Menciptakan Anak-anak Ngehe

…pengakuan mantan remaja ngehe.

Belakangan ramai soal kasus perundungan di salah satu sekolah swasta yang melibatkan anak pesohor. Sebagian menyalahkan para remaja pem-bully. Sebagian menyalahkan sekolahnya. Sebagian lagi menyalahkan orangtua para remaja yang dianggap tidak bisa mendidik anak. Ada juga yang menyalahkan korban karena dianggap layak mendapatkannya.

Menyalahkan memang mudah. Mencari kambing hitam mungkin jalan pintas yang bisa mendatangkan ketenangan dan rasa nyaman. Bahwa ini ulah orang lain. Bahwa kita luput dari kesalahan. Bahwa kita berada jauh dari kejadian ini. Tapi, sejatinya berhenti di menyalahkan saja tak membawa kita kemana-mana. Mencari kambing hitam tak menyelesaikan masalah.

Nyatanya, perundungan tak hanya terjadi kali ini. Ia terjadi di banyak tempat. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat, sepanjang 2023 terjadi 30 kasus perundungan di satuan pendidikan. Kompas menulis terjadi 136 kasus kekerasan di sekolah sepanjang 2023, dengan korban meninggal mencapai 19 orang. Kasus perploncoan di dunia pendidikan juga bukan hal baru, sudah sejak dulu rutin kita dengar. Tak jarang hingga jatuh korban jiwa.

Jika kasusnya terjadi di banyak tempat dan sejak lama, jangan-jangan sekadar menyalahkan 1-2 pihak saja tak membawa kita ke mana-mana. Mungkin ada yang perlu kita perbaiki dengan bagaimana kita sebagai masyarakat berfungsi. Mungkin, kita pun punya porsi kesalahan masing-masing.

Sebelumnya, saya ingin bercerita sedikit bahwa di masa remaja pun saya sempat menjadi bocah ngehe. Berteman dengan bocah-bocah yang lebih ngehe lagi. Juga melihat dengan mata kepala sendiri kengehean-kengehean remaja pada masanya. Kenapa kenakalan remaja bukan barang baru, dan bagaimana kita bisa berperan memeranginya.

Saat SMP, saya bersekolah di sebuah sekolah swasta di bilangan Jakarta Pusat. Lokasinya sangat strategis. Selain dilewati banyak Kopaja, Metromini, dan angkot, juga cuma selemparan kolor dari SMK Boedoet dan Strada, dari Matraman, Poncol, dan Senen. Kesemuanya episentrum tawuran & kriminalitas pada masanya. Melihat siswa saling serang dan lempar-lemparan batu bahkan bawa-bawa senjata tajam sih, gak asing-asing amat.

Untungnya sekolah saya gak terlibat langsung. Maklum, sekolah Katolik. Nerapin sistem politik bebas aktif. Kita BEBAS-kan sekolah lain saja yang AKTIF tawuran. Kitanya mah nontonin aja dari pinggir. Toh kenakalan remaja di sekolah saya juga gak sedikit. Yang ngebut-ngebutan naik motor. Yang barter bokep di sekolah. Yang berantem dan gebuk-gebukan sampe bonyok. Yang hamil di luar nikah. Yang malak & ngembat HP sesama siswa juga ada. Intinya, kita juga udah sibuk sama kenakalan-kenakalan internal. Gak ada waktu buat tawuran sama sekolah lain.

Pas SMA saya pindah ke SMA yang terbilang favorit di Jakarta Timur. Lokasinya di komplek perumahan orang kaya. Jadi harusnya lebih baik daripada SMP saya dulu. Bener sih, siswanya lebih baik-baik. Malah sayanya yang jadi bocah ngehe! hahaha. Hari-hari pertama sekolah beberapa kali diusir guru dari kelas karena tidur & gak ngerjain tugas. Sempat diskors ke ruang guru juga. Puncaknya saat diskors karena bolos dan terancam tidak naik kelas. Kami bolos berempat. Yang ujungnya naik kelas cuma saya sendiri. Gak setiakawan emang…

Well, gak semuanya anak baik-baik juga sih ternyata. Mungkin beda aja nakalnya dibanding sekolah saya sebelumnya. Barengan senior ngebohongin kepala sekolah biar dapet ijin buat tanding basket (padahal gak ada pertandingan hari itu), pernah. Loker sekolah dihilangkan karena ditemukan kondom bekas & video bokep, iya. Ribut sama sekolah lain pas lagi pertandingan olahraga, juga pernah. Bahkan di salah satu warnet favorit para siswanya, rokok, miras, sama cimeng sih bukan pemandangan yang asing-asing amat.

Intinya, saya cukup memahami kenapa remaja banyak melakukan kegoblokan. Wong saya sendiri juga banyak melakukan dan melihat kegoblokan pas remaja. Remaja dan kegoblokan adalah dua hal yang sudah sepaket: juvenile delinquency. Dan ini gak hanya terjadi di Indonesia aja. Di semua negara juga terjadi. Bahkan negara maju.

Apa penyebabnya? Ya banyak. Multifaktor. Gak cuma satu-dua saja.

Pertama-tama, perkembangan otak remaja yang belum sempurna. Area prefrontal cortex, yang bertanggungjawab untuk regulasi emosi dan aksi, berpikir panjang & memikirkan konsekuensi, belum berkembang sempurna hingga usia 25 tahun. Makanya di banyak negara, sistem peradilan anak & remaja dibedakan dengan sistem peradilan orang dewasa. Makanya ada usia legal minimum untuk melakukan berbagai hal. Karena remaja ya….masih goblok.

Kedua, secara psikologis tugas perkembangan psikososial remaja ya pencarian jatidiri. Identity versus confusion, kalau kata Erikson. Yang membuat peer pressure dan lingkaran pergaulannya turut menentukan. Mencari pengakuan, validasi, hingga perhatian, ya hal yang lumrah dilakukan remaja.

Faktor sosial-ekonomi, keluarga, sekolah, media, program pemerintah, hingga kebijakan publik juga tak terpisahkan. Teori model ekologis dari Urie Bronfenbrenner menggambarkan dengan jelas bagaimana perkembangan seorang individu amat dipengaruhi beragam sistem dan komponen lain dari lingkup terkecil hingga terbesar. Dari sistem mikro hingga makro.

Jadi, sibuk menyalahkan 1-2 pihak saja tidak membantu banyak. Tak peduli sebaik apa orangtuanya, kalau sistem lainnya gagal, bisa jadi percuma. Mau sesempurna apa sekolahnya, kalau sistem lainnya gagal, ya sama aja bohong. Semua punya peran. Semua punya andil. Kenakalan remaja tidak terjadi di ruang vakum. Semua komponen saling mempengaruhi.

Media dan perkembangan internet juga tak kalah penting. Saya beruntung dulu media sosial tidak semasif ini. Kenapa? Pertama, ketololan saya ya tidak tersebar luas. Cuma diketahui oleh saya dan lingkungan saya saja. Tidak ada jejak digital. Tidak perlu sampai viral. Jangan-jangan banyak dari kita pas remaja dulu sebenarnya gak kalah ngehe dari anak-anak muda zaman sekarang.

Kedua, saya terbebas dari pengaruh-pengaruh ekstrem, maskulinitas toksik, juga kekerasan yang diglorifikasi oleh media. Masih ada lho, orang-orang yang menganggap bahwa laki-laki itu dinilai kelaki-lakiannya dari adu otot. Masih banyak lho, pengagum seorang aktor tanah air yang sering ngajak gelut stranger di Twitter. Masih sering lho, saya saksikan konten-konten maskulinitas rapuh berbalut alpha male-alpha male taik kucing bertebaran di ruang digital.

Dulu, role model saya ya gak jauh-jauh dari lingkungan terdekat. Orangtua sendiri. Guru & pengajar. Atau aktor-aktor yang sering muncul di layar kaca, yang jumlahnya terbatas dan terkurasi dengan selektif. Ari Wibowo, Dede Yusuf, Primus, hingga Nicholas Saputra di awal 2000-an. Anak zaman sekarang pilihan role modelnya tak terbatas. Dari Andrew Tate sampe selebgram lokal yang kerjanya jualan cara cepat kaya tanpa kerja keras. The curse & paradox of choice, lebih banyak pilihan bukan berarti kita jadi punya pilihan-pilihan yang lebih baik.

Pada akhirnya saya setuju bahwa it takes a village to raise a child. Mengurus anak bukan cuma peran orangtuanya, sekolahnya, apalagi Youtuber favoritnya. Ini kerja komunal kita semua. Ini tanggung jawab kita bersama sebagai masyarakat.

Kembali ke pengalaman saya saat remaja dulu. Kadang saya juga bertanya-tanya. Apa yang membuat saya tidak melompat pagar terlalu jauh? Kenapa saya tidak sampai melakukan kenakalan-kenakalan yang melukai diri sendiri atau orang lain? Jawabnya….saya beruntung. Sesederhana itu. Bukan karena saya lebih baik dari mereka. Bukan karena saya secara moral dan iman lebih kuat.

Saya beruntung, punya orangtua yang tak segan menegur, memarahi, hingga menghukum saya sekeras mungkin kala berbuat salah. Saya beruntung, saat ketahuan bolos guru BP dan sekolah langsung memanggil orangtua saya dan memberikan sanksi berat. Saya beruntung, lingkungan terdekat saya bisa menerima saya apa adanya. Saya beruntung, memiliki buku-buku untuk saya baca sebagai tempat pelarian & sarana penemuan jati diri.

Saya beruntung, tidak terpapar pengaruh dan glorifikasi kekerasan berlebih dari internet. Saya beruntung, punya guru-guru yang menjadi teladan melalui tutur kata dan keseharian mereka. Saya beruntung, di sekolah bisa ikut ekskul bola dan basket dan energi saya habis untuk latihan dan bertanding. Saya beruntung, tidak berada di tempat dan waktu yang salah.

…tapi tidak semua orang seberuntung saya.

Tidak semua orang seberuntung kita. Mereka mungkin ada di lingkungan yang salah. Di sekolah yang kurang tepat. Mendapat didikan dan asuhan kurang baik. Terpapar pengaruh kurang bijak dari media. Menjadi korban kurikulum dan kebijakan pendidikan yang kurang tepat sasaran.

Sehingga menjadi tugas kita bersama untuk memastikan lebih banyak remaja-remaja yang beruntung dalam masyarakat kita. Serta menjadi masyarakat yang ramah bagi mereka yang kurang beruntung. Ini bukan salah 1-2 pihak. Dan pastinya tidak ada solusi instan yang bisa menyelesaikan segala masalah.

Tanpa kemauan dan kerjasama semua pihak, kita cuma menanti bom waktu kasus-kasus perundungan di masa depan. Sehabis Geng Tai, mungkin nanti akan terbit Geng Eek. Geng Feses. Geng Kentut. Geng Cepirit. Dan geng-geng produk akhir saluran pencernaan lainnya.

Sekian tulisan saya kali ini.

Sampai jumpa di tulisan berikutnya!

Jakarta, 23 Februari 2024

Kirim Komentar!