Belajar dari Yellow Box Junction

Di sejumlah jalan protokol ibukota, khususnya di persimpangan, kadang kita jumpai kotak besar dengan tanda silang, dicat di jalan dengan warna kuning. Kotak itu namanya Yellow-Box Junction (YBJ), yang salah satunya kita jumpai di persimpangan dekat Sarinah, Thamrin. Ada pun YBJ merupakan area “sakral” di persimpangan, yang hanya bisa dilintasi jika arus lalu lintas setelahnya lancar, sehingga kendaraan bermotor tidak boleh terjebak di area YBJ karena akan menyebabkan kemacetan bagi kendaraan dari arah lainnya. Dengan kata lain, sekalipun lampu pengatur lalu lintas berwarna hijau, kita tetap tidak diperkenankan maju melintasi area YBJ, jika jalanan di depannya masih padat dan kita berpotensi terjebak di YBJ.

Mulai digunakan di Inggris sejak tahun 1960-an, di Jakarta sendiri YBJ baru diperkenalkan pada tahun 2010. Empat tahun sesudahnya, penerapan YBJ berjalan di tempat. Jangankan pengendara, aparat pun seakan belum paham apa itu YBJ. Jangankan sanksi, sekedar edukasi pun tidak pernah diberikan aparat bagi para pengendara. Padahal, jika YBJ diedukasikan dengan baik dan dipatuhi para pengendara, sejumlah skenario kemacetan di persimpangan jalan bisa berkurang dengan drastis.

Sekilas, YBJ memang sekedar alat dan aturan praktis yang digunakan untuk ketertiban lalu lintas. Namun, jika kita merefleksikan lebih jauh ternyata ada nilai filosofis yang bisa kita pelajari dari sana. Dengan YBJ, pengendara diajarkan untuk mengedepankan kepentingan khalayak, dan menahan ego pribadi dengan mengejar kepentingan sendiri. Sekalipun lampu pengatur lalu lintas berwarna hijau dan secara peraturan kita boleh melaju, bukan berarti kita harus melakukannya. Kita tidak perlu memaksakan maju, jika pada akhirnya hanya akan menghambat laju kendaraan dari arah lain.

Pelajaran sederhana di atas pun sebenarnya tidak hanya bisa diaplikasikan di jalan raya saja. Andai elite politik kita bisa belajar dari sana, rasanya masyarakat tidak perlu setiap hari disuguhi berita tentang akrobat politik yang tak sehat. Sirkus yang tak becus. Drama tanpa krama. Mulai dari partai hijau yang saling mengklaim keabsahan muktamar dan pemimpin, hingga Dewan yang mulai membelah diri.

Memang, masing-masing pihak sah-sah saja melakukan hal tersebut. Mereka dapat pula mencari justifikasi hukum atas segala tindakan mereka. Namun, apa mereka tidak sadar pada akhirnya mereka sedang menghambat dan merampas hak-hak orang banyak di luar kelompok internal mereka? Kader-kader akar rumput yang tidak tahu masalah jadi terseret kerancuan dualisme kepemimpinan. Masyarakat yang sudah mempercayakan hak suara mereka pun tentu geram melihat bagaimana anggota dewan yang seharusnya terdidik dan terhormat, malah saling sikut dan saling hambat. Entah apa yang ada di pikiran sempit mereka, satu hal yang pasti: kepentingan khalayak terabaikan!

Masing-masing bisa saja beralasan melakukan itu semua karena hak mereka sudah terciderai, dan mereka diperlakukan dengan tidak adil. Namun apa tidak ada cara yang lebih elok? Apa tidak mampu merangkul lawan dan sama-sama memikirkan kepentingan bersama yang lebih besar? Apa tidak mampu mengalahkan ego pribadi dan memusyawarahkan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan bangsa dan negara?

Jika tidak mampu, turun saja kalian dari kursi, jabatan, dan kuasa masing-masing. Berikan kursi itu pada anak-anak SD yang masih mampu bermusyawarah mufakat menentukan siapa ketua kelas mereka. Berikan kuasa kalian pada ibu-ibu yang bisa bermusyawarah dimana arisan berikutnya diadakan. Atau setidaknya kepada para pengendara yang tahu kapan harus berhenti dan membiarkan kendaraan lain melaju, dengan tidak memaksakan diri masuk ke YBJ dan menyebabkan kemacetan.

Jakarta, 31 Oktober 2014

Okki Sutanto

Kirim Komentar!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: