Sebelumnya dipublikasikan di Notes Facebook (28/07/2015).
gambar dari: iwanjanuar.com
Tidak ada yang spesial ketika melihat, atau mendengar, ada orangtua yang mengantar anaknya ke sekolah. Namun, mendengar anjuran resmi pemerintah agar setiap orangtua mengantar anak ke sekolah di hari pertama sekolahnya, entah mengapa sedikit menenteramkan. Setelah sejumlah kasus penelantaran anak silih berganti menguras emosi publik di tahun ini, rasanya langkah pemerintah ini, yang disambut positif publik, menjadi berita menggembirakan.
Saya sendiri tidak tumbuh besar dengan kultur demikian. Saya masih ingat jelas di hari pertama masuk TK, teman-teman sekelas menangis dan mencari-cari orangtuanya, yang dengan sabar menunggu di depan kelas. Saya hanya kebingungan karena tahu di luar kelas tidak ada yang menunggui, jadi tidak ada gunanya menangis pun mencari-cari. Tidak lama setelahnya, masih di bangku TK, saya juga pernah menumpang pulang mobil toko bangunan ke rumah saya yang jaraknya kurang lebih 5KM, karena sopir yang harusnya menjemput saya sepertinya ketiduran atau lupa. Untunglah di masa itu penculikan belum sengehits sekarang, jadi saya aman sentosa sampai ke rumah.
Di masa Sekolah Dasar, karena jarak sekolah dan rumah hanya beberapa ratus meter, otomatis saya pun tidak diantar orangtua. Yang sering terjadi justru dijemput, karena saya lupa pulang keasikan main bola atau tak benteng hingga sore. SMP diantar-jemput sopir. SMA naik motor atau menebeng. Otomatis, di 12 tahun bersekolah, orangtua saya hanya ke sekolah saat pengambilan rapor…dan sekali saat dipanggil guru BP gara-gara anaknya membolos.
Intinya, meski tidak mengalami langsung, saya setuju akan pentingnya keterlibatan orangtua dalam proses bersekolah anaknya. Dengan mengantar anaknya ke sekolah, orangtua sadar memiliki peran juga dalam pendidikan anak, tidak semata mengandalkan sekolah. Dengan mengantar anaknya ke sekolah, orangtua dan anak berkesempatan membangun hubungan emosi yang bermakna. Mereka juga bisa berkenalan dengan lingkungan sekolah, termasuk guru-guru dan bertukar kontak termasuk dengan orangtua siswa lainnya.
Namun ada baiknya kita juga tidak kebablasan. Mengantar jemput anak ke sekolah mungkin tepat jika sang anak masih duduk di bangku TK, SD, atau SMP. Jika kebablasan hingga di jenjang universitas, rasanya ada yang salah. Sayangnya itu yang lumrah terjadi, setidaknya di universitas saya. Setiap sore saat mahasiswa baru usai menjalani Pengenalan Kampus, sedemikian banyak orangtua menjemput anaknya dan memenuhi gerbang-gerbang keluar kampus. Sebagian membuat macet, sebagian mengganggu panitia yang sedang bertugas. Rasa-rasanya mereka perlu tahu bahwa ada kata maha, di status baru yang anak mereka sandang.