
Beberapa waktu lalu saya baru saja menjalani kelas terakhir perkuliahan. Kuliahnya sendiri sih belum rampung, tentunya. Masih ada tesis, yang entah akan makan waktu berapa lama. Kalau skripsi S1 dulu bisa rampung tiga bulan sih, hitungan matematisnya tesis S2 selesai enam bulan ya. Tapi namanya hidup tidak selalu matematis kan. Bisa saja ia usai lebih cepat, meski kita sama-sama tahu kemungkinannya lebih muskil daripada Chelsea atau Manchester United jadi juara liga Inggris tahun ini.
Ah, kembali ke kelas terakhir. Kelas Kearifan Lokal kemarin berakhir seperti biasa. Presentasi tugas, diskusi dan kesimpulan, serta membahas tugas ujian akhirnya. Sedikit kebetulan, dosen kemarin adalah salah satu dosen favorit saya, yang saat S1 dulu juga kelas Intervensi Sosialnya menjadi kelas terakhir di perkuliahan. Esensinya sih gak terlalu jauh berbeda, tentang bagaimana menggali dan melibatkan komunitas dalam menyelesaikan masalah sosial, cuma perspektif dan fokusnya saja yang bergeser sedikit.
Secara keseluruhan semester ini adalah semester yang paling padat, baik dari jumlah SKS dan kelas maupun kedalaman serta keluasan materi. Jika semester-semester sebelumnya masih perkenalan dan metodologis, maka kali ini analisa, analisa, dan analisa. Dari permasalahan Kampung Pulo, perang terhadap narkoba, isu kekerasan terhadap anak, diskriminasi LGBT, konflik di Aceh & Ambon, hingga permasalahan antar budaya yang makin mengemuka seiring runtuhnya sekat-sekat antar negara. Semuanya dibahas, ya dari segi kebijakan publiknya, isu HAMnya, resolusi konfliknya, telaah hukumnya, juga aspek komunikasi & Psikologinya.
Banyak pembelajaran baru, yang tentu membuka wawasan dan mengajak berpikir lebih dalam. Membiasakan diri mengkritisi apa yang sering dikonstruksikan sebagai realita, baik melalui media massa ataupun perilaku pemerintah. Tiap-tiap kelas yang saya lalui selalu membawa pengetahuan baru, dan saya bersyukur atasnya. Atas Tuhan yang mengizinkan, atas orangtua yang mendukung, atas pengajar yang mencerahkan, juga rekan-rekan seperjuangan.
Kalau dipikir-pikir, berapa banyak ya kelas yang seseorang jalani sepanjang hidupnya? Saya sendiri tidak bisa menghitung, mulai dari kelas-kelas pelajaran dasar di sekolah, kelas pelajaran bahasa Inggris sejak SMP hingga SMA, kelas-kelas Psikologi di perkuliahan, hingga kelas penulisan skenario & narasi di sejumlah institusi seru. Belum lagi kelas-kelas yang mungkin pernah saya ikuti tapi terlupakan.
Intinya, cukup banyak kelas yang sudah saya jalani sejauh ini, dan mungkin tidak nyambung satu sama lain. Apakah kelas kemarin akan menjadi kelas terakhir dalam hidup saya? Entahlah, bisa jadi ya, setidaknya untuk beberapa tahun ke depan. Apa pun itu, saya yakin tidak ada kelas yang sia-sia. Setiap kelas tentu berisi pelajaran dan esensi yang bisa didayagunakan untuk menyelesaikan permasalahan di sekitar kita, atau setidaknya mempersiapkan kita menjalani kelas lain yang tidak ada akhirnya: kelas kehidupan.
Jakarta, 20 Desember 2015
Okki Sutanto.