Beberapa waktu belakangan, ada sejumlah isu internasional yang menjadi perhatian publik. Isu pertama adalah legalisasi pernikahan sesama jenis di Amerika Serikat. Isu kedua adalah kebangkrutan Yunani dan referendumnya. Isu pertama dibahas habis-habisan di media sosial dan forum-forum nasional, meski oleh sejumlah media massa hanya menjadi satu atau dua artikel singkat saja. Isu kedua, yang justru dibahas lebih mendalam dan berhari-hari oleh media massa, malah kurang hangat diperbincangkan di media sosial.
Saya masih tidak habis pikir, kenapa isu legalisasi pernikahan dibahas panjang lebar oleh khalayak. Hal tersebut terjadi di Amerika Serikat, tidak ada sangkut paut serta dampaknya sama sekali dengan kita, serta mustahil berpotensi terjadi juga di Indonesia. Meski demikian, mendadak linimasa dihiasi foto profil warna pelangi. Ada yang menjadi “ahli agama” dadakan dan mengecam dengan berbagai dalil-dalil kitab sucinya. Ada yang menjadi “aktivis” dadakan yang turut merayakan momen tersebut.
Halooo? Apa ngaruhnya ya? Apa anda tahu legalisasi tersebut hanya berlaku di Amerika Serikat? Apa anda tahu negara kita ini justru baru saja menolak permohonan revisi UU Perkawinan, baik pasal beda agama maupun batas usia menikah wanita? Tahukah dengan demikian negara kita, secara sistematis, masif, dan terstruktur mendukung pedofilia, pernikahan dini, dan perceraian? Oh, ga ngaruh ya? Lebih penting mendukung atau mengecam apa yang terjadi di Amerika ya? Oke, deh.
Isu bangkrutnya Yunani juga gagal mendapat perhatian publik. Kita enggan mengetahui kenapa Yunani bisa bangkrut, dan kenapa zona euro terancam, serta ekonomi global kemungkinan terdampak, termasuk ekonomi kita? Tahukah tanpa kebangkrutan Yunani pun pertumbuhan ekonomi kita sudah mulai menurun? Tahukah jika Yunani keluar dari zona euro dan kembali ke mata uang lamanya, ada kemungkinan Rupiah makin terdepresiasi?
Kita juga bisa belajar dari Yunani. Seburuk-buruknya Perdana Menteri baru Yunani Alexis Tsipras menyelesaikan masalah ekonomi negaranya, ia merasa bahwa keputusan sepenting itu perlu diputuskan oleh masyarakat Yunani hingga ia menggelar referendum. Berbeda sekali loh, dengan presiden-presiden kita yang merasa berhak menentukan nasib bangsanya dan terus menerima kucuran dana lembaga keuangan internasional tanpa berkonsultasi dengan rakyat.
Memang, tak bisa dipungkiri isu pertama lebih “seksi”. Seks, cinta, dan agama. Isu yang takkan pernah mati diperdebatkan meski takkan mencerahkan. Sebaliknya, isu ekonomi negara lain tentu membosankan meski selalu ada yang bisa dipelajari. Media massa kita telah mencoba, memberi porsi pemberitaan yang lebih banyak terkait krisis Yunani. Sayangnya mereka gagal, membuat isu ekonomi tersebut menjadi lebih menarik.
Padahal, salah satu elemen jurnalisme yang dikemukakan Bill Kovach adalah kerja jurnalistik sedianya membuat berita yang penting dan signifikan menjadi menarik dan relevan. Narasi kering dan statistik yang membosankan tentang ekonomi Yunani tidaklah membantu. Sungguh sayang sekali, isu yang bisa memberikan kita banyak pelajaran ini jadi terlewatkan begitu saja oleh masyarakat. Menjadi tak lebih dari data dan kata, yang dibaca sepintas lalu sebelum kita menyeruput kopi, melipat koran, dan berhenti membaca.
Jakarta, 7 Juli 2015
Okki Sutanto