Golput dan Psikologi

Belakangan Golput sedang ramai dibahas. Ada yang makin terang-terangan mengkampanyekan Golput berikut argumennya, ada yang makin terang-terangan mengecam Golput. Setidaknya dua tokoh sudah mengecam Golput dengan amat keras: Romo Magnis dan Megawati.

Romo Magnis berkata Golput adalah tindakan bodoh, benalu, dan psycho-freak. Megawati menyamakan Golput dengan kepengecutan dan tak layak jadi Warga Negara. Wah, terkutuklah mereka-mereka yang golput yah.

timon-studler-70888-unsplash
Photo by Timon Studler on Unsplash

Mengapa Golput? Argumen yang ramai ada dua: apatis dan traumatis. Alasan apatis ya karena tidak peduli saja. Nah traumatis ini yang belakangan ramai: tidak memilih karena merasa tidak ada pilihan yang baik, kecewa, dan menjadikan Golput sebagai bentuk protes kepada sistem.

Pertama-tama saya setuju dengan pendekatan partai baru, PSI (Partai Solidaritas Indonesia), yang penuh simpati dan empati tanpa membenci Golput. Golput adalah hak. Dan tugas para Capres dan Partai adalah berusaha ekstra untuk meyakinkan dan membuat Golputers jatuh cinta dengan mereka. Bukan memusuhinya.

Bagi saya, Golput sebenarnya mirip-mirip dengan fenomena learned helplessness dalam dunia Psikologi. Contohnya begini: dua kelompok orang ditaruh di dua ruangan. Di kedua ruangan sama-sama ada bunyi berisik yang mengganggu tiap beberapa menit. Bedanya, di kelompok pertama ada tombol yang kalau dipencet akan menghilangkan bunyi berisik tersebut. Di kelompok kedua, tidak ada.

Setelah terekspos selama beberapa saat, orang-orang di kelompok kedua akan belajar bahwa tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk menghindari gangguan tersebut. Akhirnya pasrah dan pasif saja. Ketika akhirnya orang-orang ini dipindah ke ruangan baru, yang sebenarnya memiliki tombol untuk menghentikan bunyi berisik tadi, mereka terlanjur sudah “belajar dari pengalaman” untuk diam saja. Pasrah sama bunyi berisik itu. Ketidakberdayaan mereka sudah terinternalisasi. Learned helplessness.

Nah mirip kan sama Golput? Ngerti kan? Iya aja deh, jadi saya ga usah jelasin panjang-panjang. hehe.

Intinya, teman-teman Golput sudah sering berpengalaman bahwa politik dan pemerintah itu di luar kuasa mereka. Suara mereka tidak bisa mengubah apa-apa. Jadinya, ketika masuk ke ruangan baru yang bisa jadi suara mereka berarti pun, mereka sudah terlanjur merasa tidak berdaya.

Oke, ini bisa jadi penyederhanaan. Tentu masalahnya bisa jadi lebih kompleks dari itu. Bisa jadi teman-teman yang Golput sebenarnya punya pertimbangan-pertimbangan lain, pemikiran-pemikiran lain, faktor-faktor lain, yang membuat mereka enggan untuk ikut Pemilu. Lebih-lebih nyaleg atau berkontribusi dalam sistem politik entah bagaimana pun caranya itu.

“Kan gue bukan anak orang kaya, mana bisa nyaleg”, atau “Gue mikirin studi sama organisasi aja udah susah, masih lu suruh ikut-ikutan politik”, atau “Duh gue sih mao aja terjun politik, tapi temen dan keluarga gue ga ngedukung.” dan segudang alasan lain untuk bisa memunculkan solusi sempurna atas segala carut-marut politik ini.

Nah, persis! Di situlah poinnya. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Kita saja yang bukan siapa-siapa pasti punya segudang pertimbangan untuk melakukan A dan B. Apalagi kalau jadi presiden (yang sering diprotes setengah mati). Dukungan politik, dinamika koalisi, avoiding unnecessary social unrest, tentu hal-hal yang patut dipertimbangkan sebelum memutuskan sesuatu. Kalau terlampau idealis dan enggan berkompromi, ya bisa jadi lengser prematur macam Gus Dur. Lalu lebih banyak untungnya atau ruginya?

Ada sekat antara kacamata pemerhati, dengan kacamata pelaku. Actor-observer effect, kalau dalam konteks Psikologi. Kita cenderung bilang bahwa presiden itu jahat kalau tidak sempurna, tanpa tahu konteks lingkungan dan situasinya. Sedangkan saat kita sendiri tidak bisa berlaku sempurna, kita menyalahkan lingkungan dan situasi kita. Adilkah?

Jadi, kalau alasan Golputnya sesimpel karena presidennya tidak sempurna dan tidak melakukan apa keinginan saya, jangan-jangan ya memang di belahan dunia mana pun tidak akan ketemu presiden yang demikian. Dan Golput adalah hak tapi bukan sebuah solusi. Carilah Capres dan Partai yang paling sejalan dengan nilai-nilai perjuanganmu, dan berikanlah suaramu untuk mereka.

Jangan buru-buru menilai bahwa kita tidak berdaya, padahal jangan-jangan kita cuma perlu mencari tombol untuk dipencet saja.

Salam optimis!

Jakarta, 3 April 2019
Okki Sutanto

One thought on “Golput dan Psikologi”

Kirim Komentar!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: