Step one: discredit the witness. Step two: introduce a new suspect. Step three: bury the evidence. That’s how you get away with murder. Demikianlah kalimat sakti dari Annalise Keating, sang profesor hukum sekaligus pengacara, ketika mengawali kuliah di depan ratusan mahasiswanya, di episode pertama serial drama televisi produksi ABC yang sedang hangat di Amerika.
Saran yang amat dipertanyakan moralitasnya itu diucapkan tanpa ragu, berdasarkan pengalaman menjadi praktisi dan akademisi hukum selama bertahun-tahun. Ya, siapapun tahu, hukum tak selalu menjunjung tinggi etika, apalagi moralitas. Selalu ada celah dalam sebuah sistem hukum, dimana kebenaran amat bergantung pada saksi, tersangka, bukti, juri, dan penegak hukum, yang tentunya selalu punya ruang untuk dimanipulasi dan diagendakan.
Serial drama How to Get Away with Murder tersebut, seberapapun seru dan bagusnya, baik dari segi rating, kritik, maupun penghargaan, tentu kalah seru dengan drama politik yang sedang berlangsung di negeri ini. Dua institusi penegak hukum, Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sedang berseteru hebat dengan plot, karakter, hingga kejutan yang mengalahkan sinetron manapun.
Semua bermula dari penetapan Budi Gunawan, sang calon Kapolri yang sudah diusulkan Jokowi dan disetujui DPR, sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Semenjak itu, sejumlah jurus dan manuver pun dilancarkan entah oleh Budi, Ibu Budi, atau Kawan-kawan Budi. Melihat segala macam manuvernya, mau tak mau, saya teringat kalimat sakti di awal tulisan ini, yang teramat mirip.
Step one: discredit the witness (law enforcer). Selang sehari setelah penetepan Budi sebagai tersangka, muncul serangan terhadap Ketua KPK, Abraham Samad. Serangan berupa foto-foto mesra palsu dengan Puteri Indonesia. Diikuti serangan dari Plt. Sekjen PDI-P yang menyatakan pertemuan rahasia Abraham Samad dengan petinggi PDI-P di masa Pemilu lalu, dan ambisi Samad menjadi Wakil Presiden Jokowi. Belum lagi serangan dari Istana yang menyatakan KPK bermain politik praktis dan mengincar Budi Gunawan. Intinya, sejumlah serangan tersebut mendiskreditkan Abraham Samad secara individu maupun KPK secara institusi.
Step two: introduce a new suspect (target). Drama makin seru ketika Wakil Ketua KPK, Bambang Widjonanto, ditangkap dengan tuduhan membuat saksi memberikan keterangan palsu di persidangan. Kasus lama bertahun-tahun lalu, yang diadukan oleh politisi gagal, dan diproses oleh Polri lebih cepat dari delivery KFC, dengan prosedur yang lebih aneh dari sinetron Indonesia manapun. Media dan masyarakat pun diperkenalkan dengan target dan tersangka baru: para pimpinan KPK. Segera setelah Bambang, satu per satu pimpinan KPK lain pun diadukan ke polisi atas kasus aneh bertahun-tahun lalu, oleh pelapor yang entah mencari popularitas atau memang mendapat “instruksi” entah dari mana.
Step three: bury the evidence. Hingga kini drama belum usai. Tahap terakhir, pengaburan dan penghilangan bukti, masih belum sempurna dilaksanakan. Setelah pasukan gelap gagal “menyerbu” gedung KPK dan rumah ketua PPATK, dimana bukti-bukti kasus Budi potensial berada, jurus lain masih diusahakan. Saksi-saksi kasus Budi, para perwira yang dekat atau anak buah Budi, yang sudah dua kali dipanggil oleh KPK, mangkir dari panggilan, dan hingga kini entah dimana keberadaannya. Perusahaan-perusahaan terkait transaksi tak wajar Budi dan anaknya, sudah berstatus bangkrut / tutup dan tidak jelas rimbanya, termasuk perusahaan finansial asal Australia yang mengucurkan kredit puluhan miliar rupiah kepada anak Budi beberapa tahun silam.
Demikianlah. Formula yang mirip, dipraktikan dengan segala adaptasinya untuk drama bertajuk How to Get Away with Corruption di negeri ini. Drama jelas belum usai, entah akan sampai episode dan musim keberapa ini baru akan usai. Harapan publik jelas, kedua institusi tidak bergesekan, dan KPK tidak dilemahkan. Dan pemain kunci yang bisa membuat segalanya berubah, masih kita tunggu aksinya. Apapun itu, semoga tidak merupakan kompromi terhadap partai pendukung atau mafia hukum dan korupsi di Indonesia. Semoga.