Urusan nasionalisme, rakyat Indonesia mah tak perlu diragukan. Tanyakan saja pada Microsoft, Levy Rozman alias Gotham Chess, atau seorang ABG Korea yang baru saja merasakan serangan “nasionalisme” dari netizen Indonesia. Pasti mereka akan setuju sambil melambaikan bendera putih.
Beberapa minggu lalu, Microsoft merilis hasil survei mereka tentang digital civility, atau keberadaban digital. Hasilnya, Indonesia termasuk yang terburuk. Singkatnya: ya biadab. Sebenarnya gak heran sih, coba saja lihat kolom komentar di Youtube atau Instagram artis-artis yang sedang viral. Caci-maki, bullying, hingga kata-kata tak sopan pasti berseliweran.
Alih-alih introspeksi diri, netizen Indonesia tidak terima hasil riset Microsoft tersebut. Akun Instagram resmi Microsoft pun jadi sasaran caci-maki mereka, sampai-sampai Microsoft memutuskan untuk menonaktifkan kolom komentar selama beberapa waktu.
Awal bulan Maret, drama perseteruan di dunia catur daring pun kembali “menyenggol” nasionalisme netizen Indonesia. Levy Rozman, seorang Master catur dari Amerika Serikat, menuduh lawan mainnya curang setelah dikalahkan secara “tidak wajar” oleh akun bernama Dewa Kipas, yang ternyata seorang bapak-bapak dari Indonesia. Hal ini menjadi ramai setelah anak dari Dewa Kipas memviralkan kasus ini setelah akun Dewa Kipas diblokir oleh situs permainan catur. Ia menuding Levy Rozman tidak bisa menerima kekalahan dan mengajak followernya untuk melaporkan akun Dewa Kipas ke pengelola situs Chess.com hingga akhirnya diblokir.
Netizen Indonesia pun menyerang balik. Mereka menyerang akun Levy Rozman. Dari caci maki, bullying, sampai ancaman pembunuhan. Hebat kan? Ngeri kan? Beth Harmon juga kalah kalau begini mah. Dajjal juga minder. Padahal, setelah dianalisa lebih mendalam oleh tim dari Chess.com, juga ahli dari PERCASI, nyatanya memang ada ketidakwajaran dari akun Dewa Kipas. Langkahnya terlalu presisi, dan tingkat konsistensinya mengalahkan bahkan pemain catur terbaik di dunia sekalipun.
Masih banyak kisah-kisah serupa. Kalau saya sebutin satu-satu takutnya nanti saingan panjangnya sama sinetron Tersanjung. Jadi, ya gak usah.
Pertanyaannya, memang nasionalisme harus sesempit itu? Bahwa kita harus cinta buta pada tanah air? Membela siapapun dan apapun yang berasal dari Indonesia, seirasional apapun itu? Menyerang siapapun yang “mengancam” ke-Indonesia-an kita? Membanggakan ke-Indonesia-an kita tanpa kenal waktu dan tempat?
Saya rasa kita tidak butuh nasionalisme sampah seperti itu.
Cinta tanah air silakan, bucin mah jangan.
Apa yang perlu dibanggakan berlebih atas sesuatu yang tak pernah saya perjuangkan?
Saya tidak memilih terlahir sebagai orang Indonesia. Saya tidak lolos ujian apapun untuk menjadi seorang Indonesia. Kenapa harus bangga berlebih? Sama kayak terlahir jadi pangeran kerajaan Inggris, anak presiden, atau jadi Wakil Menteri karena ayah saya konglomerat: BIASA AJA BOSS! Mau bangga cuma karena kebetulan terlahir demikian, atas status yang terberikan, lebay dan gelay kalau kata Nissa Sabyan mah.
Intinya, saya memilih untuk mencintai Indonesia, dengan segala baik-buruknya. Indonesia bukan negara yang sempurna, saya sadar. Jadi kalau ada yang bilang Indonesia tidak sempurna, ya gak masalah. Saya memilih untuk mencintai Indonesia dengan segala ketidaksempurnaannya. Dan saya akan melakukan apapun yang saya bisa, sesuai porsi dan kapasitas saya, untuk Indonesia yang lebih baik lagi ke depannya.
Kalau saya sih begitu, ya. Kalau kamu ya terserah kamu aja. Atau terserah Mas Anang. Bebas, deh.
Jakarta, 16 Maret 2021.