Kemarin, seorang pedangdut baru saja keluar dari penjara. Layaknya peraih medali emas Olimpiade, sambutannya luar biasa. Media meliputnya. Televisi menawarinya kontrak. Manajernya sampai kewalahan memilih tawaran mana yang dianggap terbaik untuk kliennya.
Apa yang membuat dia dipenjara? Narkoba? Bukan. Mengutil di Gramedia? Bukan. Korupsi saweran dangdut? Bukan. Ia terbukti bersalah menyepong (melakukan oral sex) ke korbannya, seorang anak di bawah umur. Itu kejahatan utamanya, di luar fakta bahwa dia juga terbukti bersalah berusaha menyuap hakim saat persidangan.
Kita tahu kualitas media & televisi kita memang buruk. Tapi, sesampah inikah? Sampai-sampai harus memberi ruang dan mengglorifikasi pelaku kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur? Atas nama rating? Demi viral? Demi pemasukan iklan? Tak peduli lagi dengan fungsi dan tanggungjawab media untuk senantiasa memberi informasi serta edukasi ke publik?
Pelaku kejahatan seksual, khususnya terhadap anak di bawah umur, tidak seharusnya diberi ruang dan dirayakan. Di luar negeri, ruang gerak mereka amat dibatasi. Mereka terdaftar di sex offenders list yang bisa diakses publik. Tidak boleh tinggal dalam radius tertentu dengan sekolah. Akses ke internet pun dibatasi. Tujuannya jelas: melindungi korban dan calon-calon korban.
Bayangkan kalau kamu adalah korban sang penyepong bocah, apa yang mesti kamu pikirkan kalau tiap kali menyalakan televisi, terpampang wajah sang pelaku? Sedang berjoged berkelakar bersenang-senang, saat kamu sendiri masih harus berjibaku dengan trauma dan luka batin yang belum usai.
Edukasi apa yang mau televisi berikan ke masyarakat, saat pelaku kejahatan biadab justru diglorifikasi, diberi nafkah dan ketenaran? Saat kuasa, uang, dan ketenaran adalah faktor penting di masa lalu yang membuatnya bebas berperilaku semena-mena dan melakukan kejahatannya.
Jika KPI (yang saat ini juga sebenarnya sedang bermasalah), membiarkan sang penyepong bocah bebas berseliweran di televisi, saya tidak tahu lagi apa yang bisa diharapkan dari negara ini. Jika negara lebih takut warganya ngaceng melihat keteknya Shizuka atau tititnya Spongebob, daripada melihat pelaku kejahatan seksual yang sebenarnya dirayakan di televisi, saya lebih memilih untuk mematikan televisi untuk selamanya.
Jakarta, 3 September 2021.