Belum lama ini saya membaca tentang omphalos hypothesis. Teori itu menyatakan bahwa dunia dan semesta bisa saja diciptakan oleh Tuhan belum lama ini. Bisa seratus tahun lalu. Tahun lalu. Atau sepuluh menit yang lalu. Tidak sekedar semesta dan bumi yang diciptakan, melainkan juga manusia dan ingatan masa lalunya, serta bukti-bukti evolusi yang sengaja dibentuk agar manusia mengira bumi dan semesta berusia jutaan tahun.
Teori ini unik sebenarnya, karena tidak bisa dibuktikan ataupun disangkal sepenuhnya. Bisa saja sebenarnya kita dan semua penduduk bumibaru “diciptakan” sepuluh menit yang lalu, kan. Tentunya dengan segala ingatan masa lalu kita akan sejarah, orangtua, kejadian masa lalu, serta pengetahuan dan sebagainya yang kita miliki sekarang.
Teori ini menarik karena saat kecil pun saya terkadang berpikir demikian. Saya dulu percaya Tuhan bisa saja menciptakan realitas apapun, pun membuat realitas berubah dalam sekejap mata. Entah sedemikian percayanyakah saya dulu pada Tuhan dan yakin Ia bisa melakukan apa saja. Atau sekedar berharap Tuhan bisa segera mengganti realitas yang kurang menyenangkan jadi lebih baik.
Seiring waktu, karena akhirnya tahu bahwa seburuk apapun realitas tetap harus saya hadapi, saya pun perlahan melupakan pemikiran tersebut. Sampai kemarin saya membaca tentang omphalos hypothesis yang ternyata memang menjadi teori kontroversial dan debat berkepanjangan sejak akhir abad ke-19.
Saya tidak tertarik untuk membahas tentang bagaimana membuktikan atau menyangkal kebenaran teori tersebut. Sebagaimana saya sampaikan tadi, adalah mustahil membuktikannya atau menyangkal teori itu. Satu-satunya cara ya Tuhan sendiri turun ke bumi lalu menyampaikan pada kita proses penciptaan. Tapi itu pun ternyata bukan hal yang mudah.
Manusia sendiri punya beragam teori akan Tuhan. Belum dan cenderung tidak akan satu suara. Jika sudah satu suara pun, butuh waktu banyak membuktikan kebenaran bahwa Tuhan tersebut adalah benar-benar Tuhan asli dan bukan penipu. Jika sekedar berkata-kata, tentu akan dikira manusia delusional belaka. Kalau mengganti air menjadi anggur, nanti dikira pakai Redoxon. Mau disalib lagi dan ditunggu kebangkitannya kok rasanya kurang ajar ya, masa Tuhan sendiri disiksa (lagi). Pelik, ternyata, urusan pembuktian Tuhan itu. Kita selalu berharap bisa bertemu Tuhan, tanpa pernah bersiap jika Tuhan benar-benar datang.
Omphalos hypothesis membuat kita memikirkan ulang realitas, kekinian, dan linearitas waktu. Apa sih realitas yang kita ketahui sekarang, seberapa valid dan sahkah realitas tersebut? Jika masa lalu hanyalah ingatan yang terkonstruksikan dalam pikiran kita, dan masa depan hanyalah harapan kita akan suatu waktu yang belum tentu tiba, maka benarkah yang tersisa pada kita hanyalah kekinian? Lantas apa itu dimensi waktu? Benarkah ada waktu yang terlewati saat anda memulai membaca tulisan inidan saat anda menyelesaikannya? Bukankah detik, menit, pun tahun, hanyalah satuan kuantifikasi rekaan manusia untuk memudahkan berbagai aspek kehidupan yang akhirnya kita beri nama waktu?
Ah, pusing amat ya, dipikir-pikir. Tak usahlah sejauh itu. Jika ada satu hal berharga yang bisa kita pelajari dari omphalus hypothesis, adalah betapa pentingnya kekinian. Buat apa berkutat pada masa lalu yang belum tentu benar. Pun bercemas pada masa depan yang belum tentu datang. Hiduplah di masa sekarang. Beradalah dalam kekinian. Saat ini. Nikmati, dan lakukan yang terbaik. Everything else is secondary. Sesederhana itu kan, hidup?