Siksa Kubur: Komedi Terbaik Joko Anwar

Sebagai penikmat karya-karya Joko Anwar, tentu saya tidak mau melewatkan film Siksa Kubur. Apalagi mendengar hype, debat, & review orang-orang yang sudah menontonnya. Salah satu teman saya bilang gini, “Gue abis nonton besoknya langsung ke Katedral”. Saya gak nanya sih dia ke Katedral buat ibadah apa beli somai. Tapi anggap aja yang pertama, ya. Sukses bikin saya makin gak sabar buat nonton.

Hari Kamis kemarin saya sempetin mampir ke bioskop buat nonton. Sendirian. Pas beli tiket, saya lihat teaternya masih kosong, tapi saya masih positive thinking. “Ah, nanti juga rame”, batin saya. Lima menit sebelum film mulai, saya masih duduk sendirian di tengah bioskop. Perasaan saya mulai gak enak. Tiga menit sebelum film mulai, saya mulai membatin “Ni kalo masih gak ada penonton lain sama sekali, abis iklan Nicsap gue cabut aja lah…”

Untungnya tepat sebelum film dimulai, beberapa penonton lain mulai memasuki bioskop. Alhamdulillah! Kan gak lucu juga ya kalau filmnya memang semenyeramkan itu, lalu setannya harus diusir pakai doa agama Islam. Masak saya harus mendadak login? hehe..

Tapi urusan ini memang salah saya sendiri, ya. Nontonnya di hari biasa. Pas jam kerja. Di bioskop daerah SCBD, pula. Pas saya nonton ya warga SCBD masih pada sibuk kerja, lanyard-nya masih ngegantung di leher, belum dipake tap out.

Filmnya sendiri gimana? Satu yang wajib diacungi jempol adalah pemilihan lokasi syuting yang luar biasa: Panti jompo jadul; Terowongan terbengkalai; Pesantren di tengah hutan; Ruang mandiin jenazah; hingga kuburan sepi (ya semua kuburan juga sepi, sih). Tapi intinya, dari lokasinya aja sudah sukses bikin merinding. Vibes-nya udah horor banget. Effortlessly scary. Tanpa dialog dan musik pun emang udah mencekam dari sananya.

Sayangnya, semua potensi horornya kurang tergarap maksimal. Di beberapa momen malah ngandelin CGI untuk membangkitkan kengerian. Keputusan kreatif yang berujung hit & miss. Kadang sukses, kadang saya malah fokus sama detil CGI-nya yang….gitu deh. “Ini monster dari God of War mana? Ini ularnya mirip sama Pokemon jenis apa, ya?”

Sehabis nonton saya diskusiin film ini sama beberapa teman. Beberapa poin kekurangan mengemuka: (1) Debat filosofis yang kentang: nanggung & gamang menentukan posisi; (2) Isu kontinuitas dan jembatan naratif yang rapuh; hingga (3) ending inkonklusif yang membuka ruang interpretasi seliar itu bagi penontonnya.

Untuk isu pertama, bagi saya wajar. Kalau terlalu filosofis takutnya membuat sebagian penonton kesulitan mengikutinya. Isu kedua, bagi saya sebatas problematika pengejawantahan ide. Dari sejak ide masih di kepala, diturunkan menjadi storyboard, dirajut menjadi skenario utuh, hingga ke shooting dan editing, sangat mungkin terjadi lost in translation. Beberapa bagian terlihat melompat tanpa penjelasan memadai. Tapi, secara umum plot & cerita besarnya masih bisa diikuti. Tidak sememusingkan itu. Isu ketiga, urusan selera. Saya sih suka-suka saja dengan ending yang membuka ruang debat dan diskusi.

Isu terbesar saya dengan film ini adalah kegagalan filmnya membuat saya peduli dengan karakter utamanya: Sita. I don’t find her relatable, at all. I don’t give a shit dia mau menang kek, kalah kek, mati kek, dapet siksa kubur kek. I simply don’t care. Simpati dan empati saya gak terbangun buat dia. Saya malah lebih peduli sama Adil, kakak Sita. Atau bahkan pasangan lansia gemas di panti jompo: Pandi dan Nani.

Saya melihat Sita gak lebih dari sekadar mesin. Robot. Yang hidupnya cuma punya satu tujuan: membuktikan kebenaran versinya. Dan segala hal yang dilakukan sepanjang hidupnya ya untuk mencapai itu aja. Sekalkulatif, sedingin, seanalitikal itu. A one-dimensional character. Kehidupan pribadi, gak tergali. Hobi, gak ada. Teman, gak punya. Ujungnya ya saya gak bisa memanusiakan dia. Saya lebih bisa berempati ke Thanos atau Joker, dibanding ke Sita.

Apakah filmnya seram? Ya tentu, namanya juga film horor. Urusan membangun suspens, membangkitkan kengerian, dan menciptakan atmosfer mencekam, Joko Anwar jagonya. Meski entah kenapa di sejumlah adegan saya malah ketawa ngakak, alih-alih ketakutan. Misalnya pas Suster Lani nancep-nancepin pisau. Pas ada “boneka mampang” nari-nari di tengah terowongan. Pas adegan perselingkuhan lintas generasi. Hingga kemunculan makhluk yang menyerupai monster di game God of War. Gak tahu kenapa, saya malah ketawa.

Saya pun sempat bingung ini sebenarnya film horor atau film komedi. Lalu tiba-tiba saya tersadar, bagaimana kalau film ini sebenarnya adalah komedi terbaik Joko Anwar? Terlebih, setelah dipikir-pikir, film ini mengingatkan saya sama Divine Comedy-nya Dante.

Buat yang gak tahu, Divine Comedy karya Dante Alighieri adalah salah satu karya sastra monumental dan terpenting sepanjang sejarah. Diterbitkan pada abad ke-14. Puisi naratif ini menceritakan tentang perjalanan sang tokoh utama menjalani kehidupan setelah kematian dalam perspektif gereja Katolik abad pertengahan. Pertanyaan besarnya: “Emang ada kehidupan seusia kematian? Apa yang terjadi dengan dosa-dosa kita?”

Persis pertanyaan besar Sita dan film Siksa Kubur. Soal eksplorasi kehidupan pasca kematian. Soal dosa. Soal hukuman pendosa. Dan sama seperti Divine Comedy: keduanya sarat kritik sosial terhadap kondisi politik, sosial, dan agama pada konteksnya masing-masing. Divine Comedy terhadap otoritas absolut Gereja Katolik abad pertengahan. Siksa Kubur pada pemaknaan keislaman masyarakat kontemporer.

Pada Divine Comedy, kehidupan pasca kematian memiliki tiga tahapan: inferno, purgatorio, dan paradiso. Di film Siksa Kubur, inferno dan purgatorio terbagi tepat di midpoint: saat Sita masuk ke liang kubur bersama jenazah Wahyu.

Sebelum masuk ke liang kubur adalah tahapan inferno: masa-masa mempertanyakan dosa & mempertanyakan Sang Ilahi lewat rasionalitas dan ilmu pengetahuan. Lewat debat-debat Sita dengan guru-guru agama di pesantren & Wahyu di panti jompo. Sesudah Sita masuk ke liang kubur, tibalah tahapan purgatori: masa penghukuman dosa, penyesalan, dan pertobatan. Lewat siksa kubur dan segala ganjaran yang harus ia jalani.

Tunggu-tunggu, kenapa Divine Comedy disebut komedi? Nah, makna komedi hari-hari ini dan 700 tahun lalu agak beda, ya. Zaman dulu tuh karya sastra, khususnya puisi, cuma ada 2 jenis: tragedi dan komedi. Di tragedi, semuanya mati di akhir cerita. Sad ending. Di komedi: gak semuanya mati. Sesederhana itu. Kalau gak semuanya mati, tergolong happy ending, maka disebut komedi.

Demikian pula Siksa Kubur. Ada nuansa happy ending di akhirnya, meski tentu tergantung happy ending-nya bagi siapa dan dari perspektif apa. Bagi saya, filmnya happy ending karena Joko Anwar memilih untuk bermain aman. Tidak berusaha mendisrupsi dan menimbulkan gejolak agama pun sosial. Juga sukses melepaskan diri dari segala risiko film ini dianggap penistaan agama. Yes, that itself is a happy ending.

Pada akhirnya Siksa Kubur adalah film horor yang brilian. Bagi para penikmat karya Joko Anwar. Para penyuka film horor. Juga pecinta film Indonesia. Wajib nonton Siksa Kubur. Horornya berkualitas, bukan sekadar jumpscare murahan. Suspens dibangun rapih dengan pemilihan lokasi, audio, dan dukungan departemen audio yang gemilang. Adegan mesin cuci saya jamin bakal susah dilupakan untuk jangka waktu yang panjang. Joko Anwar lagi-lagi menunjukkan kelas & kualitasnya.

….but for me it’s definitely not his best work. Saya masih lebih menikmati Perempuan Tanah Jahanam, Pengabdi Setan, dan Pintu Terlarang. Urusan ending bahkan bagi saya A Copy of My Mind masih lebih brengsek dan unsettling.

Saya berharap lebih dari seorang Joko Anwar. Semoga karya-karyanya ke depan bisa membawa kengerian yang lebih dahsyat lagi.

Karena kalau cuma segini doang sih saya masih lebih takut sama seorang Joko Widodo dibanding seorang Joko Anwar.

Sekian dan sampai jumpa!

Kirim Komentar!