti dari Annalise Keating, sang profesor hukum sekaligus pengacara, ketika mengawali kuliah di depan ratusan mahasiswanya, di episode pertama serial drama televisi produksi ABC yang sedang hangat di Amerika.

Saran yang amat dipertanyakan moralitasnya itu diucapkan tanpa ragu, berdasarkan pengalaman menjadi praktisi dan akademisi hukum selama bertahun-tahun. Ya, siapapun tahu, hukum tak selalu menjunjung tinggi etika, apalagi moralitas. Selalu ada celah dalam sebuah sistem hukum, dimana kebenaran amat bergantung pada saksi, tersangka, bukti, juri, dan penegak hukum, yang tentunya selalu punya ruang untuk dimanipulasi dan diagendakan.

Serial drama How to Get Away with Murder tersebut, seberapapun seru dan bagusnya, baik dari segi rating, kritik, maupun penghargaan, tentu kalah seru dengan drama politik yang sedang berlangsung di negeri ini. Dua institusi penegak hukum, Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sedang berseteru hebat dengan plot, karakter, hingga kejutan yang mengalahkan sinetron manapun.

Semua bermula dari penetapan Budi Gunawan, sang calon Kapolri yang sudah diusulkan Jokowi dan disetujui DPR, sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Semenjak itu, sejumlah jurus dan manuver pun dilancarkan entah oleh Budi, Ibu Budi, atau Kawan-kawan Budi. Melihat segala macam manuvernya, mau tak mau, saya teringat kalimat sakti di awal tulisan ini, yang teramat mirip.

Step one: discredit the witness (law enforcer). Selang sehari setelah penetepan Budi sebagai tersangka, muncul serangan terhadap Ketua KPK, Abraham Samad. Serangan berupa foto-foto mesra palsu dengan Puteri Indonesia. Diikuti serangan dari Plt. Sekjen PDI-P yang menyatakan pertemuan rahasia Abraham Samad dengan petinggi PDI-P di masa Pemilu lalu, dan ambisi Samad menjadi Wakil Presiden Jokowi. Belum lagi serangan dari Istana yang menyatakan KPK bermain politik praktis dan mengincar Budi Gunawan. Intinya, sejumlah serangan tersebut mendiskreditkan Abraham Samad secara individu maupun KPK secara institusi.

Step two: introduce a new suspect (target). Drama makin seru ketika Wakil Ketua KPK, Bambang Widjonanto, ditangkap dengan tuduhan membuat saksi memberikan keterangan palsu di persidangan. Kasus lama bertahun-tahun lalu, yang diadukan oleh politisi gagal, dan diproses oleh Polri lebih cepat dari delivery KFC, dengan prosedur yang lebih aneh dari sinetron Indonesia manapun. Media dan masyarakat pun diperkenalkan dengan target dan tersangka baru: para pimpinan KPK. Segera setelah Bambang, satu per satu pimpinan KPK lain pun diadukan ke polisi atas kasus aneh bertahun-tahun lalu, oleh pelapor yang entah mencari popularitas atau memang mendapat “instruksi” entah dari mana.

Step three: bury the evidence. Hingga kini drama belum usai. Tahap terakhir, pengaburan dan penghilangan bukti, masih belum sempurna dilaksanakan. Setelah pasukan gelap gagal “menyerbu” gedung KPK dan rumah ketua PPATK, dimana bukti-bukti kasus Budi potensial berada, jurus lain masih diusahakan. Saksi-saksi kasus Budi, para perwira yang dekat atau anak buah Budi, yang sudah dua kali dipanggil oleh KPK, mangkir dari panggilan, dan hingga kini entah dimana keberadaannya. Perusahaan-perusahaan terkait transaksi tak wajar Budi dan anaknya, sudah berstatus bangkrut / tutup dan tidak jelas rimbanya, termasuk perusahaan finansial asal Australia yang mengucurkan kredit puluhan miliar rupiah kepada anak Budi beberapa tahun silam.

Demikianlah. Formula yang mirip, dipraktikan dengan segala adaptasinya untuk drama bertajuk How to Get Away with Corruption di negeri ini. Drama jelas belum usai, entah akan sampai episode dan musim keberapa ini baru akan usai. Harapan publik jelas, kedua institusi tidak bergesekan, dan KPK tidak dilemahkan. Dan pemain kunci yang bisa membuat segalanya berubah, masih kita tunggu aksinya. Apapun itu, semoga tidak merupakan kompromi terhadap partai pendukung atau mafia hukum dan korupsi di Indonesia. Semoga.

%d bloggers like this: