Pluto dan Peradaban Manusia

Ada yang bilang kita ini terlahir di zaman yang salah. Kita terlambat seratus tahun untuk menjelajahi bumi dan menemukan benua baru. Kita juga terlalu cepat seratus tahun untuk merasakan langsung penjelajahan antar galaksi. Apa iya ini zaman yang salah?

Masa ini tetaplah masa yang menarik. Anggaplah ini masa transisi. Dari penjelajahan bumi ke galaksi. Dari menemukan benua baru ke menemukan planet dan tata surya baru. Transisi mungkin tidak pernah menjadi masa yang dicitakan dan disukariakan. Namun tanpanya, masa yang indah tidak akan muncul begitu saja. Sejarah sudah begitu sering mencatat bagaimana kita abai pada transisi, hingga akhirnya tidak pernah mencapai tujuan sama sekali.

Ya, masa ini tidak hanya menarik. Tapi juga penting, sekaligus fundamental.

Kemarin, sebuah wahana NASA, New Horizons, baru saja mencapai Pluto setelah perjalanan selama sembilan tahun. Memang, mencapai dan mempelajari Pluto bukanlah satu-satunya tugas New Horizons. Sebelumnya ia telah mempelajari planet-planet lain, dan setelah Pluto pun masih akan menuju sabuk Kuiper. Bagaimana pun, mencapai Pluto merupakan pencapaian tersendiri bagi umat manusia. Dan menyeruakkan romansanya sendiri.

Sungguh banyak cerita tentang Pluto dalam sejarah peradaban manusia. Ia ditemukan pada tahun 1930, dan mengubah susunan tata surya dengan menjadi planet kesembilan di tata surya kita. Ia mengubah bagaimana pelajaran astronomi diajarkan di sekolah. Ia menjadi satu-satunya planet di tata surya yang ditemukan ahli astronomi dari Amerika Serikat. Sejarah penamaannya lebih seru lagi, jarang yang tahu nama Pluto diusulkan oleh seorang gadis kecil berusia 11 tahun bernama Venetia Burney. Dunia gegap gempita, bahkan Walt Disney konon terinspirasi dari penemuan ini untuk lantas menciptakan dan memberi nama anjing pendamping Mickey Mouse dengan nama Pluto.

Tahun 2006 menjadi tahun yang juga bersejarah. Pluto “dipecat” sebagai planet oleh International Astronomical Union (IAU), karena tidak memenuhi salah satu syarat sebuah objek disebut planet. Ia memang mengorbit matahari, ia juga memiliki gravitasinya sendiri, namun massa dari Pluto lebih kecil dari objek-objek lain di orbitnya, sehingga ia lantas diklasifikasikan hanya sebagai planet minor / kerdil. Lucu memang, ketidakmampuan Pluto mendominasi orbitnya sendiri membuatnya dideklasifikasikan sebagai sebuah planet. Apa memang kita harus selalu mendominasi sesuatu demi mendapatkan pengakuan? Oh, semoga tidak. Atas kejadian ini, pada tahun yang sama “plutoed” menjadi Word of The Year di Amerika Serikat. “Plutoed” menjadi sebuah kata yang identik dengan pengucilan, penurunan status, atau pengusiran seseorang dari sebuah kelompok.

Tidak mudah, menerima Pluto bukanlah lagi sebuah planet. Meski keputusan IAU tersebut ditentang banyak kalangan, bahkan di internal ahli astronomi, itulah kenyataannya. Sekali lagi buku pelajaran ditulis ulang, dan mereka yang bersekolah setelah tahun 2000-an tidak akan lagi familiar dengan Pluto.

Apa pun itu, Pluto tetaplah bermakna spesial bagi banyak orang. Ia telah banyak mewarnai sejarah peradaban manusia dengan cerita-ceritanya. Itulah yang membuat pencapaian New Horizons di Pluto terasa begitu fundamental. Bagi sebagian orang, itu berarti manusia telah berhasil mencapai titik terluar dari tata suryanya. Mempelajari “planet” terakhir. Mengembara sejauh 7,5 miliar kilometer dari bumi, untuk pengambilan data-data berharga bagi dunia astronomi, juga umat manusia.

Jika berkesempatan menyaksikan fenomena-fenomena ini tidaklah dianggap menarik, dan zaman ini masih dianggap zaman yang salah untuk terlahir, rasanya mereka-mereka itu yang harus diberi nasib yang sama dengan pluto….atau setidaknya dikirim ke Pluto.

Kirim Komentar!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: