Photo by Bank Phrom on Unsplash
Membahas FPI itu seperti membahas kemiskinan atau kebodohan. Yang terjadi adalah lingkaran setan. Muter doang, ga kemana-mana. Ga faedah. Jalan di tempat. Hulu jadi hilir. Penyebab jadi dampak, lalu balik lagi jadi penyebab.
Ga punya uang maka pendidikan seadanya. Pendidikan seadanya maka kesempatan kerja juga seadanya. Kesempatan kerja seadanya maka pendapatan seadanya. Ya udah muter aja terus di situ. Selama negara gak hadir dan keadilan sosial belum terwujud, hampir setiap yang terlahir miskin ya akan di situ-situ aja. Lingkaran setan.
Sama halnya dengan kebodohan. Orang bodoh itu gak sadar mereka itu bodoh. Ga punya kemampuan mawas diri dan refleksi bahwa ada kebenaran lain di luar dirinya. Mau dikasih tahu bagaimana pun sama yang lebih pintar juga ujung-ujungnya defensif dan marah. Jadinya ya gak akan pintar-pintar. Terus aja bodoh dan bagi-bagiin berita hoax tiap hari. Yang bodoh makin bodoh. Berkutatnya di seputaran kenapa bumi itu datar dan kenapa ngucapin selamat natal itu haram.
Dan hal yang mirip-mirip terjadi seputaran FPI. FPI itu cuma organisasi masyarakat loh. Jumlah ormas itu banyak banget. Dan ga ada yang salah dengan ormas. Tapi kenapa kok kesannya FPI buruk banget dan sering banget bikin rusuh? Ya karena media gak pernah adil pada mereka. Tidak adil sejak masih di pikiran kalo kata Pram. Gak terpelajar.
Dari dulu yang diberitain dan digaungkan saat FPI ngerusuh doang. Pernah gak aksi-aksi sosial mereka disebut? Saat FPI berjibaku turun ke lapangan sehabis tsunami Aceh, jadi salah satu yang terdepan mencari jenazah korban tsunami? Saat aksi-aksi amar ma’ruf nahi munkar mereka betulan membasmi kemaksiatan di daerah-daerah dimana penegak hukum gak bisa diandalkan? Gak toh?
Yang diberitain kalau mereka bakar-bakaran. Demo-demoan. Bego-begoan. Terus situ berharap siapa yang jadi tertarik dan mau gabung sama FPI kalau gitu? Akademisi? Penemu bohlam? Dokter spesialis? Ya kagak lah tong. Jadinya ya ampas-ampas masyarakat yang tertarik sama FPI. Yang tertarik karena citra buruknya yang dibentuk sama media.
Jadinya semacam self-fulfilling prophecy juga, kan. FPI dicap sebagai tukang rusuh. Diperlakukan seperti tukang rusuh. Dimusuhin karena tukang rusuh. Ya jadinya tukang rusuh beneran lah. Situ guru? Coba aja sana ada murid yang dari awal situ cap bego. Situ anggep bego. Gak pernah dipeduliin. Lama-lama juga bego beneran dia. Itu mekanisme self-fulfilling prophecy. Jangan dicobain beneran, plis.
Maka saya sih gak heran kalau belakangan FPI sedang dimusuhi lagi karena berseteru dengan Tempo. Saya ga nyalahin Tempo pasti, tapi juga jadi sulit menyalahkan FPI. Wong dia dianaktirikan sama media sekian lama. Orang-orang baiknya juga keburu males kali berbenah di dalem. Udah terlanjur ancur. Jadinya yang bertahan ya yang emang suka rusuh.
Ya gitu deh kalau menurut saya mah. Jangan tanya solusi, saya juga bingung udah keburu kusut ini mah. Intinya ke depannya janganlah kita (dan media) ciptakan FPI-FPI berikutnya. Adillah sejak dalam pikiran. Benci perilakunya boleh tapi jangan benci pelakunya. Kalau kadung benci sama pelakunya, mau sebaik apapun dia ya gak akan kita anggap baik. Susah? Ya iya. Kapan sih idup itu gampang.
Jakarta, 19 Maret 2018.
Okki Sutanto